"Semakin sering kita berseteru, semakin dekat aku dan kamu"***
Hari ini mereka belajar Bahasa Indonesia, tentang karya ilmiah. Kali ini mereka diberi tugas secara berkelompok. Setiap kelompok ditugaskan untuk melakukan sebuah penelitian tentang pemanfaatan bahan organik untuk dijadikan suatu inovasi. kemudian, membuat laporan berbentuk karya ilmiah dar penelitian tersebut.
Bu Dira mulai membagi kelompok, setiap kelompok beranggotakan tiga orang. Kali ini Darel berada satu kelompok dengan Nayra, Karin dan gadis yang menyebalkan baginya, yaitu Eira. Perseteruan mereka tak kunjung berakhir, Eira juga masih terus meminjam sepatu Darel tanpa izin. Walau menurut pengakuan Eira, dia telah meminta izin.
Darel yang biasanya penuh ide saat bekerja secara kelompok, kali ini dia lebih memilih untuk diam tak berkomentar. Dia hanya melipat tangan di depan dada sambil bersandar di kursinya. Eira mulai kesal melihat Darel yang tidak ikut menyumbangkan pikirannya sama sekali, Eira kemudian tiba-tiba memukul bahu Darel dengan keras.
"Apa-apaan, sih lo? Sakit tau!" Darel menatap Eira sambil menggosok-gosok bahu kirinya yang terasa pedih akibat pukulan Eira.
"Bantu mikir, makannya!" Eira balas menatap Darel dengan tatapan yang lebih tajam.
"Ada apa, Eira, Darel? Kenapa kalian ribut-ribut di belakang?" Tegur Bu Dira.
"Darel, Bu. Dia tidak mau ikut berpikir dan mencari ide untuk tugas kelompok ini, dan justru bersantai-santai dari tadi."
"Benar, Darel?" Bu Dira menatap Daren menunggu jawaban.
"Eh, tidak, Bu, bukan seperti itu. Saya ikut berpikir kok, Bu. Hanya saja, gaya berpikir saya berbeda, bukan yang terlihat pusing seperti, Eira." Darel mengelak.
Bu Dira mengangguk, kemudian kembali fokus dengan buku nilai di tangannya. Sementara, Eira dan Darel masih saling melempar wajah mengejek satu sama lain. Nayra menghela napas, melihat tingkah dua rekan kelompoknya itu.
"Nay, mending lo duduk di tengah antara gue sama, si pencuri sepatu ini, deh. Biar gua nggak terkena pancaran radiasi yang berdampak buruk bagi gue, dari dia." Darel berdiri meminta bertukar posisi dengan Nayra yang duduk di sebelah kanannya.
"Dih, lo saja kalik yang memancarkan radiasi buruk. Kalo gue mah memancarkan kebahagiaan." Sungut Eira.
Kini, Daren dan Nayra telah bertukar posisi, Nayra berada di tengah antara Darel. Perseteruan mereka akhirnya tertahan, karena keberadaan Nayra yang menghalangi mereka berdua. Kegiatan kerja kelompok di lanjutkan.
"Gimana, menurut kalian?" Nayra meminta pendapat rekan-rekannya tentang ide yang baru dia sampaikan.
"Gue setuju, sih. Simple, dan bahannya mudah didapat." Karin terlebih dahulu menanggapi.
Nayra tersenyum dan mengangguk mendengar jawaban dari Karin. Dia beralih bertanya kepada Eira.
"Kalo lo, gimana, Ra?"
"Gue setuju. Heh, lo, induk bebek. Gimana pendapat lo, jangan cuma setuju-setuju aja lo, kasih alasan." Eira membungkukkan tubuhnya demi menatap Darel yang berada di sebelah kanan Nayra.
"Dih, enak aja gue yang ganteng ini dipanggil, induk bebek. Lo aja, kalik."
"Dih, kan memang lo tu bawel, kayak induk bebek."
"Sok kenal, lo sama bebek." Darel bersungut, kemudian memperbaiki posisi duduknya menghadap Nayra.
"Kakak gue juga pernah bikin karya ilmiah kayak gini, udah terbukti kalo bener. Penelitiannya juga mudah, bahan dan alatnya ada di sekitar kita, gimana kalo kita contoh punya kakak gue aja?" Darel memberi saran.
"Wih, itu lebih simple, sih." Karin tampak bersemangat, bagi Karin, jika ada yang lebih mudah kenapa pilih yang sulit.
"Boleh, tapi bukannya kakak lo udah kuliah sekarang? Emang masih nyimpen filenya?"
"Iya, Nay. Nanti gue tanya dulu ke dia, semoga aja masih, jadi kita bisa ambil contoh dari situ."
Nayra mengangguk setuju, begitu juga Karin. Daren menatap Eira dengan wajah sombongnya sambil menaikkan alis, merasa menang dan lebih unggul. Eira yang diberi tatapan itu memutar bola mata jengah. Jam pelajaran terasa sangat panjang jika berhadapan dengan si menyebalkan, Daren.
"Kenapa jam Bahasa jadi kerasa lama banget sih, gue udah muak banget sama muka si induk bebek ini. Kumohon, cepatlah berlalu." Eira menggerutu dalam hati.
Dua puluh menit kemudian, bel pergantian jam berbunyi. Berakhir sudah berbagai drama yang terjadi antara Darel dan Eira. Bahkan sebelum kembali ke bangku masing-masing, mereka masih sempat saling menjulurkan lidah satu sama lain.
"Ih, kenapa sih gue harus satu kelompok sama si induk bebek jelek, itu." Eira menggerutu sambil berjalan menuju mejanya.
"Lo kalo terus-terusan ribut sama, Darel, lama-lama lo bisa suka sama dia." Karin berjalan mendahului Eira.
"Ih, amit-amit, gue suka sama dia." Eira bergidik.
Nayra telah kembali duduk di kursinya yang berada persis di sebelah dinding. Dia menghela napas panjang, dia lelah mendengar perdebatan yang terjadi antara Darel dan Eira sepanjang kerja kelompok berlangsung.
"Kayaknya lo capek banget, Nay." Vanya yang melihat raut wajah lesu Nayra, langsung bertanya.
Nayra kembali menghembuskan napas panjang. "Iya, capek gue dengerin perdebatan antara si Darel sama Eira. Nggak habis-habis mereka berdua, sampe ditegur Bu Dira dua kali."
"Yang sabar ya, gue tau lo kuat menghadapi cobaan itu." Vanya penepuk-nepuk bahu Nayra.
Darel yang mendengar namanya disebut, segera berbalik badan menghadap Nayra dan Vanya. Wajahnya terlihat kesal dan tangannya mengepal di atas meja Vanya.
"Kenapa gue harus sekelompok sama, si pencuri sepatu itu. Padahal aku sudah seneng banget, pas tau aku sekelompok sama Nayra. Sudah tenang hidup gue. Eh, malah di akhir, Bu Dira nyebut nama si pencuri sepatu itu. Hancur ketenangan hidup, gue." Darel menggerutu.
"Lo kalo begitu terus lama-lama bisa suka sama, Eira lho, Rel." Angga, teman sebangku Darel ikut bergabung dalam percakapan.
"Ih, jangan sampe, deh. Bisa-bisa ketenangan bener-bener hangus dari hidup gue."
"Jangan begitu, Rel. Ntar kalo lo suka beneran, baru tau, lo." Angga kemudian berbalik ke mejanya, setelah mengucapkan itu.
Nayra dan Vanya mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan oleh Angga. Merasa tidak mendapat dukungan, Darel berbalik badan kembali ke mejanya sendiri. Dalam hatinya dia masih terus menggerutu tentang kelompok Bahasa Indonesianya. Padahal, dia sudah senang satu kelompok dengan Nayra, yang tidak banyak protes saat bekerja. Tapi, dia justru satu kelompok juga dengan gadis paling menyebalkan baginya di kelas itu, Eira.
Semenjak menyadari keberadaan Eira di kelas ini, Darel merasa kehidupan sekolahnya yang tenang mulai hilang. Berganti dengan kerusuhan dan perseteruannya dengan Eira. Kebiasaannya masih tidak berubah, justru semakin parah. Sepatu Darel bagai hak milik Eira saat ini, dia lebih sering mengenakan sepatu itu, dibanding sepatunya sendiri saat di sekolah.
Darel pernah berniat untuk membalas perbuatan Eira yang selalu memakai sepatunya. Tapi sayang, sepatu Eira terlalu kecil untuk Darel. Bukannya berhasil membuat Eira kesal, dia justru ditertawakan oleh teman kelas yang lain.
*****
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Shoes
Teen FictionCinta bersemi di dalam sepatu. Cinta? Bersemi di dalam sepatu? Ya, jika cinta biasanya turun dari mata ke hati, maka cinta Darel naik dari kaki ke hati. Sepatu sekolah menjadi saksi akan Darel yang jatuh hati. "Ku titipkan cintaku dalam sepatuku...