Bagian Tiga

30 8 0
                                    


"ADUH!" Sachiro berteriak saat Korai menyodorkan sebongkah es ke pipinya. Laki-laki berambut coklat itu mengomel, tapi tetap menempelkan es ke pipinya yang merah dan bengkak.

Korai duduk di depan Sachi, meringis melihat Sachi yang tampak kesakitan. Korai sudah kehilangan hitungan berapa kali dia melihat langsung kekuatan tangan kiri Wakatoshi, tapi pukulannya jelas sangat kuat. Korai agak bersyukur Toshi menggunakan tangan kanannya alih-alih yang kiri.

"Gak pernah sekalipun dalam hidup gue, gue membayangkan bakal ditonjok sama Ushijima Wakatoshi." Sachiro buka suara, es masih ditempelkan di pipi.

Korai tertawa. "Gue juga gak pernah ngebayangin bakal satu tim sama dia."

Tawa Sachi terdengar lagi.

Kemudian hening.

Korai menatap pergelangan kaki kanannya yang dibalut perban, berpura-pura itu lebih menarik ketimbang wajah Sachi yang sudah tidak dilihatnya selama lima tahun belakangan.

"Kata Bang Fukuro," Sachi buka suara dan Korai langsung mendongak, "gue bisa tinggal di sini buat jagain lo. Karna anak Adlers lagi pada sibuk buat turnamen dan lo—"

Mata Sachi berpindah pada pergelangan kaki Korai yang dibebat. Untuk sesaat, ekspresinya tampak seperti tengah berdebat. Tapi seperti Fukuro, Sachi dengan cepat menghaluskan ekspresinya dan menoleh pada Korai dengan senyum hangat.

"Lo gak bisa ditinggal sendirian." Sachi melanjutkan dengan senyum ceria.

Korai membalas dengan keheningan. Senyum Sachi hilang pelan-pelan, digantikan sebentuk keraguan yang Korai tahu kenapa.

"Itu kalo lo nggak masalah ditemenin sama gue," sahut Sachi dengan cepat. Suaranya terdengar seperti tegar yang dibuat-buat. "Kalo lo gak suka, gue bisa pergi. Gue sendiri yang bakal bilang ke Bang Fukuro."

"Gapapa." Korai menyela dengan cepat. Mata Sachi langsung berbinar dan Korai harus menahan diri agar tidak meledak di tempat.

Ada banyak yang ingin Korai katakan pada Sachi. Ada banyak yang ingin Korai pertanyakan dan teriakkan di depan wajah sahabatnya yang hilang lima tahun belakangan.

Namun Korai melihat kepalan tangan Sachi, senyum penuh harap dan mata yang memohon dan Korai hanya… Korai hanya tidak bisa mematahkan Sachi begitu saja.

Sebagai gantinya, Korai mencibir dan memasang wajah tersinggung yang jelas pura-pura.  "Terserah lo mau ngapain di sini. Tapi inget, gue bukan anak kecil dan gue gak butuh babysitter."

Sachi tersenyum lebar, lega menyala dari binar matanya.

Korai berpura-pura dia tidak habis melihat luka di punggung telapak tangan Sachi dan jejak air mata di wajahnya.

***

"Sachiro."

Korai melirik jam dinding, sekarang menunjukkan pukul lima. Seluruh tim telah memulai aktivitas pagi mereka. Hanya ada Sachiro yang tampak kosong, duduk di sofa dengan pikiran yang melayang entah ke mana.

Korai menarik napas, mengulangi.

"Sachiro."

Sachi menoleh, untuk sesaat Korai terjebak pada kosong matanya dan minimnya suara. Kemudian Korai bisa melihat pengenalan di kedua mata Sachi dan kehidupan yang menyala.

"Korai?" Sachiro memanggil dengan pelan, Korai hampir tidak mendengar suaranya.

Kemudian ada patah di suara Sachi. Ketidakyakinan yang membuat tatapannya goyah. Cara perhatian Sachi sepenuhnya tertuju pada Korai tapi juga ada getar di kedua tangannya dan kekhawatiran yang—

SACHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang