"Bir, lo kok murung terus sih dua harian ini?" tanya Malbi kala mereka turun ke lantai bawah hendak mengerjakan tugas mendesain di taman kampus nan sejuk agar mendapat ide.
"Bukan dua harian aja sih, bahkan sejak awal semester dua ini," sahut Hilo. "Lo lagi kenapa, dah?"
Sabiru tak menjawab keduanya. Wajahnya datar tak berekspresi seraya maniknya terus lurus memperhatikan jalan. Suasana hatinya telah memburuk jauh sebelum dua hari lalu saat Yessa pulang bersama atau bahkan saat pergi ke Jogja dengan Yohanes.
Malbi dan Hilo saling bertukar pandang kala Sabiru diam saja. Malbi menaikkan alisnya bagai bertanya bingung, namun Hilo justru mengangkat kedua bahunya jauh lebih bingung.
"Biru!" Langkah Sabiru dan dua karibnya saat itu mendadak berhenti kemudan menoleh pada seorang gadis yang berlari kecil menghampiri mereka. "Biru, mau ke mana?"
"Ke taman, ngerjain tugas," jawab Sabiru seadanya.
Gadis berbalut pakaian merah muda dan putih dengan rambut yang dijepit nan merupakan mahasiswi satu angkatannya itu mengangguk paham. "Ohh gitu. Ya udah lain waktu aja, deh."
"Emang lo mau ngapain?"
"Mau minta bantuan kamu buat tugas aku," balasnya.
Manik Sabiru langsung tertuju pada sketchbook di dekapan sang gadis. Sepertinya betul bahwa ia sedang membutuhkan bantuan, tetapi Sabiru betul-betul malas untuk menanggapinya lantaran mereka tak lah memiliki hubungan lebih dari seorang yang mengenal satu sama lain.
Saat bibir Sabiru terbuka untuk mengatakan penolakan pada gadis yang lebih pendek di hadapannya itu, bola matanya tiba-tiba menangkap sosok yang menarik di ujung sana. Itu adalah Yessa. Perempuan itu sedang berjalan santai sembari menenteng MacBook bersama Asya.
Melihat senyuman di wajah sang perempuan rupanya mampu membuat kabut hitam dan badai dalan hatinya perlahan memudar, Sabiru sangat senang melihat Yessa tertawa lepas seperti itu. Sudut bibirnya hendak naik, tetapi menjadi urung ketika tiba-tiba Yohanes datang menghampiri sang perempuan.
"Yessa!"
"Iya, Pak. Kenapa?" Yessa bertanya.
Yohanes melirik pada Asya sebentar sebelum bertanya, "Kamu lagi sibuk nggak sekarang?"
"Enggak kok, Pak. Saya sama Asya baru aja mau ke kelas selesai ngerjain skripsi."
"Bisa ikut saya nggak? Saya punya masalah soal bangunan perusahaan yang di Jogja."
Kening Yessa kontan mengerut, pun Asya yang sama sekali tak paham pembicaraan mereka ikut mengernyit sebab raut khawatir di wajah Yohanes.
"Masalah apa, Pak?"
"Kamu ingat desain bangunannya, seharusnya di samping kanan itu dibangun tempat buat ibadah, 'kan? Tapi para pekerja malah ngebangun lahan parkir."
"Hah?! Iya, Pak?" Yessa membelalak.
"Iya. Makanya saya butuh bantuan kamu buat ngomong sama pekerja di sana sebelum fondasinya nggak bisa dibongkar lagi."
"I-iya, Pak. Ayo, saya bakal ngomong sama pekerja di sana."
"Ayo, ke ruangan saya." Yohanes memerintah kemudian maniknya bergulir pada Asya. "Maaf, saya ada perlu sama Yessa."
"Eh, iya, Pak. Nggak perlu minta maaf, saya ngerti kok."
"Sya, gue tinggal, ya."
Kepala Asya terangguk-angguk. "Iya, gih sana selesaiin masalahnya."
Selepas itu netra kembar Sabiru melihat Yessa dan Yohanes pergi menuju ruangan dosen. Entah apa yang akan mereka lakukan, Sabiru hanya bisa menyimpulkan bahwa mereka akan membicarakan soal struktur skripsi Yessa lagi.
Sabiru sudah benar-benar di puncak rasa muaknya. Tanpa sadar giginya menggretak menahan amarah.
Ia memandangi gadis di hadapannya. "Ayo, sekarang aja, gue bisa kok."
"Eh, tapi gimana sama tugas kamu?"
"Bir, tugas lo gimana?" Malbi ikut bertanya.
Sabiru memandang pada dua karibnya. "Kalian berdua aja ke taman, gue bantuin tugas dia dulu. Soal tugas gue itu gampang, gue bisa kerjain pas sama dia nanti."
Di saat Malbi dan Hilo masih memandang heran, sang gadis lantas tersenyum senang. Maniknya berbinar memancarkan keantusiasannya. "Ya udah, kita kerjain di kantin aja yuk!"
"Jangan di kantin."
"Terus di mana, dong?"
"Di deket ruang dosen." Sabiru berkata mutlak lalu tubuhnya sekonyong-konyong berjalan bahkan sebelum disetujui oleh sang lawan bicara. "Ayo!"
Sabiru dan gadis bernama Mentari tersebut berjalan menuju bangku abu-abu panjang kosong di dekat ruangan dosen. Begitu sampai, sang gadis segera membuka sketchbook dan buku paket dan meminta Sabiru menjelaskan materi yang tak ia paham untuk diterapkan pada desainnya.
Dengan setengah hati Sabiru menjelaskannya. Sesekali maniknya pun melirik pada pintu ruangan dosen untuk menunggu Yessa keluar dari sana.
Menit demi menit terlewati dan pintu ruangan dosen akhirnya terbuka akibat ulah Yessa, perempuan itu tersenyum ramah ke dalam ruangan sebelum benar-benar menutup pintu dan berbalik badan. Melihat itu Sabiru mendekatkan posisi duduknya pada Mentari yang mulai menggambar di atas sketchbook-nya, jemarinya berpura-pura membenarkan garis yang padahal sudah rapih di atas sketchbook si gadis menggunakan pensil.
"Iya gitu, nanti di bawah sini agak dilengkungin lagi garisnya," ucap Sabiru.
"Oke!"
Sabiru diam-diam melirik pada Yessa yang tampak terkejut melihat dirinya dengan seorang adik tingkat di sana. Sabiru memang sengaja memilih lokasi tersebut supaya begitu Yessa keluar dari ruangan dosen, ia dapat melihat kedekatannya dengan Mentari.
Kedua kaki Yessa berjalan amat pelan, kedua mata mereka pun saling bersinggungan bagai terkunci satu sama lain. Yang satu menatap dengan heran, sedangkan yang satu lagi menatap tajam tanpa ekspresi hingga di sepersekon berikutnya, Sabiru memilih memutus kontak mata tersebut.
Bagai tak ada angin maupun hujan, Yessa benar-benar bingung dengan tindak Sabiru. Melihat ekspresi tak percaya di wajah perempuannya yang mungil tadi, itu sukses membuat sebelah sudut bibir Sabiru tertarik ke atas. Ia senang usaha balas dendamnya untuk membuat Yessa cemburu sepertinya telah berhasil.
- to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manis | Sunoo ✓
General FictionMemilah pasangan memang sebuah hak setiap manusia, tetapi pada akhirnya tetap sang Kuasa lah yang akan menetapkan ke mana hati mereka akan berlabuh. Lantas apa jadinya dengan seorang mahasiswa yang telah memantapkan hati dengan kriteria pasangan pil...