"Perkara gantungan kunci, aku harus menahan segala jenis gengsi dalam diri"***
Pagi ini diawali dengan pelajaran matematika wajib, tidak estetik sekali. Pagi-pagi harus bertemu angka dan kumpulan rumus. Di belakang, Nayra dan Vanya saling berbisik tentang rumus yang sedang dijelaskan oleh Pak Andra, di depan.
"Woy, liat nih!" Darel berbalik badan ke arah belakang untuk menunjukkan mata penanya yang terlepas kepada Nayra dan Vanya di sana.
Nayra dan Vanya mengalihkan fokus mereka pada pena yang dipegang oleh Darel, dengan mata pena yang telah terlepas. Sempat terpaku, terheran sejenak dengan apa yang terjadi.
"Gue niatnya mau lepasin segelnya doang, eh malah lepas sama mata penanya juga." tutur Darel sambil menertawakan dirinya sendiri.
"Wah, lo brutal banget, Rel." Vanya tertawa tertahan melihat kelakuan Darel.
"Mana pena baru, pula." lanjut Darel sambil tertawa pelan dan berusaha memperbaiki ujung penanya yang terlepas itu.
Nayra tidak berkomentar banyak, dia dari tadi tertawa cekikikan melihat kelakuan teman laki-lakinya itu. Jika saja mereka tidak sedang dalam kondisi belajar, Nayra pasti sudah tertawa terpingkal-pingkal.
Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Jam pelajaran berikutnya adalah ekonomi. Mereka memang anak SMA dengan jurusan IPA, tapi ada beberapa mata pelajaran lintas minat yang mereka pelajari, ekonomi misalnya.
Mata pelajaran ekonomi hari ini yaitu dua jam pelajaran, yang terpisahkan oleh istirahat. Tapi biasanya, Pak Toni menggabungkan dua jam pelajaran itu melewati jam istirahat, kemudian menggantinya di dua puluh menit terakhir jam pelajarannya.
"Perut gue laper, Van." Nayra mengelus-elus perutnya yang berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu.
"Gue juga laper, Nay."
"Istirahat masih lama, ya?" tanya Nayra dengan wajah memelas.
"Bentar lagi, kok. Sekitar lima puluh lima menit lagi."
"Masih lama itu, Van! Hampir satu jam." Nayra memukul bahu Vanya.
"Eh, kan nggak sampe sejam, lho. Nggak lama itu." elak Vanya.
Nayra memilih kembali diam memperhatikan pejelasan Pak Toni, tentang sistem ekonomi di Indonesia. Tiga puluh menit kemudian, bel istirahat berbunyi nyaring. Anak kelas lain berhamburan keluar menuju ke kantin untuk mengisi perut mereka. Perut Nayra berbunyi lagi.
"Haaaah, lamanyaaa...." Nayra mengeluh untuk yang kesekian kalinya.
"Yang sabar, ya." Vanya menepuk-nepuk bahu Nayra.
Sepuluh menit lagi berlalu.
"Woy, gue laper." Darel menolehkan kepalanya ke belakang hanya untuk mengatakan itu, kemudian kembali fokus ke depan.
"Gue juga, kalik. Perut gue udah bunyi-bunyi dari tadi." gerutu Nayra.
Sepuluh menit lagi berlalu, jam ekonomi akhirnya berakhir. Seluruh isi kelas segera berhamburan keluar menuju kantin. Tidak ketinggalan, si Darel. Dia melangkah keluar kelas bersama Aidan. Saat tiba di rak sepatu, Darel lagi-lagi kehilangan sepatu miliknya.
"Woy, plis lah. Gue laper, mau ke kantin! Di mana sepatu gue?!" Darel berseru kencang sambil berkacak pinggang.
"Di pake Eira kalik." duga Aidan.
"Dasar, si pencuri sepatu itu!" Darel bersungut-sungut kesal.
Lima menit menunggu, Darel melihat Eira kembali dari kantin dengan mengenakan sepatunya. Melihat hal itu, Darel melipat tangan di depan dada dan memasang wajah masamnya.
"Kalo gini terus, lama-lama gue jadi Cinderella, nih. Tapi bedanya, sepatu gue hilangnya sepasang." Darel dengan sengaja mengeraskan suaranya.
"Dih, kalo Cinderella mah sepatu kaca. Sedangkan lo, sepatu yang udah buruk rupa." sungut Eira.
"Lo itu ya, udah pinjem nggak bilang-bilang, dan sekarang lo ngejek sepatu gue buruk rupa, gitu?"
"'Kan memang bener sepatu lo udah buluk."
"Gitu-gitu, lo pake juga."
Darel mendengkus kesal kemudian mengenakan sepatunya dan pergi menyusul Aidan yang telah meninggalkannya, untuk pergi ke kantin terlebih dahulu.
"Minimal tunggu, lah coy." Darel berujar kesal kepada Aidan yang meninggalkannya tadi.
"Capek gue nungguin lo, keburu laper gue." Aidan menggidikkan bahu tidak peduli, memilih untuk segera memesan makanan.
Setelah mendapat makanan yang mereka pesan, Darel dan Aidan duduk di kursi panjang dengan meja yang panjang pula, tempat mereka biasa makan di sana.
Jam pelajaran berikutnya kosong, para guru sedang mengadakan rapat di ruang kepala sekolah. Suasana kelas XI IPA 1 riuh dengan suara dari para murid di dalamnya. Masing-masing dari mereka ada yang berkumpul membentuk satu circle dan sibuk dengan topik mereka sendiri, ada yang bermain gitar sambil bernyanyi, ada yang membaca novel, bahkan ada yang memilih untuk tidur.
Darel tengah sibuk bercengkrama dengan circle Eira, mereka tampak tengah membicarakan sebuah topik yang seru.
"Liat nih, gue punya gantungan kunci baru." ujar Eira penuh semangat sambil memperlihatkan gantungan kunci berbentuk kepala kucing, dengan ekor panjang berwarna pink.
"Ih iya, lucu banget. Lo beli di mana?." Karin tampak antusias.
"Sini, gue liat." Darel tiba-tiba mengambil paksa gantungan kunci milik Eira. Eira tidak berniat untuk menyerahkan gantungan kunci itu pada Darel, dia menahannya.
"Eh, enak aja, lo. Ini tuh harganya mahal, kalo sampe Lo pegang, bisa-bisa rusak."
"Dih, Lo kira gue mesin penghancur, apa? Gue cuma mau liat doang, sini!" Darel masih terus memaksa.
Terjadi perebutan gantungan kunci di antara mereka. Darel yang penasaran, dan Eira yang enggan untuk meminjamkan. Tiga puluh detik tarik menarik, Darel berhasil menarik gantungan kunci itu. Dia terkekeh senang, setelah dilihat, ternyata yang ada di tangannya hanya bagian ekornya saja.
"DAREL!" Eira berseru kencang, para murid yang tadinya sibuk dengan dunia mereka masing-masing menoleh ke arah sumber suara. Melihat Eira yang wajahnya memerah menahan amarah.
"Lo sih, maksa banget mau minjem. Jadi rusak 'kan gantungan kunci gue!"
"Dih, salah siapa nggak mau pinjemin." Darel menggidikkan bahu.
"Gua nggak mau tau, pokoknya, lo harus gantiin!" Eira tidak terima.
"Hayo lo, Rel."
"Gantiin, Rel. Tanggungjawab."
Murid lain yang memperhatikan kejadian itu ikut menimpali."Apaan si, bukan salah gue. Itu emang gancinya aja yang kualitasnya jelek. Makannya gampang rusak." Darel mengelak.
"Bacot, lo. Gue nggak mau tau, pokoknya, lo harus gantiin."
"Iya deh iya, besok gue ganti. Benda murahan, kayak gitu aja lho." Darel beranjak meninggalkan circle Eira, dan memilih kembali ke habitatnya di seberang deretan Eira.
"Apaan sih, gitu doang. Siapa suruh dia nggak mau minjemin ke gue. Gue 'kan cuma mau liat doang, bukan mau gua bawa pulang. Segala pake suruh gantiin pula. Gue mana tau tempat buat beli barang kayak begituan, mau nanya juga gengsi. Duh, repot juga kalo begini. Dasar, pencuri sepatu sialan." gerutu Darel dalam hati setelah berhasil mencapai kursinya, dan duduk di sana.
Sepulang sekolah, demi menepati janjinya pada Eira, Darel memberanikan diri untuk mampir ke toko aksesoris. Dia membeli gantungan kunci yang mirip dengan milik Eira yang tidak sengaja dia rusak tadi. Dengan menahan segala malu dalam hati, Darel berhasil dalam misi membeli gantungan kunci sebagai ganti milik Eira tadi.
*****
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Shoes
Teen FictionCinta bersemi di dalam sepatu. Cinta? Bersemi di dalam sepatu? Ya, jika cinta biasanya turun dari mata ke hati, maka cinta Darel naik dari kaki ke hati. Sepatu sekolah menjadi saksi akan Darel yang jatuh hati. "Ku titipkan cintaku dalam sepatuku...