₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
Matahari yang condong ke barat bersinar di atas Qusqu, kota yang ramai itu. Yuraq dan rombongannya telah mendapati diri mereka hanyut dalam kerumunan orang.
Tidak seperti desa yang dia tinggali, bangunan dan rumah yang ditemuinya di kota ini begitu berdempetan. Begitu sesak, sampai-sampai halaman mereka — yang hanya ditumbuhi rumput pendek dan sedikit gulma — tidak lebih lebar dari seperbagian kukuchu tupu¹ dari pinggir halaman ke dinding luar bangunan.
Selain itu, dinding-dinding raksasa banyak membentang di sepanjang ibukota. Tanggul-tanggul batu tersebut bukan sekadar besar, namun menjulang tinggi hingga 4 rikra², dan tidak dapat ditembus dengan tebalnya yang selebar jalan. Bata kelabu yang menyusunnya bahkan setara besarnya — beberapa dari potongan granit kotak itu lebih besar dari rumah Yuraq di kampung.
Apapun bisa ada di balik dinding-dinding itu. Beberapa ada yang mengarah ke sisi kota yang lain. Beberapa adalah bagian dari bangunan yang mewah atau penting, seperti kuil misalnya. Beberapa adalah lahan yang lebih tinggi dari yang mereka tapaki, biasanya lengkap dengan bangunan, rumah, dan bahkan jalan di atasnya. Yuraq dapat melihat orang lalu-lalang di atas salah satu dinding.
Di tengah perjalanan — saat Yuraq tengah asyik-asyiknya mengamati pemandangan ibukota — Samin yang berjalan di sisi kanannya memanggil.
"Hei. Yuraq."
Gadis itu dengan segera menoleh pada Samin. "Ya Kak?"
"Omong-omong, kita bakal menginap di sini."
"Memangnya kenapa Kak?" Yuraq bertanya penasaran.
"Kita baru lanjut jalan besok pagi."
"Besok?" tanya Yuraq heran. "Kenapa gitu Kak?"
"Kita gak bisa singgah sembarangan di sini," jawab Samin. "Kalau kita bikin tenda di pinggir jalan nanti mengganggu ketertiban kota. Kamu perhatikan gak, kalau selama ini kita selalu bikin tenda di jalan-jalan sepi? Gak pernah di permukiman warga?"
"Oh iya ya..." gadis itu menanggapi. "Kalau gitu, kita menginap di mana Kak?"
"Oh itu," tanggap Samin. Wanita itu menunjuk pada satu titik di depan rombongan, agak miring ke kanan. "Di sana ada penginapan. Dekat sama dekat alun-alun, cuma ratusan rikra dari sana. Terakhir aku di sana tempatnya enak buat diinapi. Peranginannya sejuk, kamarnya gak pengap, dan kasurnya empuk."
"Wah? Kakak pernah menginap di sana?" Mata Yuraq berbinar-binar. "Kapan? Terus alun-alun ini maksudnya alun-alun yang ada 4 jalannya itu?"
"Iya Yuraq," Samin menjawab. "Soal kapan aku pernah ke sana... ah, itu... sekitar 1½ tahun yang lalu. Jadi gini."
Maka berceritalah wanita itu pada sang gadis. Bak seorang pendongeng handal, Samin membumbui pengalamannya dengan hal-hal menarik yang sebagian besar merupakan hasil dari ingatannya yang salah. Namun, inti dari pembicaraan itu tetap jelas, dan tentunya tanpa membuatnya kurang menarik. Sementara itu, Yuraq menjadi tahu bahwa sang kakak pernah ikut Hakan untuk urusan bisnis di Daerah Utara, dan wanita dipilih karena kemampuan bicaranya.
Di tengah perjalanan itu, Yuraq mulai mendengar derap kaki yang keras datang dari sebelah kiri persimpangan.
Jalan itu adalah jalan yang lebar namun pendek, tidak mencapai 15 rikra panjangnya. Jalan tersebut 'menabrak' jalan lurus yang rombongan itu lalui, membentuk suatu simpang tiga. Bangunan dan rumah yang tinggi, berdempetan, dan tak berhalaman mengisi kompleks tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Keluarga
Historical FictionKeluarga. Hal yang paling berharga bagi Yuraq di dunia ini. Dia ingin tetap hidup bersama mereka untuk seterusnya. Sayangnya, Yuraq hidup pada perbatasan antara dua zaman. Konflik yang terjadi pada akhir Kekaisaran Inka dan awal pendudukan Spanyol m...