Wajah-wajah baru terlihat berlalu lalang pada halaman dan koridor kampus gedung fakultas teknik. Masih ada beberapa menit lagi sebelum kelas dimulai, maka dari itu banyak dari mereka yang masih bersenda gurau bicarakan banyak hal tentang perkuliahan.
Sabiru, Malbi, dan Hilo baru saja datang. Setelah menaruh motor masing-masing di parkiran fakultas, ketiganya berjalan santai sebelum masuk ke bangunan bertingkat di hadapan mereka.
Sabiru berbalut kaus putih pendek dipadukan vest berwarna senada dengan garis hitam pada bagian leher di hari pertama sebagai mahasiswa rupanya cukup mengundang decakan kagum dari orang-orang yang melihatnya.
Terlebih lagi setelah ia turun dari motor lalu mengacak-acak asal rambut legamnya sebab dirasa kaku setelah memakai helm, teman satu angkatannya segera menjerit dalam hati tatkala memandanginya.
"Kenapa pada ngeliatin gue, sih?" Sabiru bertanya dengan mimiknya yang heran pada Malbi dan Hilo.
"Lo keren kali, Bir, makanya pada sampe melongo kayak di parkiran tadi," jawab Hilo.
"Ciee. Kayaknya bakal banyak yang confess ke lo, nih." Kini Malbi menggoda seraya menyenggol-nyenggol siku Sabiru.
"Males, nggak minat!" Sabiru merotasi bola matanya malas dan langsung mempercepat langkah menuju lift, sementara Malbi dan Hilo tertawa geli melihat tanggapan yang diberikan Sabiru.
Begitu jemari Sabiru menekan tombol lift, ia refleks menepuk keningnya kala mendadak ingat dengan satu hal.
"Eh, kalian duluan aja ke kelas, KTM gue ketinggalan di jok motor," ujar Sabiru.
Hilo berdecak pelan. "Ceroboh banget! Ngapain KTM ditaro di jok motor?"
"Lupa. Kemaren abis ngambil langsung gue taro sana, belum gue pindahin lagi."
"Ya udah sana, Bir. Cepet, lho! Udah mau masuk soalnya." Malbi memberi peringatan.
Selepas kepala Sabiru terangguk, kedua kakinya berjalan cepat keluar gedung kembali. Ransel hitamnya hanya ia selempangkan di sebelah bahu dan rambut lurusnya yang lembut bergerak naik turun berkat langkahnya yang terburu-buru. Hal itu sontak kembali menjadi sorotan para mahasiswa yang masih berlalu lalang di luar gedung.
Astaga. Sabiru tak menyukai itu, tetapi ia harus sabar karena ia masih semester satu, hari pertamanya kuliah pula.
Sabiru bergegas membuka jok motor dan mengambil Kartu Tanda Mahasiswa miliknya lantas menaruhnya di dompet. Selesai dengan urusannya, ia cepat-cepat melangkah masuk kembali, namun ...
"Eh!"
Baik Sabiru dan orang yang tak sengaja ia tabrak memekik terkejut. Keduanya lantas beradu pandang dan seketika tersenyum lebar.
"Hai, Biru!"
"Hai, kak Yessa!"
Yessa kian melebarkan senyumannya kala melihat mata Sabiru bak tenggelam di kelopak matanya sendiri akibat tersenyum lebar. Wajah serius yang coba Sabiru kukuhkan sedaritadi agar ia terlihat keren luntur dengan mudah hanya dengan kehadiran sosok Yessa di hadapannya.
"Baru dateng, Bir?" Yessa bertanya.
"Iya. Cuma tadi KTM aku ketinggalan di motor, jadi aku balik lagi," jawab Sabiru antusias. "Kalau kak Yessa pasti baru dateng, ya?"
Yessa mengangguk. "Eh, lo ngambil prodi apa?"
"Arsitektur, Kak."
"Wah! Sama kayak gue!"
Kedua manik Sabiru mendelik penuh binar. "Oh, iya?!"
"Iya. Kelas lo di lantai berapa?"
"Lantai lima. Kalau kak Yessa?"
"Oh, bareng aja yuk kalau gitu. Kelas gue di lantai delapan."
"Ayoo!" sahut Sabiru kian bersemangat.
Yessa kembali tersenyum setelahnya, tetapi kemudian angin mendadak berhembus kencang hingga buat dirinya menutup mata sebab debu dan daun-daun kering yang bertebangan. Usai angin selesai berhembus, Sabiru memiringkan kepalanya memeriksa keadaan Yessa.
"Ada debu yang masuk ke mata nggak, Kak?" tanyanya khawatir.
Yessa mengerjap-ngerjap sembari mengibaskan tangan di depan wajahnya, lalu ia menggeleng. "Nggak ada kok."
"Beneran?"
"Iya, Biru. Beneran."
Keduanya lantas mempercepat langkah untuk masuk gedung. Melihat lift yang kebetulan sedang terbuka, Yessa spontan menarik tangan Sabiru dan berlari sebelum pintu lift kembali tertutup. Begitu telah masuk ke dalam lift, Yessa dengan cepat menekan angka lima dan delapan di saat Sabiru masih terkejut dengan tindakan impulsifnya tadi.
Yessa yang memakai baju hitam polos dengan celana ripped jeans longgar ditambah tas bahu ukuran sedang tertawa pada Sabiru. "Untung aja kita bisa masuk sebelum lift-nya ketutup."
"Iya, untung aja," jawab Sabiru seadanya.
Netra Yessa masih terfokus pada milik sang adik tingkat yang lebih pendek lima sentimeter darinya itu, lalu bergeser pada sesuatu yang tampak mengganggu pada helai rambut Sabiru.
"Eh, itu ada daun di rambut lo," ucap Yessa menunjuk pada rambut Sabiru. Si pemuda sedikit mendelik, refleks ia meraba-raba rambutnya tetapi Yessa gemas sebab letaknya bukan di sana. "Bukan di situ, Biru."
"Sini." Yessa bergerak mendekat. Sebelah tangannya menyentuh rahang Sabiru untuk membuat pandangannya bergeser agar ia dapat mengapai daun tersebut. Sabiru jelas kembali terkejut, bibirnya terkatup rapat-rapat dan tubuhnya kaku bagai dirantai.
"Nah, udah," kata Yessa menunjukkan daun kering tersebut di hadapan Sabiru.
Sabiru tersenyum malu-malu. "Makasih ya, Kak."
"Iya."
Ting! Pintu lift terbuka setelahnya.
"Ya udah, aku duluan ya, Kak."
Yessa mengangguk. "Semangat, hari pertama kuliah!"
"Makasih." Sabiru tertawa sebentar. "Kak Yessa juga semangat!"
"Oke!"
Yessa tertawa diiringi batinnya yang berkata gemas kala melihat Sabiru mengepalkan kedua tangannya ke udara seraya berucap demikian. Tubuh mungil Sabiru pun perlahan menjauh darinya dan tak dapat lagi terlihat sebab pintu lift tertutup.
Di luar lift, senyum Sabiru masih terpatri. Benaknya dengan seenak hati memutar kejadian yang mampu membuat jantungnya berdebar kencang. Senyum salah tingkahnya kian melebar dan tanpa terasa hawa panas menjalar ke atas pipinya, tetapi Sabiru segera mengubah mimik sebelum berbalik badan dan berjalan menuju kelas bak tak ada yang terjadi sebelumnya.
- to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manis | Sunoo ✓
General FictionMemilah pasangan memang sebuah hak setiap manusia, tetapi pada akhirnya tetap sang Kuasa lah yang akan menetapkan ke mana hati mereka akan berlabuh. Lantas apa jadinya dengan seorang mahasiswa yang telah memantapkan hati dengan kriteria pasangan pil...