29

2 3 0
                                    

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

Samin memperhatikan bahwa sepasang gadis dan anak lelaki itu sedang meninggalkan api unggun.

"Woi! Ada singa gunung!" seru Samin setengah memperingatkan setengah bercanda.

Puma menyempatkan diri buat berhenti dan menyahut Samin balik. "Iya! Singa gunungnya aku!" Kemudian, Yuraq dan Puma melanjutkan jalan mereka hingga keduanya berdiri sekitar 5 rikra dari api unggun. Lidah api itu bagi Yuraq terlihat seperti bulan yang menyala sekarang.

Puma pun membaringkan badannya di atas rerumputan yang pendek, dengan muka menghadap langit yang berbintik-bintik. Yuraq menyusul, namun dia hanya duduk dengan menopang bahunya pada kedua lengan.

Sesudah itu mereka hanya saling berdiam-diaman, tidak bertukar satu sama lain. Yuraq hanya bisa melihat bintik-bintik berkilau yang menggantung di atas mereka.

"Hei Yuraq!" Puma memanggil. "Kamu tahu nama bintang itu?" Anak laki-laki itu menunjuk pada satu titik di langit. Yuraq menengadah ke mana jari telunjuk itu mengarah, tapi saking jauh tingginya bintang-bintang itu, gadis itu tidak tahu yang mana yang dimaksud Puma.

"Yang mana?" tanya gadis itu.

"Yang itu." Puma masih belum menarik tangannya dari titik itu

Setelah mencari-cari cukup lama, akhirnya Yuraq dapat menemukan satu bintang itu. Titik cahaya tersebut nampak lebih besar dari yang lain, kecuali 4 titik cahaya lain yang ada di dekatnya. Bintang-bintang lain itu membentuk suatu segi empat dengan satu sudut lebih lancip daripada yang lain. Di dalam segi empat khayalan itulah bintang yang Puma tunjuk berada.

"Gak tahu," jawab Yuraq.

"Sama, aku juga gak tahu." Anak laki-laki itu tertawa ringan. "Makanya aku nanya."

"Aku mana tahu," protes Yuraq.

"Iya iya..." Puma mempersiapkan kata-kata di pikirannya sebelum berbicara. "Omong-omong Yuraq, kamu tahu kan kalau kita bisa pakai bintang buat bernavigasi, selagi matahari gak ada?"

"Ah, iya," Yuraq menjawab.

"Tahu gimana caranya?" Puma menantang.

"Kalau pagi sampai senja — pas matahari masih kelihatan — kita bisa tahu mana barat dan mana timur. Yang jelas matahari terbit di timur dan terbenam di barat. Dari situ kita bisa tahu mana utara dan mana selatan. Kalau utara itu... kalau gak salah... ada di kirinya timur."

"Terus?" Puma bertanya. "Itu kan masih yang siang hari — yang ada mataharinya. Kalau yang malam?"

"Terus..." Yuraq bergumam tiada henti, berusaha menemukan solusinya.

"Nyerah?" tanya anak laki-laki itu dengan nada jahil.

"Gak tahu sudah," gadis itu protes.

"Baik, baik. Jadi Yuraq... misal sekarang matahari lagi terbenam. Kamu masih bisa lihat di mana mataharinya terbenam kan? Yang terang itu di cakrawala."

"Masih," jawab Yuraq dengan agak bingung.

"Nah, kamu duduk di tempat. Kamu harus ingat-ingat di mana matahari terbenam, karena di sana adalah baratnya dan arah yang berlawanan adalah timurnya. Habis mataharinya hilang, nanti muncul rasi-rasi bintangnya, kayak yang satu ini. Tapi sekarang kamu sudah tahu mana sebelah baratnya mana sebelah timurnya, dan dari situ mana sebelah utaranya mana sebelah selatannya."

"Oooh gitu..." Yuraq memperhatikan anak laki-laki itu dengan kagum. "Kalau gitu, sekarang kita menghadap mana? Utara? Selatan? Barat? Timur?"

"Eeh..." Kali ini Puma terdengar tidak yakin. "Gak tahu ya Yuraq. Masalahnya aku gak merhatiin di mana mataharinya terbenam."

Yuraq menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Suara tawa yang pelan terdengar dari dekapan tangan tersebut. "Anak ini!" seru gadis itu dalam hati.

Sesudah percakapan singkat itu, kesunyian kembali mengisi waktu-waktu mereka berdua. Kerikan jangkrik yang lembut terdengar dari segala arah. Langit-langit hitam itu memamerkan seluruh permatanya yang berkilau, yang berkumpul pada satu garis membentuk suatu sabuk cahaya.

Dalam suasana alam yang luas namun hampir tidak berorang ini, Yuraq merasa damai. Dirinya terasa hanyut ke dalam pemandangan.

"Oh iya Yuraq!" panggil Puma tiba-tiba, mengusik diam gadis itu.

"Kenapa Puma?" Yuraq menoleh ke kiri, di mana anak laki-laki itu duduk.

"Menurutmu aku asyik gak orangnya?" tanya Puma.

"Eh... asyik sih..." Yuraq bertanya-tanya kenapa Puma menanyakan hal seperti itu. "Memangnya kenapa?"

"Kalau gitu ayo temanan." Puma memutar badannya ke kanan agar berhadapan dengan gadis itu. Meskipun gelap, dia dapat melihat kebingungannya dengan samar-samar.

"Tapi... apa hubungannya?"

"Orang-orang berteman karena... buat mereka, main sama satu sama lain itu asyik."

"Tapi aku gak kayak kamu," sanggah Yuraq. "Kamu yang mulai percakapan sama aku, sama ngajak aku ini itu. Sementara itu aku gak punya apa-apa buat diomongin... atau bayangan mau ngajak orang lain ngapain."

"Tapi kamu asyik diajak bicara," tanggap Puma. "Kamu gak merasa bosan kan ngobrol sama aku?"

"Nggak sih," jawab Yuraq. "Jujur kamu itu orangnya... asyik."

"Nah makanya itu," Puma mengiyakan. "Karena kamu gak bosan sama aku. Kita bisa lanjut begini seterusnya."

"Ya... mudah-mudahan..."

"Makanya..." Nada Puma terkesan merayu. "Jadi temanku ya?"

Yuraq menghembuskan nafas dengan panjang sebelum menjawab. "Iya..."

"Mantap! Makasih Yuraq." anak laki-laki itu menanggapi.

"Eh... makasih juga... sudah usahain ngobrol sama aku."

Sekali lagi, mereka tidak bertukar sepatah kata. Keduanya hanya menemani satu sama lain menonton langit yang penuh bintang itu. Karena langit berputar, rangkaian-rangkaian bintang itu nampak sedikit berbeda dari sebelumnya, seakan-akan telah bergeser.

Dalam hatinya, Yuraq merasakan sesuatu yang hangat.

Selama ini dia hanya mengenal kedua orang tuanya, hingga dia dipisahkan dari mereka dan menjadi seorang diri. Kemudian dia mendapat tempat tinggal dan keamanan di ladang, namun tidak ada yang dia kenal di sana, hingga Samin menghampirinya.

Wanita itu adalah satu-satunya teman yang dia miliki. Namun seiring waktu berlalu, dia mulai berteman dengan orang lain. Mulai dari Qispi, kemudian Kura, hingga Puma yang jelas-jelas tertarik pada dirinya karena "asyik".

Apakah ini pertanda bahwa dirinya akan memiliki keluarga baru? Ayah dan Ibu pasti akan bangga pada dirinya.

Yuraq tersenyum bahagia akan pikiran itu, meski tidak ada yang dapat melihat senyuman tersebut.

Di saat yang sama, pandangannya masih belum lepas pada langit penuh bintang itu. Pikirannya mulai pergi ke mana-mana, terutama setelah mengingat pentingnya kilauan-kilauan itu sebagai petunjuk arah.

Tidak hanya langit-langit itu terlihat indah, namun juga teramat besar dan jauh. Begitu luas, sehingga gadis itu dihadapi dengan 2 kemungkinan: bahwa Tawantinsuyu seluas langit ini, atau; ada dunia lain di luar jangkauan negeri ini. Sepertinya ada dunia lain di luar sana — ada suku-suku barbar di dekat perbatasan, dan ada orang-orang laut yang membuat onar di negara ini. Namun, dari daratan mana mereka datang, dan seperti apakah dunia mereka.

Ini bakal jadi bahan pembicaraan yang bagus, pikir gadis itu.

"Puma!" Yuraq memanggil sambil menoleh ke kiri. Namun, dia mendapati bahwa anak laki-laki itu sudah tidak bergerak selain dadanya yang naik turun dengan pelan, dengan tangan dilipat di atas dada.

"Oh, ya sudah..."

Yuraq merasa tidak tega membangunkannya, sehingga dia ikut berbaring dan memejamkan kedua matanya.

Surat KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang