Penjas

3 2 0
                                    


"Kucing dan tikus tidak akan pernah akur, kecuali Tom and Jerry. Itupun di saat tertentu."


***

Besok paginya, Darel sengaja datang lebih awal hanya untuk memberikan gantungan kunci berbentuk kucing yang dia beli kemarin, kepada Eira. Eira tengah asik membaca novel di tempat duduknya, sesekali bercakap tentang sesuatu di dalam novel yang dibacanya dengan Salsa, teman sebangku Eira. Menyadari ada seseorang yang berdiri di sampingnya, Eira reflek menoleh.

"Nih." Darel menyodorkan lima buah gantungan kunci dengan bentuk yang sama dengan milik Eira kemarin, dengan warna yang berbeda-beda.

"Eh, beneran digantiin? Gue kira, lo cuma bercanda bilang 'iya' kemarin." Eira melipat tangannya di depan dada.

"Banyak bacot, lo. Ambil nih, buruan! Kalo lo nggak mau, yaudah. Gue kasih ke Nayra atau Vanya aja."

"Dih, gitu aja ngambek, lo." Eira mengambil salah satu gantungan kunci yang disodorkan oleh Darel.

"Ambil semua!"

"Punya gue yang lo rusak kemaren 'kan cuma satu, Dar."

Darel tanpa basa-basi meletakkan sisa gantungan kunci di tangannya ke meja Eira. Darel berbalik badan.

"Dar! Ini kebanyakan."

Langkah Darel terhenti. "Nggak papa, anggap aja gue sedekah buat lo."

Eira hampir berdiri dan berniat melemparkan gantungan kunci itu ke wajah Darel, tapi tangannya ditahan oleh Salsa.

"Udah, Ra. Harusnya lo seneng dapet ganti lebih, lumayan 'kan."

"Tapi, Sal. Muka dia kayak ngejek banget, rasa pengen ku tonjok." sungut Eira kesal.

"Asal lo tau, Ra. Ini adalah salah satu teknik marketing yang bagus, rusak satu, diganti lima. Untung banyak, lo."

Eira hanya diam, tidak menanggapi ucapan Salsa yang terlihat antusias. Menurut Eira itu terlalu berlebihan, bahkan sebenarnya dia tidak menginginkan gantungan kuncinya benar-benar diganti oleh Darel. Tapi tak apalah, lumayan.

Lima menit berselang setelah Darel duduk di bangkunya, Nayra datang bersama dengan Vanya. Nayra sedikit terkejut saat melihat Darel yang telah duduk di bangkunya sambil melipat kaki. Biasanya, Darel selalu datang setelah mereka.

"Wuiiih, tumben lo berangkat pagi, Rel." ucap Nayra sambil berjalan menuju bangkunya di sudut belakang Darel.

"Kesambet apa lo, Rel?" timpal Vanya.

Darel mendengkus kesal, kemudian berbalik badan mengarak kepada Nayra dan Vanya.

"Sebenernya gue juga males berangkat pagi, tapi demi gantiin ganci punya si pencuri sepatu itu, jadi gue datang pagi." ujar Darel penuh kesal.

"Lah, apa hubungannya?"

"Gue nggak mau yang lain liat, Nay."

"Gengsi, yaa..." olok Vanya.

"Apaan sih. Jelas nggak, lah."

Percakapan mereka berhenti, kelas mulai ramai. Mereka duduk di bangku masing-masing dan sibuk dengan topik mereka. Pagi ini mereka akan belajar kimia selama dua jam pelajaran. Kimia tidak semenakutkan matematika, masih bisa ditoleransi, walau sama-sama dapat membuat prustasi.

Jam pelajaran kimia selesai, berganti dengan jam penjas. Para murid kelas XI IPA 1 merenggangkan badan, seolah baru bangun dari tidur. Mereka segera berganti baju olahraga, kemudian menuju lapangan untuk memulai pelajaran penjas.
Mereka melakukan pemanasan yang dipimpin oleh seksi olahraga kelas, yaitu Lia.

Setelah peregangan dan lari keliling lapangan sebanyak dua putaran, guru mata pelajaran penjas menghampiri mereka. Pak Ari, namanya. Minggu kemarin mereka telah belajar tentang teknik dasar bola voli, dan kali ini mereka akan memulai praktek servis.

Dimulai dari murid laki-laki terlebih dahulu, mereka semua berhasil dalam lima kesempatan. Sekarang, giliran murid perempuan. Banyak dari mereka yang berhasil, namun banyak juga yang gagal. Eira termasuk yang gagal. Hingga diwaktu akhir, tinggal dia yang belum berhasil.

"Ayo, Eira. Teman-temanmu sudah semua, lho." Pak Ari mengingatkan.

"Iya, Pak. Tapi saya nggak bisa Pak."

"Pukulan tanganmu itu kurang kuat." seru Darel dari pinggir lapangan.

"Nah, beri contoh, Rel." pinta Pak Ari.

"Lah, kok saya sih pak?"

"'Kan kamu yang bilang tadi, cepat!"

Darel dengan malas berdiri dan berjalan menuju posisi Eira. Dia mengambil bola voli yang lain dan bersiap memberikan contoh.

"Posisi lo begini, lempar bolanya nggak harus tinggi-tinggi nggak apa-apa." tutur Darel sambil mempraktekkan gerakan.

"Liatin bolanya, bukan gue. Gue tau kok, gue ini ganteng."

"Dih."

Darel memukul bola voli di tangannya, dan berhasil melewati net.

"Tuh, gampang 'kan. Coba lo, sekarang."

Eira mengambil posisi yang sama dengan Darel, mencoba melakukan seperti yang telah dicontohkan oleh Darel. Bola voli berhasil dipukul mengarah ke net. Tapi belum berhasil melewati net.

"Coba lagi, pusatkan kekuatan di tangan lo." saran Darel.

Eira mengangguk dan mencoba lagi. Setelah percobaan ketiga, akhirnya bola berhasil melewati net. Begitu pula pukulan bola-bola berikutnya. Eira mulai terbiasa.

"Nah, bisa 'kan. Siapa dulu dong yang ngajarin." ucap Darel sambil menyisir rambutnya menggunakan jari, sambil memasang wajah bangga.

"Iya deh, makasih ya, Dar." Eira tersenyum.

"Ck, kalo menggal nama gue tuh yang bener dong. Panggil 'Rel' gitu, jangan 'Dar'. Nggak estetik." protes Darel.

"Heleh, 'kan sama aja."

"Beda! Enak aja. Mama gue udah ngasih nama gur yang keren, Darel. Lo malah manggil gue 'Dar', merusak keestetikan tau!"

"Sama aja." Eira melangkah meninggalkan Darel yang terlihat masih akan terus mengoceh.

"Dasar pencuri sepatu!"

"Apaan sih, gue tuh pinjem!"

"Pinjem jenis apa kok nggak bilang-bilang, hah?" Darel memincingkan mata.

"Dih, males banget ngadepin, lo. Bisa stres gua."

"Bukannya lo emang stres, dari dulu?"

"Enak aja, lo yang stres!"

Perseteruan mereka masih terus berlanjut hingga jam pelajaran penjas selesai. Anak kelas sudah mulai terbiasa dengan perseteruan mereka. Mereka bagaikan kucing dan tikus yang sulit untuk berdamai, atau bahkan hampir tidak mungkin. Tapi jika dilihat-lihat, mereka cukup serasi di waktu tertentu.

"Rel, lo nggak capek apa rusuh mulu sama Eira? Damai kek, capek gue dengernya." keluh Nayra.

"Ya sebenernya gue juga capek, Nay. Bisa pula ada cewek sejenis dia di dunia ini."

"Tapi gue ngeship kalian lho, kayak lucu aja gitu."

"Lucu apanya coba, Van?"

"Ya lucu aja."

"Tapi bener sih, Rel." timpal Nayra.

"Kalian ini kenapa sih, males banget gue."

Hari-hari Darel di sekolah diisi dengan perseteruan antara dia dan Eira. Terus menerus, tiada hari tanpa rusuh dengan Eira. Dunia sekolahnya yang dulu tenang, kini telah berubah. Sepatu kesayangannya semakin sering hilang saat diperlukan. Padahal, sepatunya itu tidaklah bagus lagi. Walaupun memang masih layak pakai, tapi bukan baru lagi. Entah apa yang membuat Eira nyaman dengan sepatu itu. Ataukah mungkin, dari sepatu Darel juga memancarkan aura-aura kegantengan yang memikat? Darel selalu saja tak habis pikir tentang hal itu.

*****

Bersambung.....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love in ShoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang