Di luar sedang hujan dan Sabiru kini hanya terdiam dengan kaus oblong serta celana rumahan hitam di atas lutut, maniknya memandangi televisi yang terus menyala sejak tadi siang dengan pandangan kosong.
Sabiru merasa hampa usai menyuarakan isi hatinya kepada Yessa dengan kemarahan, berpikir seharusnya ia bisa lebih tenang lagi kemarin. Sekarang ia benar-benar merasa bersalah lantaran tak membiarkan si perempuan menjelaskan apa yang ia sebut salah paham, akibat emosinya ia justru meninggalkan Yessa dan tak mendapat hasil apapun.
Maniknya lagi-lagi basah, ia menangis. Tak ada yang mampu membuat perasaannya begitu gelisah terkecuali mengingat Yessa.
Sabiru mengingat-ingat lagi bagaimana caranya ia bisa menjadi dekat dengan kakak tingkatnya di kampus. Padahal Sabiru sendiri yang menyuarakan di depan dua sahabatnya bahwa ia tak akan pernah mau berhubungan dengan yang sebayanya atau lebih tua, namun dirinya kini terjebak akan pesona Yessa. Mau menyesali kedekatannya dengan Yessa pun tak bisa sebab hanya dari seorang Yessa ia bisa merasakan aman dan kasih sayang yang ia dambakan.
Guntur dari luar rumah mendadak suarakan gelegarnya dan Sabiru tersentak. Ia lantas meringkuk di atas sofa, memeluk kedua lututnya teramat erat, ia ketakutan.
"Kak Yessa ...," lirihnya.
Sabiru merasa ia tak bisa diam saja seperti ini. Ia sungguh-sungguh membutuhkan Yessa agar perempuan itu memeluknya erat, mengusap puncak kepalanya, menciumi pipinya, bergurau dengannya dan buat dirinya merasa aman dan hangat.
Tubuh itu lantas bangun, berlari mengambil kunci motor dari gantungan di dekat pintu sebelum keluar rumah mendekati motornya dan nekat menerobos hujan demi menemui Yessa.
Sedangkan di tempatnya, Yessa mondar-mandir dengan gelisah. Ponsel di tangannya sedaritadi mencoba menghubungi Sabiru yang rupanya masih memblokir nomornya, mencoba menghubungi kedua temannya untuk mendapat kabar mengapa hari ini Sabiru tak pergi ke kampus. Namun, jawaban kedua teman Sabiru sama, mereka tak tahu menahu perihal itu sebab Sabiru begitu menutup diri hari ini.
Skripsinya terbengkalai di atas meja, suasana hatinya sedang kacau saat ini. Terlebih lagi ketika hujan turun dan ia tak mengetahui bagaimana keadaan Sabiru.
Yessa berpikir seharusnya kemarin ia bisa menahan Sabiru pergi agar ia bisa menyelesaikan salah paham yang terjadi. Andai saja pergerakannya lebih cepat dari Sabiru, maka ia tak perlu resah saat ini.
Sedetik kemudian Yessa terperanjat hebat karena suara bel rumahnya dibunyikan dengan keras berkali-kali. Ia berlari menuju pintu, keningnya bingung menerka siapa yang memencet bel dengan brutal seperti itu.
Lantas saat pintu dibuka, maniknya yang sipit membola sempurna.
"Biru!"
Sabiru berdiri di depan rumah Yessa dengan keadaan basah kuyup dan bahunya bergetar hebat karena menangis. Tubuh itu kemudian bertekuk lutut di hadapan Yessa, kepalanya tertunduk menyesal.
"Kak Yessa maaf ...," ucap Sabiru. "Aku salah udah marah-marah sama kamu kemaren, seharusnya aku nggak kemakan emosi dan biarin kamu ngomong."
"Maafin aku, Kak." Sabiru terisak. "Aku bener-bener kacau banget kalau nggak ada kak Yessa. Aku pengen dipeluk, pengen dicium, pengen diperhatiin, pengen disayang, aku juga kangen kamu makanya aku marah dan sampe manas-manasin kamu."
Suara Sabiru mengalun lembut diiringi isak tangisnya, permohonan Sabiru membuat setitik air mata hadir di ujung mata Yessa. Si perempuan kemudian mendekat dan berjongkok, mengusap surai yang basah itu dan menaikkan pandangan Sabiru.
"Manis." Yessa memanggil lembut. "Gue nggak bermaksud nyuekin lo karena skripsi dan kerjaan gue, maaf kalau lo sampe ngerasa dicuekin sama gue. Kemaren gue marah karena lo deket sama cewek lain, berkali-kali lo manas-manasin gue dan gue nggak terima itu."
Kepala Sabiru mengangguk-angguk.
"Gue bener-bener nggak ada hubungan apa-apa sama Yohan. Dia cuma sekedar dosen pembimbing dan rekan kerja gue, nggak lebih. Lo percaya 'kan sama gue?"
Sabiru kembali mengangguk. Bibirnya yang gemetar perlahan terbuka. "Iya ... Aku percaya sama kamu."
Yessa tersenyum senang. "Ayo masuk. Keringin badan lo dulu, lo bisa masuk angin nanti."
Tubuh Sabiru yang hampir ringkih dibopong dengan pelan menuju kamar Yessa. Sampai di sana pun si perempuan segera menitah Sabiru untuk mandi dengan air hangat dan segera mengeringkan diri sementara dirinya mengambil air mineral hangat dari bawah.
Tak membutuhkan waktu lama, Sabiru segera keluar dengan kaus serta celana pendek milik Yessa. Si perempuan kemudian menarik yang lebih muda untuk duduk pada tepi ranjang di sebelahnya, kedua tangannya yang memegang handuk kecil langsung mengusap-usap rambut Sabiru untuk dikeringkan sebelum memakai hair dryer.
"Lo beneran mandi pake air anget, 'kan?" tanya Yessa.
"Iya, Kak."
"Pinter. Diminum ya, biar lo enakan," ucap Yessa sembari menyerahkan segelas air hangat pada Sabiru kemudian ia mengikuti perintah tersebut dengan patuh selagi Yessa mengeringkan rambutnya.
"Lo udah makan belum? Gue ambilin makan, ya."
Sabiru kontan menggeleng. "Nggak mau makan."
"Terus?"
Sabiru mendongak menatap Yessa dengan berbinar. "Mau dipeluk kak Yessa."
Si perempuan seketika tertawa, ia buru-buru menyelesaikan kegiatannya kemudian mendorong tubuh Sabiru untuk ke tengah ranjang dan memeluknya.
Sabiru tersenyum senang di dalam dekapan Yessa, tangannya pun mengalung erat pada pinggang Yessa bagai tak mengizinkannya beranjak. Si perempuan yang duduk bersandar pada papan ranjang membelai rambut Sabiru penuh sayang, tak dapat dipungkiri bahwa ia juga rindu mendekap erat Sabiru seperti ini. Kegelisahan yang menunggangi pundaknya kini mengudara bebas menjauh.
"Buka blok gue dong! Gue nggak bisa nelepon lo tau!" sungut Yessa.
Sabiru tertawa. "Iya, nanti. Aku nggak bawa hape. Maaf juga karena ngeblok nomor kak Yessa."
"Nggak apa-apa, manis. Yang penting sekarang nggak ada salah paham lagi."
"Iya." Sabiru kian mengeratkan pelukannya sebab dinginnya hujan yang memasuki lewat ventilasi.
"Manis."
"Hm?"
"Jadi pacar gue, ya? Jangan deketin temen seangkatan lo itu lagi."
Sabiru membelalak, ia lantas duduk tegap memandang Yessa. "Beneran?!"
"Iya. Nggak mau?"
"Ihh! Mau banget, lah! Emang ini yang aku tunggu-tunggu!" kata Sabiru antusias.
Yessa tergelak ringan. "Gemes banget sih, si manis gue."
Sabiru beralih tersipu malu kemudian kembali memeluk Yessa. Sabiru boleh saja menyesal sebab sudah marah-marah kepada Yessa kemarin, tetapi ia tak akan pernah menyesal menerobos hujan dan berlutut pada si perempuan.
Hidup ini memang sungguh lucu, berkali-kali menunjukkan sesuatu yang dapat menciptakan keretakan antara Sabiru dan Yessa serta buat keduanya frustasi bukan main, namun pada akhirnya dua insan itu yang memegang kendali dan memilih bersatu sebelum siapapun kian memperkeruh keadaan.
- to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manis | Sunoo ✓
General FictionMemilah pasangan memang sebuah hak setiap manusia, tetapi pada akhirnya tetap sang Kuasa lah yang akan menetapkan ke mana hati mereka akan berlabuh. Lantas apa jadinya dengan seorang mahasiswa yang telah memantapkan hati dengan kriteria pasangan pil...