Jam pada pergelangan tangan menunjukkan pukul setengah enam. Perkuliahan telah berakhir setengah jam yang lalu, namun pemuda pemilik mata sipit itu belum kunjung pulang sebab masih asyik menggambar desain pada sketchbook yang lama kelamaan terisi oleh karyanya.
Sabiru berkata pada Malbi dan Hilo untuk meninggalkannya pulang duluan lantaran ide yang ia miliki sedang lancar jaya dan tak bisa lagi menundanya. Kalau ia memilih pulang, bisa-bisa nanti idenya kabur terbang dibawa angin saat di motor.
Maka sejak setengah jam lalu, Sabiru berkutat penuh di meja perpustakaan yang mulai sepi meski masih ada satu hingga tiga mahasiswa lagi. Jemarinya tak henti membuat garis, lingkaran, atau arsir di atas sketchbook. Desainnya hampir saja selesai, hanya tinggal arsir pada bagian ujung-ujungnya saja maka desain bangunan untuk tugas berikutnya telah ia selesaikan jauh dari tenggat waktu pengumpulan.
Sabiru menegakkan punggung, mematahkan lehernya ke kanan dan ke kiri, dan menguap sebentar sebelum membereskan peralatan menggambar ke dalam tas untuk segera pulang.
Begitu sampai di parkiran, Sabiru sedikit cemas lantaran hari sudah semakin sore dan langit mendung menampakkan petir diiringi suara guntur yang bersahutan. Sabiru hendak memakai helm, namun maniknya terfokus pada ban belakang motornya yang kempis.
"Lah? Kok bannya bisa kempes gini?" batin Sabiru bertanya.
Ia lantas mengingat-ingat kapan terakhir kali membawa motornya itu ke tempat servis, kemudian Sabiru berdecak kesal saat tahu itu sudah berminggu-minggu yang lalu.
Kini ia bingung harus berbuat apa, rambutnya yang mulai lepek pun ia acak-acak asal sembari menggerutu kesal.
Tin!
Sabiru tersentak hebat. Pasalnya suara klakson mobil itu hadir bersamaan dengan guntur yang menyambar. Kepala Sabiru tertoleh dan mendapati mobil Mini Cooper yang kacanya langsung diturunkan.
"Biru, kenapa?"
Sabiru spontan tersenyum kecil, sebab pengemudi Mini Cooper tersebut adalah Yessa.
"Ban motor aku kempes, Kak."
"Yah ... Ada temen pulang nggak? Kalau nggak ada biar sama gue aja pulangnya."
"Nggak apa-apa, Kak, aku pesen gojek aja nanti."
"Nggak usah, sama gue aja ayo. Motor lo taro sini aja, nggak akan ilang soalnya banyak yang ninggalin motornya di sini. Gue kenal montir yang bagus banget kerjanya, nanti gue minta tolong dia buat benerin motor lo," jelas Yessa. "Ayo masuk!"
"Nggak ngerepotin, Kak?"
Yessa berdecak. "Ngerepotin apa? Nggak kok. Ayo!"
Sabiru mengangguk sebentar sebelum mengambil helmnya dan masuk ke dalam mobil Yessa. Sang perempuan pun segera menginjak pedal melaju menjauhi kawasan kampus untuk mengantar Sabiru pulang.
"Kak Yessa masih di kampus juga?" Sabiru bertanya.
"Iya, tadi abis ngobrol-ngobrol sama temen. Biasa sih masalah semester tua," jawab Yessa lantas tertawa.
Sabiru mengangguk-angguk. Hidungnya masih mencoba bersahabat dengan aroma tembakau di dalam mobil yang sebelumnya sungguh mengusik penciumannya.
"Lo sendiri kok masih di kampus?"
"Iya, ngerjain tugas, mumpung idenya lagi ngalir."
Yessa kembali tertawa kecil. "Emang harusnya gitu sih, ya. Ada ide langsung ngegambar, daripada dinanti-nanti."
"Iya."
"Oh iya, mumpung lo masih semester satu, usahain belajarnya yang rajin, ya. Jangan sampe bolos kelas apalagi nggak ngerjain tugas atau ngejawab kuis."
"Emang kenapa, Kak?" Sabiru menggeser tubuhnya sedikit ke samping.
"Soalnya semester-semester awal tuh materi yang dikasih masih gampang dan gampang banget dapet nilai bagus, apalagi semester satu. Kalau udah semester empat ke atas tuh mulai susah, materinya bakal lebih banyak dan lebih terperinci lagi." Yessa menjelaskan sembari sesekali menoleh pada Sabiru yang memandanginya tanpa kedip.
"Kalau kak Yessa dulu termasuk rajin apa males-malesan?"
"Fifty-fifty. Kadang rajin, kadang males. Untung masih tetep waras."
Keduanya sontak terbahak setelahnya.
"Kak Yessa kalau lagi mumet pasti larinya ke rokok, ya?" tanya Sabiru tiba-tiba, buat Yessa terkejut dalam diam.
"Iya," cicit Yessa. "What do you think about girl who smoke, Biru?"
Hawa di dalam mobil perlahan mulai canggung. Yessa tak menyangka bahwa Sabiru akan menyinggung tentang kebiasaannya yang suka merokok, sementara Sabiru sendiri begitu penasaran dengan kebiasaan Yessa itu yang kerap ia lihat di kampus hingga ia tak dapat menahan diri untuk bertanya.
"Biasa aja sih, Kak. It's their choice, I won't complain it."
"You sure?"
"Iya, Kak. Tapi kamu sendiri juga tau 'kan apa akibatnya kalau sering ngerokok?"
"Tau. Tapi gue susah banget buat nggak ngerokok sehari aja."
"Aku paham kok, Kak, emang pasti bakalan susah."
"Do you smoke?"
Sabiru menggeleng. "Enggak. Waktu itu pernah nyoba karena ditawarin Hilo, tapi akhirnya malah keselek sampe dada aku sakit banget gara-gara batuk mulu dan nggak mau nyoba lagi."
Yessa menahan tawanya sebab intonasi yang digunakan Sabiru barusan sangat manja seperti sedang mengadu sesuatu pada sang ibunda.
"Berarti lo nggak suka rokok, ya?"
"Iya."
Yessa mengangguk paham. Satu hal yang akan ia ingat-ingat perihal ketidaksukaan Sabiru, untuk ke depannya ia akan lebih berhati-hati lagi agar tak membuat adik tingkatnya itu risih bila bersamanya.
Menit demi menit terlewatkan dengan obrolan ringan yang terjalin antara Sabiru dan Yessa di tengah gerimis yang berjatuhan. Sabiru sesekali mengarahkan arah menuju rumahnya pada Yessa yang berhati-hati menyetir.
Begitu telah sampai pada komplek perumahan tingkat dua nan dijaga oleh satpam di depan gerbang. Mini Cooper Yessa berjalan menuju salah satu rumah yang telah diarahkan Sabiru, begitu ia menginjak rem, hujan deras segera mengguyur tanpa aba-aba.
"Kak, mending kamu tunggu hujan reda dulu deh di rumah aku," usul Sabiru.
"Nggak bisa, Biru. Udah mau malem, nggak enak sama orang rumah lo."
"Santai aja kali, Kak, di rumah aku nggak ada siapa-siapa."
Yessa mengernyit. "Nggak ada siapa-siapa?"
"Iya. Mba yang biasa beresin rumah udah pulang, dan aku anak tunggal. Papih lagi kerja ke luar kota, kalau mamih udah meninggal."
Bola mata Yessa kontan membola usai mendengar kalimat terakhir Sabiru. "Maaf soal mamih lo, Biru, gue nggak tau."
"Nggak apa-apa." Sabiru segera tersenyum agar Yessa tak merasa bersalah. "Udah, ayo masukin mobilnya ke dalem. Bahaya lho kalau kak Yessa nekat pulang di tengah hujan deres gini, lagian aku nggak akan izinin kak Yessa pulang," ucap Sabiru mutlak bagai Yessa tak boleh membantahnya.
Yessa tertawa kecil. "Oke-oke, gue bakal tunggu hujan reda dulu."
Sabiru kembali tersenyum lebar, punggungnya beralih tegak lurus pertanda ia amat senang.
Sungguh beberapa kejadian yang terjadi dengan Sabiru alami akhir-akhir ini selalu saja bersinggungan dengan Yessa dan otomatis mereka akan menghabiskan waktu bersama. Baik Sabiru sendiri atau Yessa sebetulnya tak keberatan sama sekali, justru atmosfir menenangkan bagai menyelimuti ketika keduanya sedang bersama.
Entah bagaimana jadinya esok hari, tetapi tak ada yang bisa menjamin jika keduanya mulai menaruh hati pada satu sama lain.
- to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manis | Sunoo ✓
General FictionMemilah pasangan memang sebuah hak setiap manusia, tetapi pada akhirnya tetap sang Kuasa lah yang akan menetapkan ke mana hati mereka akan berlabuh. Lantas apa jadinya dengan seorang mahasiswa yang telah memantapkan hati dengan kriteria pasangan pil...