34

1 1 0
                                    

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

₪ ₪

Sepanjang 2 hari ini, jalur yang rombongan Hakan tempuh selalu menanjak, baik landai maupun curam. Selain itu, ke manapun mereka menoleh di situ ada gunung, menjulang layaknya dinding yang sangat tinggi. Sebagian besar dari lansekap tersebut tertutup oleh tanah pucat dan rerumputan yang tumbuh di atasnya, meskipun putih salju masih dapat terlihat di mana-mana, terutama di puncak.

Yuraq menyelimut tubuhnya dengan selimut wol yang sama putihnya dengan salju itu. Kepalanya sudah mengenakan chʼullo seperti yang lainnya. Meskipun demikian, sensasi dingin itu masih dapat meraihnya. Badannya menggigil dan jari-jarinya dingin. Cahaya-cahaya kejinggaan matahari sore tidak cukup untuk membuatnya merasa hangat. Dia memang tidak dibuat untuk bertahan di udara sedingin itu.

Samin — berjalan tepat di sebelah kirinya — mencondongkan kepalanya pada gadis itu memperhatikan ketidaknyamanannya.

"Kamu butuh selimut lagi?" tanya wanita itu dengan akrab.

"Nggak Kak, makasih," jawab Yuraq sambil memeluk badannya sendiri. "Mungkin nanti."

"Baik..." tanggap Samin. "Kalau mau selimut nanti panggil aku. Aku ada lagi."

Pembicaraan mereka berhenti dengan itu. Kemudian, Yuraq mendengar pria-pria di sebelah kanannya berbincang. Kedengarannya mereka membicarakan hal yang seru — bukan hal-hal sehari-hari atau politik, melainkan satu hal lain.

"Jadi di sini tempatnya? Kamu pernah nyasar?" Pacha bertanya pada Mayu.

"Iya," pria berumur itu menjawab. "Yang jelas di sini — waktu aku lewat sini — sempat ada badai salju. Padahal tadinya gak ada tanda-tanda mau turun salju."

"Sama," tambah Nina. "Kakakku juga nyasar di sekitar sini. Tapi aku gak lihat ada gua di sekitar sini... apa kitanya yang belum sampai ya?"

"Kayaknya itu bukan masalah sampai gak sampainya deh," balas Mayu. "Masalahnya dulu... aku kembali dengan aman ke teman-temanku. Habis itu, aku kasih tahu mereka tentang gua itu. "Kamu habis dari mana?" "Aku dari gua di sana." "Memang ada gua di sana?" "Beneran ada!" Tapi masalahnya aku lupa lewat mana aku jalan habis dari gua."

"Kalau gitu bukannya masalah ingatanmu saja, Mayu?" Pacha berkata.

"Hmm... mungkin saja," jawab Mayu bingung, tidak mampu membantah Pacha.

"Kalau gitu kita belum sampai," Nina menambahkan. "Atau kalau nggak, guanya tersembunyi di balik... apa itu namanya... belokan-belokan gunung-gunung itu loh."

"Ah, bisa juga," Pacha menanggapi. "Mungkin itu penjelasan yang paling masuk akal."

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Petang hendak berlalu. Langit biru gelap yang berawan tebal, cakrawala bergradasi putih dan kuning, serta bersinarnya mentari tepat di belakang rombongan menjadi pertandanya. Sementara itu, gua yang ketiga pria itu bicarakan belum menampakkan diri.

Di saat yang sama, angin dingin berhembus sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Jika sore tadi angin itu begitu pelan hingga hampir tak terasa, kali ini pakaian mereka berkibar layaknya bendera. Yuraq yang kedinginan berusaha memegang selimutnya erat, namun kain wol itu terus terangkat dari badannya.

"Samin," panggil gadis itu.

"Hm?" Sama seperti Yuraq, ujung bawah tunik wanita itu berkibar oleh angin.

"Pinjam selimut."

"Oh baik, sebentar." Samin mendekati Yuraq — atau lebih tepatnya, dia mendekatkan tasnya pada gadis itu. "Ambil di sini."

"Terima kasih." Yuraq merogoh isi kain persegi itu hingga tangannya merasakan kelembutan wol yang tipis. Kemudian, dia menarik selimut itu keluar dan segera menyelubungi badannya dengan itu. Sekarang gadis itu terlindungi oleh tidak hanya satu, namun dua lembar wol. Sayangnya, angin itu terus meniup kain-kain itu dari badan.

"Kayaknya 2 selimut gak ada artinya deh," keluh Yuraq. Samin hanya bisa tertawa.

Semuanya itu menjadi lebih menyusahkan dengan turunnya salju, tidak lama kemudian. Segera setelah awan-awan menutupi langit sepenuhnya, putih-putih itu mulai mendarat di atas tanah, kepala, dan bahu setiap orang dan lama. Hujan salju ini — bersama kegelapan malam yang mendatang — memperpendek jangkauan penglihatan mereka dengan sangat.

Beberapa saat kemudian, salju yang tadinya tidak lebih tipis dari kulit kini menjadi setinggi tumit manusia. Orang-orang mulai tertusuk di telapak kaki oleh dinginnya salju di tanah.

"Hati-hati!" seru Hakan, suaranya dikaburkan oleh siulan angin. "Jangan sampai kena radang dingin." Orang-orang di belakangnya mengiyakan dia dengan suara yang tak kalah kabur.

Titu — khawatir dengan kondisi alam seperti ini — bertanya dia pada ayahnya yang berjalan di sebelah kanan depannya.

"Kita gak berhenti di sini dulu, Yah?"

"Sedikit lagi, Titu!" jawab Hakan. "Di sini terlalu banyak salju. Kita harus cari tempat yang lebih teduh... di kaki lereng!"

Sementara itu, Yuraq sudah sangat lelah dan bingung. Gadis itu tidak pernah merasakan dingin yang teramat sangat seperti ini seumur hidupnya. Selimut-selimut berlapis itu seakan tiada gunanya, karena perasaan beku itu merambat hingga ke tulang-tulang. Pikirannya sudah mulai menyeberangi wilayah bawah sadar. Sesamanya anggota rombongan terlihat di depannya seperti bayangan hitam yang perlahan-lahan sirna layaknya hantu di balik tirai hujan salju yang terus berjatuhan.

Meskipun setengah sadar, Yuraq tahu bahwa dia terpisah dari rombongannya. Di mana orang-orang yang tadi berada di sisinya? Dia ingin berlari, namun salju yang terus tenggelam di bawah telapak kakinya selalu menghalangi.

"SAMIN!" teriak gadis itu dengan seluruh tenaga yang dia miliki.

"PUMA! KURA!"

Yuraq terus berseru memanggil orang-orang yang dia kenal, sambil menghadang salju yang kini sudah setinggi pergelangan kaki. Sayangnya, angin itu berderu dengan begitu keras, sampai-sampai gadis itu kesusahan mendengar teriakannya sendiri. Jika demikian parahnya, bagaimana bisa rombongannya — yang sudah entah seberapa jauh di depannya — mendengarnya.

Akhirnya gadis itu menyadari bahwa memanggil mereka sia-sia. Dia tidak bisa berdiam di sini atau mencari mereka, karena dia dapat menjadi mumi beku di sini. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk terus berjalan maju, berharap menemukan tempat untuk berteduh.

"Tolong aku gak mau mati aku gak mau mati..." Yuraq meminta terus-terusan dalam hatinya, berharap sesuatu akan menyelamatkan dirinya.

Dan pada akhirnya, doa Yuraq terkabul.

Di hadapannya, gadis itu melihat suatu massa gelap yang besar dan bundar. Wujud itu semakin lama semakin hitam dan besar, dengan tinggi mencapai belasan rikra atau lebih, seakan hendah menelan dirinya bulat-bulat. Saat Yuraq sudah cukup dekat, barulah dia mengetahui apa yang dilihatnya itu.

Menganga di depannya adalah suatu mulut gua yang diapit oleh lereng batu dan pasir yang kini putih akan salju. Mulut itu besar bukan main, sampai-sampai Yuraq hampir terjatuh saat menengadah ke arah puncaknya.

Namun, saat ini bukanlah waktunya untuk mengagumi sebuah lubang di kaki gunung. Tanpa banyak berpikir, gadis itu berlari ke dalam sana dengan canggung. Setelah berjalan masuk ke dalam gua tersebut — cukup dalam sehingga tidak ada salju di tanah — Yuraq segera menjatuhkan badannya ke lantai gua yang bertanah, lalu duduk memandang hujan salju itu dari dalam.

Sekujur tubuhnya pun mulai merasakan nyeri lelah.

Surat KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang