2: naruhina #1

903 27 1
                                    

Di balik dinding sebuah bangunan kampus, seorang gadis berambut ungu sedang mengintip dengan hati-hati, memperhatikan seorang pria di kejauhan. Dia tak berani mendekat. Di sampingnya, seorang teman yang menemani sejak tadi mulai merasa kesal.

"Ayolah, Hinata. Kamu sudah berdiri di sini selama tujuh menit, hanya melihat dia dari jauh. Aku capek. Kasih aja surat itu sekarang, selesai urusan!" gerutu Ino, tak lagi sabar.

Ino bosan. Sejak tadi dia menemani sahabatnya yang ingin menyampaikan surat cinta kepada seorang pria berambut kuning yang cukup populer di kampus. Jarak antara fakultas kedokteran, tempat Hinata kuliah, dan fakultas hukum, tempat pria itu berkuliah, hanya dipisahkan oleh kantin yang sering menjadi tempat mahasiswa kedua fakultas bertemu.

Ino tidak habis pikir, kenapa Hinata-dan tentu saja banyak perempuan lain-tertarik pada pria yang menurutnya biasa saja, bahkan terkesan ceroboh, yang mondar-mandir tanpa tujuan jelas, seperti yang sedang mereka lihat saat ini.

Ino, yang sejak tadi sibuk mengeluh dan menyemangati Hinata agar segera bertindak, mendesah panjang ketika menoleh ke belakang. Di sana, Hinata masih berdiri dengan raut wajah yang cemas dan penuh keraguan. Ekspresinya jelas menunjukkan konflik batin yang tengah melanda, seperti ada pertarungan antara keinginan besar untuk memberanikan diri dan ketakutan yang menggerogoti. Wajahnya tampak memelas, seakan memohon pengertian dari Ino, meskipun sahabatnya itu sudah terlihat lelah menemani.

"Sebentar lagi, Ino," Hinata berbisik nyaris tak terdengar, matanya masih terpaku pada sosok Naruto di kejauhan. "Dia masih ngobrol sama temannya. Aku... aku takut kalau kasih surat ini sekarang, dia malah buang muka. Gimana kalau dia nggak suka? Gimana kalau dia menolak bahkan sebelum sempat membaca suratnya?"

Nada suaranya terdengar getir, dipenuhi oleh berbagai kekhawatiran yang terus menghantuinya. Dalam pikirannya, Naruto adalah seseorang yang sempurna-terlalu sempurna untuknya. Dia takut bahwa dengan satu gerakan yang salah, semua impian yang ia simpan dalam diam selama bertahun-tahun akan hancur berkeping-keping. Bahkan hanya membayangkan Naruto menatap suratnya dengan pandangan acuh atau menolaknya secara halus sudah cukup untuk membuat Hinata gemetar.

Ino menghela napas lagi. Dia sangat memahami perasaan Hinata. Hinata tidak pernah menjadi orang yang mudah mengungkapkan perasaannya, terutama jika itu terkait dengan Naruto. Setiap kali ada kesempatan untuk mendekat, Hinata selalu diselimuti keraguan dan rasa takut yang tak kunjung hilang. Ketakutannya pada penolakan begitu besar hingga lebih sering membuatnya diam dan mengalah, meskipun hati kecilnya ingin terus mencoba.

Hinata jelas menyayangi Uzumaki Naruto dengan sangat tulus. Perasaannya pada pria itu sudah bertahan lama, jauh sebelum mereka masuk ke universitas. Ia bukan hanya sekadar menyukai Naruto karena penampilannya atau popularitasnya. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan mudah-rasa kagum pada keteguhan hati Naruto, keberaniannya, dan kebaikannya. Namun, justru karena Hinata terlalu menyayangi Naruto, ia merasa semakin sulit untuk mendekatinya. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah-olah dia tidak pantas untuk bersama Naruto, meskipun teman-temannya selalu meyakinkannya bahwa dia sama berharganya.

Tiba-tiba, lamunan mereka terpecah oleh suara yang tak terduga. Dari arah loker Naruto, terdengar suara keras yang mengejutkan mereka. "Krekk... Srekk srekk srekk." Suara kertas-kertas berjatuhan ke lantai memecah keheningan di sekitar mereka. Hinata dan Ino terlonjak kaget, spontan menoleh ke arah loker Naruto yang sekarang setengah terbuka.

Mata Hinata melebar, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dengan cepat, ia mengintip lebih dekat, dan semakin mendekat, matanya hampir melompat keluar dari tempatnya. Di hadapannya, loker Naruto kini terbuka lebar, mengungkapkan tumpukan surat-surat yang terjatuh dan berserakan di lantai. Mata Hinata terpaku pada surat-surat itu-semuanya berwarna pink, dengan berbagai ukuran dan dekorasi yang mencolok. Surat-surat cinta yang tertumpuk di loker Naruto seperti gunung kecil, menandakan betapa banyaknya perhatian yang diterima oleh pria itu dari para pengagum rahasia.

Naruto Hinata: A Part Of Konoha GirlxBoy lifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang