Epilog

381 38 7
                                    

Hiruk-pikuk jalanan kota pagi itu membuat [Name] teringat akan masa mudanya. Ketika dirinya kelabakan karena harus mengejar waktu yang mepet untuk berangkat bekerja, ditambah dengan beberapa kecerobohan yang ia lakukan membuatnya saat itu sesekali terlambat masuk bekerja dan mendapat teguran.

Lalu keramaian jalanan kota saat musim liburan. [Name] biasanya merencanakan liburan bersama teman-temannya, terkadang memilih pergi berlibur sendiri, seperti saat dirinya memutuskan untuk menghabiskan waktu di Desa Vanniasc. Sekarang, desa itu hanya tersisa nama dan sejarahnya saja.

Tak tahu apa yang terjadi, karena secara tiba-tiba berita besar sampai pada telinganya. Mengatakan bahwa Desa Vanniasc mengalami bencana tsunami hebat yang menelan, menghancurkan, bahkan menghilangkan penghuninya. Menyisakan puing-puing lantai bangunan yang masih bisa ditemukan.

Banyak rumor yang mengatakan bahwa Desa Vanniasc dikutuk oleh sang dewa karena dinyatakan telah mengambil banyak hasil laut dan merusak kehidupan bawah laut. Sebagai balasan, mereka diseret seluruhnya ke arah lautan untuk membayar apa yang sudah mereka lakukan. Sebagian lainnya hanya berpikir bahwa Desa Vanniasc sangat kecil dibandingkan dengan lautan luas yang mereka miliki, membuat desa itu bisa saja lenyap jika diterpa tsunami hebat.

Sekarang, [Name] yang telah tumbuh dewasa kembali tinggal di sebuah kota, menikmati hari libur kali ini dengan menonton sebuah film yang baru saja dikeluarkan dan ditayangkan di beberapa bioskop.

"Mama! Papa membeli banyak popcorn!"

[Name] menolehkan kepalanya, melihat seorang gadis kecil kisaran lima tahun tengah berlari ke arahnya dengan tangan yang memegang es krim. Perhatian wanita itu beralih pada seorang anak laki-laki yang berjalan bergandengan tangan dengan seorang pria paruh baya yang membawa seember besar popcorn.

"Siapa yang mau menghabiskan itu semua?"-[Name]

"E... anak-anak?"

Pria itu tertawa canggung. Saat berhadapan, tangannya terulur untuk menyelipkan anak rambut [Name] yang agak berantakan karena angin.

"Sekali lagi aku ucapkan selamat."

"Ya, terima kasih"-[Name]

"Papa, Mama. Filmnya sudah mau dimulai."

Dua orang dewasa tersebut menoleh ke arah anak lelaki yang baru saja bersuara untuk mengingatkan kedua orangtuanya.

"Ah, kalau begitu ayo kita langsung masuk."

Keluarga kecil itu kemudian berjalan masuk untuk menonton film bersama. Biasanya mereka hanya menghabiskan waktu di taman bermain ataupun melakukan piknik bersama. Tapi kali ini berbeda, film yang ditayangkan sangat berarti bagi [Name], dan sebagai keluarga, mereka ingin mendukung dan membuat ibu rumah tangga itu senang. Sepanjang pemutaran film, semua penonton tampak fokus, beberapa sampai terbawa suasana.

Selesai dengan film tersebut, [Name] beserta keluarga kecilnya melanjutkan pergi ke museum pameran. Di mana mereka melihat sebuah lukisan yang beberapa hari ini sedang dibicarakan.

"Oh. Itu Duyung!"

[Name] menoleh pada anak perempuannya yang berada dalam gendongan sang ayah.

"Itu bukan Duyung, itu Siren."

Mendengar itu, sang gadis kecil sontak berekspresi bingung.

"Siren itu apa?"

"Siren adalah mereka yang tinggal dan hidup di lautan. Mereka tidak bisa ditemui oleh manusia mana pun, tidak seperti Duyung."

The Tale of Siren [Vyn Richter x Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang