31

2 1 0
                                    

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

Siang itu adalah siang yang biasa-biasa saja bagi Jentał.

Wanita itu sedang duduk di depan salah satu monitor yang berada pada ruangan luas berlantai ubin putih yang adalah ruang penerjemahan. Mengisi ⅓ luas layar monitor tersebut adalah beberapa paragraf teks yang tersusun atas karakter-karakter yang nampak seakan dipilih dengan acak, serta latar belakangnya yang putih. Sebagian teks acak itu di-hightlight kuning.

Di sebelah kanan latar belakang putih itu terdapat ruang dengan latar belakang berwarna biru tua. Di sana terdapat teks berwarna putih yang tersusun sedikit berantakan. Tidak seperti teks di sisi yang lain, yang ini terlihat benar-benar memiliki kata dan bahkan membentuk kalimat, meskipun putus-putus.

"Hmm..." gumam Jentał.

"Ada bagian yang susah?" Līlīþ datang dari belakang, melayang seperti biasa.

"Iya," jawab Jentał. "Coba kamu lihat ini."

"Yang sebelah mana Jentał?" Pot bunga itu diletakkan di atas meja — di depan monitor itu — tanpa menghalangi pandangan Jentał. Mereka berdua mengamati satu rangkaian karakter itu selama hampir setengah menit.

"Mungkin yang ini nilainya 184, Jentał?" Līlīþ mensugestikan.

"184?" seru Jentał heran. "Tapi buat apa mereka pakai yang 184? Bukannya itu jarang banget ya?"

"Soalnya itu yang paling masuk akal menurutku," perjelas Līlīþ. "Mungkin penggunaannya semacam kesalahan penulisan gitu, keliru sama yang nilainya 44."

"Hmm gitu ya..." Jawaban itu nampaknya kurang memuaskan bagi Jentał. "Tapi aneh sih kalau tiba-tiba yang nulis ini pakai 184. Masalahnya dukungan buat karakter ini jarang."

"Bisa juga dia sengaja pakai itu," tambah Līlīþ. "Barangkali iseng atau sebagainya... jangan abaikan kemampuan orang buat iseng."

"Benar juga ya..."

"Oke kalau gitu." Pot bunga itu terangkat dari atas meja. "Aku ke ruang penyimpanan dulu ya."

"Iya," jawab Jentał. "Makasih."

Līlīþ sudah meninggalkan si rambut merah itu. Sekarang dia hanya seorang diri di ruangan itu.

Kesibukannya saat ini hanyalah memandangi rangkaian angka dan huruf dan tanda baca yang acak dan dan sekilas terlihat tak berarti itu. Tidak ada pekerjaan yang berat hari ini, dan tidak ada tenggat waktu yang mendesak. Suasana ini cukup tenang bagi dirinya sehingga pikirannya pergi ke mana-mana selagi bekerja.

Di antara hal-hal yang mengisi pikirannya, terdapat satu pertanyaan.

"Roko gimana ya sekarang?"

Setidaknya dia sudah memberitahu teman serumahnya itu bahwa dia akan menginap di rumah teman, jadi si kacamata itu tidak khawatir. Namun selama ini dia sudah menjauhi Roko, bahkan sampai berbohong padanya, hanya karena wanita itu ingin dia baik-baik saja. Untuk sesaat Jentał merasakan beban batin.

Namun tingkah aneh Roko itu benar-benar menyebalkan, terutama dengan bagaimana rajin dan alarmisnya dia. Tentu saja dirinya jadi muak dengan Roko.

Meskipun demikian, wanita itu berbuat demikian dengan maksud baik. Rasanya sayang jika mereka berdua jadi musuh. "Mungkin aku harus ngomongin ini baik-baik sama dia," pikir Jentał.

"Sialan!" Dia teringat akan tugasnya. Pandangannya kembali berfokus pada layar putih dan biru itu. "Ini bukan waktunya melamun Jentał!"

Tepat saat Jentał mendapat konsentrasinya kembali, sesuatu terdengar dari lorong yang bersebelahan dengan ruangan ini. Bunyinya seperti puluhan derap kaki yang datang dari sisi barat dan timur, semakin lama semakin terdengar jelas seakan-akan tengah mendekat.

Maka pecahlah konsentrasi Jentał. Bukan hanya berisiknya yang mengganggu, namun juga sifatnya yang tidak biasa. Kenapa ada banyak orang di lorong itu.

"Ini ada apa sih?" Jentał segera beranjak dari bangkunya untuk pergi ke pintu yang menuju lorong. "Kok orang pada ngumpul gini, kayak ada arak-arakan saja."

Wanita itu mengeluarkan kepalanya dari bukaan pintu, hanya untuk mendapati bahwa dirinya dalam bahaya.

Di sisi kiri dan kanan Jentał, lorong itu penuh akan makhluk dengan beragam bentuk — manusia dan hewan dan mesin dan barang. Mereka adalah rekan kerjanya di kantor ini, namun sesuatu nampak berbeda — proporsi badan mereka berubah-ubah dan tubuh mereka pecah terus-menerus menjadi warna-warna terang.

Sekarang wanita itu berdiri kaku dan pucat di pintu. Badannya terasa seperti disetrum. "Apa apaan..."

Lebih parah lagi, orang-orang itu nampaknya teralihkan perhatiannya oleh Jentał, karena setelah si rambut merah itu menampakkan diri, mereka berjalan semakin cepat dengan pandangan tertuju pada dirinya tanpa sepatah kata apapun.

"Sialan!" Seketika itu juga, Jentał membanting pintu masuk itu dan menguncinya cepat-cepat sambil menahan gagangnya dengan kemampuannya dan kedua tangannya dan. Di saat yang sama, bunyi gebrakan yang keras terdengar dari sisi lain pintu tersebut. Mereka benar-benar ingin masuk, atau lebih tepatnya meraih dirinya.

"Sebenarnya ada apa sih ini!?" Jentał bertanya dalam hati, tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kok bisa sih ada beginian!?"

Pintu itu semakin terasa akan terbuka kapan saja, tak peduli seberapa besar tenaga yang dia berikan untuk menutupnya. "Aku gak bisa begini terus."

Maka dengan telekinesisnya dia menarik salah satu meja di ruang penerjemahan ke pintu itu. Perabotan tersebut terasa begitu berat, dan mengangkatnya membuat badannya gemetaran. Namun dia tidak punya pilihan lain.

Akhirnya salah satu sisi meja tersebut merapat pada pintu. Tanpa banyak berpikir, Jentał berlari menuju jendela terdekat.

Namun tepat sebelum sampai ke jendela, dia teringat akan seseorang.

"Līlīþ! Di mana dia?" serunya dalam hati.

"LĪLĪÞ! KABUR DARI SINI!" Jentał berseru keras, namun tidak ada tanggapan dari ruang lain.

"Apa jangan-ja—"

Pintu menuju ruang penyimpanan didobrak keras. Dari dalam sana muncul orang yang Jentał cari. Namun sama seperti rekan-rekannya yang menjadi 'gila' itu, pot bunga tersebut nampak kacaul dalam proporsi dan pecah-pecah.

"Astaga!"

Tepat di saat itu, kaca-kaca luar dipecahkan dari luar, dan orang-orang 'rusak' itu masuk bergerombol ke dalam ruangan Jentał. Wanita itu menanggapi kedatangan mereka dengan mendorong meja-meja di sana ke arah jendela, berusaha menghalangi 'zombi-zombi' itu dengan sekat-sekat pada meja tersebut. Sayangnya tindakan itu sia-sia — orang-orang itu menggulingkan meja-meja itu lalu masuk dengan lancar.

"Gimana ini!?" serunya putus asa. Kini dia dikepung oleh mereka. Dia hanya terdiam di tengah ruangan itu. Air mulai membasahi matanya.

"Aku gak mau mati atau kenapa-napa! Gak sebelum aku baikan sama Roko! Roko, di mana kamu!?"

Tiba-tiba, terdengar bunyi dari langit-langit. Bunyinya seperti dua papan datar yang bergesekan dengan satu sama lain. Dengan refleks, Jentał memalingkan pandangannya pada sumber bunyi itu.

Dari suatu bukaan berbentuk persegi di langit-langit menongol seorang wanita yang akrab. Rambut bitamnya disanggul, dan dia mengenakan kemeja hitam serta kacamata.

"Roko!?" Jentał berseru kaget.

"Ayo naik!" ajak Roko.

Kemudian, dengan seluruh kekuatan telekinesis yang tersisa pada dirinya, serta dengan bantuan Roko, Jentał melempar dirinya ke dalam lubang itu. Roko mendekap wanita itu di dalam tangannya, dan mereka terpental menjauh dari bukaan langit-langit tersebut.

Jentał mendapati dirinya menindih si kacamata, dengan muka saling berhadapat. Suasana itu berubah dari menakutkan menjadi canggung.

"Maaf!" Jentał mengangkat badannya dari Roko, namun dia tidak dapat berdiri karena sempitnya ruang itu atas bawah. Kemudian, mereka berdua merangkak ke bukaan langit-langit tersebut. Dari sana, mereka melihat bahwa tempat di mana Jentał berdiri tadi kini sudah dikerumuni oleh zombi. Untungnya makhluk-makhluk itu sepertinya lupa akan mereka berdua — zombi-zombi itu masing-masing hanya memandang ke sembarang arah.

Menuju Bintang TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang