Menjadi anak pertama sekaligus harapan keluarga besar sedikit mengganggu aktivitas. Itu menurutku. Dipaksa untuk melakukan sesuatu yang memang bukan bidangku. Namun, ingin menentangpun tak ada gunanya. Papi, laki-laki yang sempat ku juluki superhero itu, kini berubah menjadi monster. Bagaimana tidak? Dia mengendalikan ku, aku robot dimatanya. Tak hanya itu, dia selalu menyakiti mami dengan kata-kata yang tak pantas keluar dari mulut kepala keluarga.
Aku, Jeno Akrian. Pemuda yang bersumpah akan membawa mami dan adikku pergi dari lelaki itu. Tidak, aku tidak membenci papi, hanya saja aku membenci sikapnya yang terkandang semaunya.
Tak ada tempat pulang untukku, sampai akhirnya aku menemukan rumah yang ku sebut rumah kedua. Apalagi kalau bukan markas, aku dijuluki penghuni markas, karena lebih sering datang bahkan menginap. Lebih baik disini, daripada pulang dan mendengar radio rusak atau sering disebut pertengkaran suami-istri.
*:..。o○ ○o。..:*
Pagi yang cerah mengawali kisah ini. Seorang pemuda baru saja selesai membersihkan diri. Ia menghela napas saat mendengar orang tuanya kembali ribut. Ingin rasanya pergi dan tak kembali, namun ada Agam yang harus ia jaga. Agam Anderson, adik satu-satunya. Usianya dibilang masih sangat muda, yaitu 9 tahun. Terpaut sangat jauh bukan?
"Bang," anak laki-laki dengan air mata memasuki kamar yang identik dengan warna abu-abu.
"Kenapa?"
"Pa-papi pukul Agam," adunya.
"Ya Tuhan, mana yang dipukul?" Agam menunjuk pipinya yang legam.
"Agam salah apa sih, bang, sampai papi kayak gini?"
"Sstt, papi lagi cape aja, sini abang obatin," dengan telaten ia mengobati lebam pada pipi adik kesayangan nya itu. Desas-desus yang membuat papinya berlaku kasar kepada Agam adalah papinya menuduh Agam hasil perselingkuhan maminya. Sejak saat ini keluarganya tak harmonis.
"Sekarang, Agam siap-siap, mau kesekolah atau ikut abang?"
"Ikut abang aja, malu sana pipi," ia mengangguk paham.
Setelah selesai dengan semuanya. Jeno membawa Agam untuk pergi ke markas. Tak sesering itu Jeno membawa Agam, baru 4 kali ini. Demi menyelamatkan adiknya. Dilantai bawah, sudah berserakan pecahan barang, ntah itu vas maupun barang lainnya. Para pembantu juga sibuk membersihkannya.
"Mau kemana kamu?!"
"Bukan urusan anda,"
"Sudah berani kamu?!"
"Buat apa takut dengan laki-laki seperti anda? Ga berguna," genggaman tangan kiri nya semakin erat. Agam bersembunyi dibalik badannya.
"Jangan kurang ajar kamu,"
"Saya? Kurang ajar? Saya atau anda? Anda kepala keluarga, tak sepatutnya anda memperlakukan anak anda seperti ini,"
"Sudah berani kamu menasehati papimu ini? Kamu anak baru kemarin, ga usah sok,"
Jeno tak menanggapi ucapan lelaki paru baya itu. Malas jika setiap hari harus adu mulut dengan papinya.
"Selangkah kamu meninggalkan rumah, papi habisin anak sialan itu," Jeno menghentikan langkahnya dan segera membalikkan badan. Seringai diperlihatkan nya.
"Anda pikir, saya takut? Kalau saya mau, saya bisa menghabisi anda detik ini juga. Satu hal yang belum anda tau dari saya, saya wakil ketua Rexsan generasi 9, mengenal mereka bukan?"
"Kenapa diam? Saya tidak segan-segan menghancurkan hidup anda Tuan Adiputra. Anda bukan siapa-siapa tanpa mami saya dan cepat atau lambat akan saya rebut semua yang menjadi hak saya, tunggu saja waktunya," Jeno kembali melangkahkan kakinya membawa adik kesayangannya untuk pergi jauh dari kediaman yang keduanya sebut neraka.
Motor hitam miliknya sudah terparkir di sebuah rumah sederhana yang ia sebut markas. Masih sepi, tentu saja, anggota inti kemungkinan masih bergelut dikamar, atau mungkin kekampus.
"Ar?" pemuda yang tengah merenung itu menoleh.
"Tumben lo kesini pagi-pagi,"
"Pengen aja, tumben bawa Agam,"
"Pengen ikut katanya," Arkan mengangguk.
"Sebenarnya ada yang mau gue omongin, tapi ada tuh bocil,"
"Masalah apa?"
"Btiger dan Ganapati," Jeno menghela napas. Sudah 2 bulan lamanya setelah penyerangan dirumah Ainsley yang dilakukan oleh Raja, pemuda itu belum juga menyerah.
"Agam, kamu dikamar dulu ga papa? Abang mau bicara serius sama Bang Arkan," Agam menurut. Ia melangkahkan kakinya meninggalkan kedua pemuda itu.
"Gimana rencana selanjutnya? Anis udah berhasil jebak Raja belum?"
"Belum, malah rencana kita hancur berantakan gara-gara Anis ga bisa kendaliin emosinya,"
"Dan bisa-bisanya lo jatuh cinta sama tuh bocah," lanjut Arkan dengan nada sedikit kesal.
"Mana beda agama lagi, paket lengkap deh," Jeno tak menanggapi ocehan ketuanya itu. Menurutnya selama tak menghalalkan segala cara, fine fine aja suka sama orang.
"Kandungan bini lo gimana?"
"Alhamdulillah, aman, gue balik deh, semalam ga pulang," Jeno hanya mengangguk.
Terkadang, rasa iri singgah dihatinya. Ia iri dengan keharmonisan keluarga Arkan. Arkan dibebaskan untuk melakukan apapun dan memilih jalannya sendiri. Tak ada kekerasan fisik dan mental yang diterima Arkan. Hidup Arkan adalah definisi sempurna menurutnya.
"Bang,"
"Hmm,"
"Laper," Jeno melangkahkan kakinya menuju dapur. Ia mulai memasak mie untuk Agam.
"Bang, kapan papi sayang sama Agam?" Jeno menghentikan aktivitas nya sejenak. Ia tersenyum simpul dan meletakkan mangkuk didepan Agam.
"Sabar ya, kamu masih punya abang yang bakal jaga Agam, rawat Agam sampai sukses,"
"Makasih ya bang, abang selalu ada disamping Agam, padahal Agam selalu nyusahin,"
"Ga usah bilang makasih, kewajiban abang jagain kamu, udah gih dimakan katanya laper," Jeno tersenyum saat memperhatikan Agam. Ia akui kalau masa kecilnya lebih beruntung dari Agam. Sedari kecil Agam selalu saja disalahkan atas perubahan papinya.
Adik atau bukan, Jeno akan menjaganya. Menurutnya semua anak berhak dilindungi dan diberi kasih sayang. Ntah itu hasil pernikahan yang sah maupun tidak. Bukankah semua manusia berhak bahagia?
Akhirnya launching juga Rexsan Series 'It's Me Jeno', Madil udah nyiapin Rexsan series yang lainnya.
Di 'It's Me Jeno' akan banyak kejutan yang tak terduga nih. Jadi stay tune ya, see you
Nb : Jangan jadi silent readers ya. Hargai penulis/author dengan memberi votmen dan jika tidak suka dengan alurnya bisa pergi, boleh memberi masukan asal tidak menghina, paham?
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Me Jeno
Teen FictionRexsan Series 2 Rumah tempat pulang, tapi kalau rumah menjadi sumber air mata, apakah masih pantas disebut tempat pulang? Terkadang, hidup dalam kemewahan tak bisa kita nikmati, dikarenakan tak adanya kasih sayang orang tua. Brokenhome, mungkin co...