"Kita memang tidak boleh menilai orang hanya dari penampilannya saja, tapi biasanya, penampilan luar menggambarkan isi dalamnya"***
Darel bukanlah seorang pelajar laki-laki dengan segudang prestasi. Bukan pula, seorang pelajar yang populer di sekolahnya. Darel adalah seorang pelajar biasa, yang sebenarnya serba bisa dengan segala ide di kepalanya. Hanya saja, rasa malas mengalahkan semuanya. Buktinya, sekalinya dia sedikit serius dalam belajar, dia bisa masuk ke kelas prestasi di sekolahnya. Bukannya bangga, Darel justru merasa biasa saja. Baginya sekolah hanya formalitas, tidak perlu dipikirkan hingga otak terkuras.
Lima menit sebelum bel masuk berbunyi, Darel baru tiba di kelas. Dia berjalan santai tanpa beban menuju ke mejanya. Darel meletakkan tas, kemudian duduk. Melihat teman-temannya tengah sibuk menyalin sesuatu, dia merasa penasaran.
"Pada ngerjain apa sih, Nay?" Darel bertanya kepada Nayra yang duduk di sudut belakangnya.
"Oh, itu catatan biologi."
"Lo, udah?"
"Udah."
"Gue liat, Nay." Darel tersenyum sambil menampakkan deretan giginya kepada Nayra.
"Liat sambil nyatat." Nayra hafal betul kebiasaan Darel, dia pasti lupa mengerjakan tugas catatan itu. Walau dengan wajah cemberut, Nayra menyerahkan buku catatannya kepada Darel.
"Hehe. Makasih, Nay."
Darel berbalik ke arah mejanya dan mulai sibuk menyalin catatan milik Nayra. Entah dengan kecepatan apa Darel mencatat, dia selesai dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Tepat sebelum Bu Siti, guru biologi masuk ke dalam kelas untuk mengajar. Padahal, catatan itu sampai tiga lembar banyaknya.
"Nih, Nay. Makasih ya." Darel mengembalikan buku catatan biologi Nayra.
"Weh, udah? Cepet amat."
"Yaiya lah, gue tadi pake kecepatan menulis setara dengan kecepatan motor 260km per jam." Darel tersenyum dengan wajah bangganya.
"Ceh." Nayra malas menanggapi.
Pelajaran biologi dimulai. Mereka belajar tentang sistem peredaran darah manusia. Semua pelajaran berjalan lancar, hingga tiba waktu istirahat. Isi kelas mulai kosong. Mereka segera menuju kantin setelah mendengar suara bel istirahat yang berbunyi kencang. Begitu juga Darel, dia bersama Aidan keluar dari kelas sambil berbincang ringan. Saat tiba di dekat rak sepatu, Darel terlihat kebingungan mencari sesuatu.
"Ayo." Ajak Aidan.
"Bentar, sepatu gue kemana ya?" Dareng menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Lah, tadi lo tarok mana?"
"Ya di sini, tapi kok sekarang nggak ada, sih." Darel menunjuk tingkat ke dua rak sepatu, tempat di mana dia meletakkan sepatu miliknya tadi pagi.
Saat Darel tengah sibuk mencari sepatunya, seorang gadis berambut panjang berkacamata datang dari kantin membawa sekotak susu di tangannya, menyapa Aidan dengan senyuman. Aidan balik tersenyum pada gadis itu. Gadis itu melepas sepatu yang ia kenakan, tanpa meletakkannya kembali ke rak sepatu.
"Nggak ke kantin, Dar?" Gadis itu bertanya kepada Darel yang sibuk mencari sepatu.
"Sepatu gue hilang." Jawab Darel singkat.
Gadis tadi ber"oh" kemudian lanjut berjalan menuju kelas. Duduk di kursinya dan meminum susu kotak yang ia bawa. Aidan sudah tidak sabar menunggu.
"Udah deh, lo nggak usah pake sepatu aja."
"Eh, nggak higienis kaki gue ntar." Darel tidak menyerah, dia melihat sekelilingnya. Saat pandangannya tiba di dekat tempat Aidan berdiri, Darel mendengkus sambil berkacak pinggang kemudian berjalan mendekati Aidan.
"Lah ini sepatu gue. Lo umpetin ya, Dan!" Darel mengambil sepatu di dekat kali Aidan dan menunjukkannya di depan wajah Aidan.
"Enak aja, lo! Gue dari tadi berdiri membisu menatap lo yang mencari sepatu." Aidan yang dituduh, tidak terima.
"Ngaku aja deh, lo!"
"Kurang kerjaan banget gue sampe ngumpetin sepatu, lo. Bukan gue."
"Terus siapa?!" Darel masih berseru-seru.
"Apaan si, kalian berisik banget. Gue tadi yang pake sepatu itu. Kenapa?" Eira tiba-tiba muncul dan berbicara lewat jendela.
Darel dan Aidan menoleh ke arah sumber suara bersamaan. Darel menatap kesal Eira yang acuh tak acuh.
"Lo kalo mau pinjam, minimal izin dulu, lah."
"Sebelum gue pake tadi, gue udah teriak, itu sepatu siapa. Tapi nggak ada yang jawab, jadi gue pake aja." Eira menggidikkan bahu tak peduli.
Belum sempat Darel melanjutkan omelannya kepada Eira. Gadis itu sudah kembali berjalan menuju mejanya. Darel menatap kesal Eira dan berbalik mengajak Aidan untuk pergi ke kantin.
Sepuluh menit kemudian, bel masuk berbunyi. Setelah istirahat, wajah-wajah lesu kembali ceria. Perut mereka telah terisi makanan, dan paru-paru mereka telah menghirup udara segar di luar walau hanya sebentar. Saat yang lain terlihat sumringah, Darel justru kembali dari kantin dengan wajah terlipat. Dia tampak masih kesal dengan kejadian tadi. Karena Eira yang memakai sepatunya tanpa izin, waktu istirahat Darel terpotong sepuluh menit.
Melihat wajah kusut Darel, Vanya, teman sebangku Nayra bertanya kepada Aidan yang baru kembali dari kantin bersama Darel dengan kode alis. Aidan hanya menggidikkan bahu, dan duduk di kursinya yang berada di sudut depan Darel. Vanya menyikut lengan Nayra, memintanya untuk bertanya kepada Darel. Belum sempat Nayra membuka mulut untuk bertanya, Darel terlebih dahulu berbalik badan menghadap belakang.
"Asal kalian tau, tadi gue istirahat cuma sepuluh menit." Darel memulai ceritanya kepada Nayra dan Vanya sambil bersungut-sungut.
"Lah, lo ngapain aja?" Vanya mengerutkan dahi.
"Sepatu gue hilang tadi. Lebih tepatnya dipinjam tanpa izin." Darel dengan sengaja menguatkan suaranya, agar Eira mendengar ucapannya itu.
Eira sempat menoleh ke arah Darel, yang tempat duduknya terpisah dua deret. Tempat duduk kelas itu terbagi menjadi empat deret. Darel duduk di deretan bangku dekat dinding sebelah kanan dari depan, sedangkan Eira duduk di deretan bangku dekat dinding sebelah kiri dari depan.
"Enak aja! Gue udah izin tadi, tapi nggak ada yang nyaut, jadi gue pake aja langsung." Eira membela diri.
"Emang Lo nggak punya sepatu, apa? Seenak jidat main pake sepatu orang!" Darel balas tidak terima.
"Gue malas ngikat sepatu, kalo pake sepatu lo 'kan gede, jadi langsung sorong aja nggak perlu buka tali sepatu atau ikat talinya lagi." Tutur Eira.
"Dih, nggak jelas banget. Lain kali izin!"
"Iya, iya. Kayak sepatu lo mahal aja si."
"Emang mahal."
Eira memilih untuk tidak menanggapi Darel. Jika dia menanggapinya, maka dia tidak akan pernah menang debat dengannya. Anak keras kepala dengan wajah songong yang menyebalkan, entah kenapa dia bisa berada di kelas ini. Eira berjuang keras untuk bisa masuk ke kelas prestasi ini, yang terkenal berisi siswa siswi berprestasi dengan peringkat lima besar dari kelas sebelumnya. Mereka semua dikumpulkan di sini.
Tapi, lihatlah si Darel itu. Dia bahkan jarang mengerjakan PR di rumah. Dia lebih sering mengerjakan PRnya di sekolah, dengan mencontek Nayra ataupun Vanya. Pakaiannya memang tidak terlalu berantakan, tapi tidak serapi murid laki-laki lain di kelas ini. Eira tidak yakin, dengan penampilannya yang seperti itu, juga sikapnya yang menyebalkan dia menduduki peringkat lima besar di kelas sebelumnya.
Tapi, kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya. Mana tau, dia memiliki bakat terpendam, atau sesuatu yang lebih menarik dari bakat dalam dirinya. Darel Shankara, laki-laki yang sok ramah dan sok baik kepada semua orang. Itu kelebihannya, dia mudah akrab dengan orang lain, bahkan dengan orang yang baru pertama kali dia temui.
*****
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Shoes
Teen FictionCinta bersemi di dalam sepatu. Cinta? Bersemi di dalam sepatu? Ya, jika cinta biasanya turun dari mata ke hati, maka cinta Darel naik dari kaki ke hati. Sepatu sekolah menjadi saksi akan Darel yang jatuh hati. "Ku titipkan cintaku dalam sepatuku...