dilema

34 1 3
                                    

Enhypen Jay, Sunghoon Local Fiction

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enhypen Jay, Sunghoon Local Fiction

D I L E M A

(n) situasi sulit yang membingungkan

[]

Dalam hidup, nggak pernah sekalipun dalam tiga tahun terakhir Adine membatin, 'Ah, ini nggak mungkin bisa dilanjut,' untuk hubungan mesranya. Lebih-lebih lagi, Aji -si mas pacar, termasuk kriteria pemuda nyaris sempurna dan rasanya sia-sia kalau Adine menyerah begitu aja dengan hubungannya.

Tapi, well, kembali lagi ke aturan dunia magis percintaan ini, yang namanya hubungan pasti mengikutsertakan hati dan perasaan. Dan entah gimana, hati sekaligus perasaannya Adine udah cukup lelah dengan segala percekcokan yang dilalui dirinya dengan Aji. Semua yang terasa menyenangkan, nggak lagi dirasa begitu. Semua yang dirasa akan baik-baik aja, malah semrawutan dan kelihatan salah gimanapun caranya.

Adine lelah. Menjalin hubungan dengan Aji adalah kemauannya, tapi melewati lika-liku yang luar biasa banyaknya kayak gini nggak pernah jadi satu dari sekian kemauannya. 

Saking lelahnya, di tengah ribut -yang Adine juga lupa-lupa ingat  udah ke berapa kalinya dalam seminggu ini, kalimat nggak menyenangkan itu akhirnya keluar juga dari belah bibir Adine,

"Ji, aku capek. Kita sampai di sini aja, ya?"

Masih membekas jelas di memori Adine wajah kaget bukan mainnya Aji tepat sepersekon setelah kalimat itu terbilang.

Baiknya, pemuda itu nggak serta-merta merutuki Adine yang dengan gamblangnya ngomong begitu, alih-alih dia menarik napas, menatap lembut tepat ke netra Adine sebelum akhirnya berkata, "Din, yakin? Pikirin baik-baik dulu mau nggak? Nanti setelah kamu pikirin baik-baik, apapun keputusan kamu bakal aku terima."

Jadi, berakhirlah perempuan itu di sini, di atas genting yang sebagiannya ditutupi lebatnya pokok mangga, menyanggupi apa yang diminta Aji. Isi kepala perempuan itu nggak dikasih waktu jeda untuk istirahat, alih-alih dipaksa terus berpikir apa keputusannya benar atau malah emosi belaka? Apa setelah meyakini kalau ini pasti, Adine jadi menyesal atau bahagia sentosa?

Tangan perempuan itu terulur untuk memetik mangga yang menguning, lantas menggigit kulitnya, menelanjangi mangga.

Otak Adine masih amburadul kondisinya sampai nggak sadar dengan Kama -kawan sepergaulannya sejak umur enam, yang ujug-ujug menampakkan eksistensinya di sebelah perempuan itu.

Mangga di tangan diambil alih Kama, membuat si perempuan langsung menoleh dengan mimik yang kelihatan betul kagetnya.

"Galau lo?" tanya si pemuda, mengambil posisi duduk di sebelah kirinya.

Adine menghela napas. "Begitulah."

"Nugas sana. Alihin pikiran."

"Kama." Adine terkekeh kemudian, "Kayaknya kita udah kenal cukup lama sampai lo tau kalo gue nggak bisa fokus pas lagi galau gini."

Kama menghela napas, menggigit mangganya, lantas menghela napas lagi. Padahal yang lagi gegana itu Adine, tapi entah gimana pemuda itu jadi merasa sama gegananya.

Biasalah. Namanya juga sayang-- Eh, bukan. Namanya juga cinta.

"Lo galau mulu, Din, akhir-akhir ini. Serius, deh. Nggak capek apa?"

"Capek, lah," kata si perempuan. "Makanya gue minta putus."

"Eh, serius?"

Adine mengangguk. "Tapi, Aji minta gue mikir-mikir dulu. Takutnya gue kebawa emosi atau gimana. Makanya ini gue lagi galau sambil mikir."

"Ka, kalo gue putus sama Aji, gue nggak merasa bisa dapat yang kayak dia lagi. Gue..." Hela napas Adine terdengar di rungu Kama sebelum akhirnya perempuan itu bilang, "Gue udah sayang berat sama Aji."

"Din?" Adine berdehem, menatap netra Kama, mempersilahkan si pemuda untuk melanjutkan. "Lo tau nggak kalo misalnya dalam suatu hubungan, cinta itu bukan yang utama. Bahkan, di hubungan nggak sehat sekalipun lo bisa merasa yang namanya cinta. Tapi, apakah orang yang lo cinta itu udah cocok sama lo? Belum tentu."

"Terus?"

"Terus, artinya lo nggak cuma harus nyari yang lo cinta buat sebuah hubungan, tapi juga yang buat lo nyaman, yang bisa ngerti tiap keadaan lo, yang nggak memaksakan kemauannya sendiri, yang menerima lo dengan baik-buruk yang melekat di diri lo, nggak buat lo nangis-nangis tiga kali seminggu, yang bisa lo percaya buat cerita soal apapun itu, dan yang siap memperlakukan lo segimana lo mau diperlakukan."

Adine senyum kemudian. Manis sekali. Perempuan itu nyaris berterima kasih dengan wejangan dari Tuan Kama di sampingnya ini, sebelum kemudian pemuda itu berkata,

"...Dan gue bisa jadi orang itu, Din."

"Eh?" Adine melongo.

"Gue bukan Aji dan mungkin akan susah untuk bikin lo cinta, secintanya lo sama Aji. Tapi gue bisa dan siap buat jadi orang yang melepas semua hal yang disebut galau itu dari hidup lo."

Adine diam. Di detik ini, detik dimana dia menatap wajah Kama dengan raut luar biasa seriusnya, Adine bingung harus merespon bagaimana.

"Lo kalo gue ajak bangun hubungan yang baru, mau nggak?"

"Ka--"

Belum sempat Adine membalas, suara bising dari ponselnya mengganggu. Perempuan itu lekas-lekas mengeluarkan ponsel, memastikan siapa yang mengirim pesan di tengah-tengah kejadian nggak mengenakkan perasaan begini supaya bisa melanjutkan konversasinya dengan Kama.

Tapi, begitu melihat nama si pengirim, Adine langsung dilema sendiri.

Itu Aji. Dengan pesan yang sepersekon kemudian langsung Adine baca, 'Din, aku nggak tau kamu udah  nimbang-nimbang keputusanmu yang kemarin atau belum. Tapi, aku pingin bilang ini sama kamu. Boleh nggak kalau aku maksa kita supaya baikan lagi? Maaf kalau aku buat kamu merasa terganggu akhir-akhir ini. Aku mau memperbaiki diri, Din. Aku sayang kamu. Aku nggak mau mengandaikan kalo misalnya aku bukan lagi pacarnya Adine setelah ini. Mau, ya, Din?'

Adine menghela napas, melihat isi pesan Aji, lantas melirik Kama.

Perempuan itu bimbang.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
fafifu wasweswosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang