48

1 1 0
                                    

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

3 minggu berlalu setelah kepergian Puma. Yuraq bekerja seperti biasa di ladang. Meskipun demikian, rasa hampa dari tidak adanya sang kekasih di dekatnya selalu menghantui gadis tersebut. Setidaknya dengan adanya kalung ini, dia tahu bahwa Puma masih ada untuknya, dan kepergiannya hanya sementara.

Di tengah kerjanya pada siang bolong, kancing itu dia genggam dengan erat dalam tangan kirinya. Sementara itu, tangan kanannya sibuk mencabuti gulma-gulma yang tumbuh di ladang jagung ini. Entah bagaimana ceritanya, hama seperti ini tidak diserang oleh bulai. Sungguh menyebalkan.

"Wah ada yang datang tuh," seru Samin, yang saat ini tengah bekerja bersamanya. Orang yang dimaksudnya adalah seorang chaski berbadan kurus dan sedikit berumur. Dia sedang berlari di sepanjang jalan tepat di belakang petak tempat Samin dan Yuraq bekerja Tepat saat wanita itu menyebutkannya, sang pembawa pesan menghentikan langkahnya. Selanjutnya, dia memandang ke arah Samin dan berjalan menghampirinya. Setelah melalui pohon-pohon jagung yang daunnya layu, dia mulai bertanya pada Samin.

"Permisi," sapanya. "Ini perladangan punya Pak Hakan kan?"

"Ah, iya Pak," kata Samin. "Bapak dari mana?"

Sambil mencabuti gulma, Yuraq menguping pembicaraan mereka.

"Saya dikirim oleh ibunya Pak Hakan."

"Ohh..."

"Rumahnya di mana?"

"Di sana, Pak." Samin mengacungkan telunjuknya ke arah ke mana sang chaski tadi berlari.

"Oh, kalau begitu terima kasih ya," ucap pria itu. Sang pria pun meninggalkan mereka, melanjutkan larinya ke arah yang Samin tunjuk.

Samin memalingkan pandangannya ke Yuraq. "Kira-kira pesan macam apa ya yang bakal dia sampaikan?"

"Nggak tahu, Kak," Yuraq berkata begitu saja.

Namun dalam hati, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia tak mampu menunjuk apa itu, namun firasatnya buruk.

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Siang esoknya, semua buruh tani dipanggil ke depan rumah Hakan. Kali ini, dia mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap kurangnya upeti untuk tahun ini.

"Seharusnya kalian ingat untuk siapa kalian bekerja. Kalian mungkin lapar sampai nggak bisa mikir, atau nggak punya tenaga. Tapi kalau kalian nggak maksa diri, kalian juga yang rugi. Dihajar sama orang-orang suruhan sana."

Orang-orang kurus yang duduk mengelilinginya hanya bisa diam. Hakan pun menghembuskan nafas berat.

"Tapi jujur, sebenarnya kita memang nggak bisa ngapa-ngapain lagi sih. Kalian tahu, wabah bulai belakangan ini? Memangnya kita bisa apa mencegah kehendak alam. Tapi sekalipun begitu, seseorang pasti dapat konsekuensinya."

Seakan mengikuti nada putus asa sang atasan, para buruh — tak terkecuali Yuraq — menundukkan kepala mereka.

"Omong-omong soal itu, saya juga mau mengumumkan kalau... istri dan anak saya hilang dalam perjalanan."

Pengumuman itu begitu mengejutkan Yuraq. Rasanya seperti ada yang merambat di tubuhnya. Gadis itu mengangkat mukanya ke arah sang pembicara. "Puma? Hilang? Yang benar?" Demikian tanyanya dalam hati, tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.

"Kemarin saya mendapat kabar dari ibu saya," lanjut Hakan. "Bahwa mereka nggak kunjung datang selama 3 minggu. Padahal harusnya perjalanan mereka hanya makan 1 minggu. Saya masih berharap bahwa mereka masih selamat di luar sana. Tapi saya nggak bisa tinggal diam menunggu kepastian, atau menunda waktu sampai mereka tidak ditemukan lagi. Makanya itu, hari ini saya mau pergi ke sana buat mencari mereka."

"Jadi saya minta tolong pada kalian buat menjaga perladangan ini."

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Sorenya, para buruh melihat bahwa pria bermuka suram itu berjalan meninggalkan perladangan. Dia membawa seekor lama berbulu putih sedang. Barang-barangnya dikarungkan dalam 3 tas awayu — 2 dipikul oleh sang lama, 1 di punggung Hakan sendiri.

Beberapa buruh sempat menawarkannya bantuan, namun dia menolak. "Saya sendiri saja" katanya. Barangkali urusan ini terlalu pribadi untuk orang lain dilibatkan.

Setelah berjalan cukup jauh, Hakan akhirnya menghilang dari pandangan para buruh. Sesudah itu, mereka melanjutkan kerja keras mereka seperti biasa. Tidak ada salam kepergian, tidak ada kata-kata... seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Yuraq tidak terkecuali. Jauh dari buruh lainnya, gadis itu mengumpulkan tangkai-tangkai kinoa tanpa banyak berpikir. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bekerja. Kuota tahun ini harus terpenuhi dengan segala hasil panen yang ada.

Lagipula, mungkin dengan demikian, kehilangan Puma tidak mengganggunya.

Namun tidak peduli seberapa keras dia menyibukkan diri, duka itu tidak kunjung pergi. Pikirannya dihantui oleh orang yang disayanginya, serta janjinya padanya. Pikirannya berusaha melawan pikiran sedih itu dengan berbagai macam kata-kata yang menenangkan. "Mungkin mereka cuma hilang. Mungkin dia masih hidup. Siapa tahu dia bakal kembali?"

Namun, seberapa besar kemungkinannya dapat bertemu Puma lagi? Barangkali bukanlah hal yang tidak mungkin bagi Puma untuk dapat pulang dengan selamat. Meskipun demikian, bukan berarti sang kekasih tidak akan hilang untuk selamanya. Semuanya bisa terjadi, bahkan yang terburuk sekalipun.

Yuraq memang tak bisa lari dari kemungkinan.

Gadis itu memegang erat kancing kalungnya. Air mulai mengalir dari kedua matanya. Aktivitas kerjanya menjadi semakin lambat dan putus-putus. Tak lama kemudian, suara tersedu-sedu terdengar dari padanya.

Yuraq menangis sendiri. Yang lain terlalu sibuk dan jauh untuk menghampirinya. Dia harus belajar untuk menerima kehilangan sekali lagi...

Surat KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang