feelings that will not be easily understood

95 16 6
                                    

Hael sempat mengira Aksel berbeda selama beberapa saat. Gadis itu terlihat sedikit murung entah karena apa. Namun tidak butuh waktu lama Aksel bisa kembali seperti sedia kala, menjadi gadis nyentrik dengan selera unik dan selalu ceria.

Rasanya tidak akan ada habisnya kalau Hael harus menjelaskan seperti apa penampilan Aksel hari ini. Sebenarnya selera fashion Aksel tidak bisa ditebak. Kemarin Hael kira Aksel adalah gadis feminim dengan blouse putih dan mini skirt yang lucu, belum lagi sepasang kaos kaki yang beda di kanan dan kirinya. Namun hari ini Hael justru menemui penampilan Aksel yang tidak jauh berbeda dari gangster jalanan dengan pakaian full hitam dari atas sampai bawah.

Kaos oversize berwarna hitam yang Aksel gunakan bergambar abstrak pada bagian depannya, terlihat tidak cukup sopan untuk dipakai kuliah. Kaki jenjangnya dibalut baggy jeans dengan warna senada, dan jangan lupakan scarf merah yang menggantung di sisi kanan celananya. Rambut Aksel yang tidak hitam pekat digelung asal dan sedikit acak-acakan, benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dari tampilan yang kemarin Hael lihat.

Sadar karena ditatap cukup lama, Aksel yang tengah asyik menggigit es krim menoleh. Melempar tatapan sedikit risih pada Hael yang cengengesan.

"Apa? Aneh lagi ya baju gue di mata lo?"

Tawa renyah Hael terdengar, dan Aksel tidak bisa untuk tidak jatuh lagi mendengarnya.

Hael ikut mengigit es krim miliknya sebelum menyesal di detik berikutnya. Serius deh, gimana bisa Aksel santai saja menggigiti batang es miliknya tanpa meringis karena gigi ngilu.

"Lo itu bukan aneh di mata gue."

Aksel mulai tertarik. "Terus apa? Kenapa lo gak bisa biasa aja pas ngeliat gue?"

"Emm.." Hael pura-pura berpikir. "Karena lo unik?"

"Cih!" Aksel merespon geli. Sedikit salah tingkah.

Kenapa kalimat sederhana itu terdengar seperti pujian di telinga Aksel, ya? Sepertinya dia sedikit tidak waras setelah naksir cowok yang baru dia kenal sehari saja.

"Unik dari mananya?"

"Banyak."

Hael mengambil jeda untuk menggigit es krim dan meringis ngilu karenanya.

"Style lo, selera humor lo, dan cara lo makan es krim contohnya."

"Gue makan es krim juga unik di mata lo?"

"Iya lah! Mana ada sih yang makan es krim di gigit? Orang normal mah di jilat."

Keduanya tertawa. Padahal banyak kok yang makan es krimnya di gigit, tapi Aksel senang saja di anggap istimewa hanya karena itu.

"Terus style lo nih yang paling unik sejauh ini."

Hael berhasil menghabiskan es krim semangka miliknya dan beralih membagi dua es Kiko rasa melon pada Aksel.

"Kemarin gue sedikit shock lihat lo pede banget pake kaos kaki beda sisi. But yeah, it's cute tho, kinda. Jadi gue kira lo tipe cewek feminim yang suka outfit lucu-lucu."

Kini giliran Aksel yang tertawa renyah. Gadis itu mulai paham kenapa Hael sampai menatapnya tidak santai begitu beberapa saat lalu.

"Eh hari ini gue shock lagi liat lo tiba-tiba menjelma macam anak punk jalanan begini."

Aksel masih asyik tertawa, dan Hael menikmati tawa gadis itu. Jujur saja, Aksel sangat cantik saat tertawa.

"Lo emang serandom itu ya, Sel?"

Aksel mengangguk, masih dengan sisa tawa.

"Tergantung mood sih kak. Kemarin kan rencananya mau ngopi cantik sambil cari inspirasi, makanya pake baju lucu-lucu gitu."

Hael mengernyit bingung, "Inspirasi?"

"Iyaa. Gue ada tugas ilustrasi desain cover."

Hah? Otak Hael kembali tidak berfungsi untuk beberapa detik. Desain cover?

"Lah, bukannya lo anak FISIP? Jurusan apaan yang ada tugas desain?"

Aksel tertawa lagi. "Gue jurusan Seni Rupa Murni tahu Kak."

"Kok..."

Aksel masih asyik tertawa. Gadis itu memang lebih sering nongkrong di FISIP sampai dikira mahasiswa sana alih-alih di fakultasnya sendiri. Kebanyakan teman Aksel memang anak FISIP, dan sejujurnya, Aksel lebih suka makan di kantin FISIP daripada di kantin FIB yang sempit. Pilihan menunya juga enak-enak. Sebenarnya Aksel bisa sih makan di kantin perpus karena lokasinya paling dekat dari fakultasnya, tapi lagi-lagi Aksel lebih suka di FISIP. Kalau ada mahasiswa fakultas lain yang mampir ke kantin FISIP, ya itu Aksel doang.

Hael masih berusaha mencerna. Dia memang hanya bertanya 'kenal Aksel, gak?' pada dua Mahasiswi barusan, tapi karena gadis-gadis itu langsung tahu Aksel ada di kantin FISIP wajar saja kalau Hael mengira Aksel anak FISIP.

Hael terkekeh lagi. "Tuh kan unik."

Aksel menyesap es kikonya. Semilir angin membuatnya sedikit mengantuk. Beberapa anak rambutnya yang lolos dari kuncir rambut menempel ke wajah, menghalangi pandangan. Hael dengan senang hati membantu menyingkirkan anak-anak rambut itu dari wajah manis Aksel. Jelas saja Aksel diam-diam misuh dalam hati.

'Dasar cowok sialan. Kalo gak ada niat suka sama gue minimal jangan bikin baper.'

Kurang lebih seperti itulah umpatan Aksel.

Hael masih asyik saja menyesap es kikonya sementara Aksel sibuk mengurai kabel earphone yang kisut, berusaha memasangkan sebelah earphonenya pada telinga Hael, mulai memilih musik.

Saat musik mulai mengalun, dan Aksel sibuk berceloteh tentang lagu yang konon adalah kesukaannya itu, Hael menangkap sosok yang paling tidak mungkin ia temui sampai jauh-jauh di Malang. Hael tertegun sebentar, berusaha mencerna baik-baik objek yang tertangkap kedua matanya.

Dan jelas Hael tidak mungkin salah, sosok itu adalah Ghina.

***
May 11, 2023
© Greenishwhite

Find Me when I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang