LAP 5 : Tolong, Rekam Suaraku

597 120 5
                                    

Capek! Dia berteriak karena capek harus bertemu banyak kejadian yang tak menyenangkan, mendengarkan kata orang dan isi kepala sendiri.

Manusia kalau bukan capek ya bingung. Bingung mengerjakan sesuatu karena keharusan atau keinginan.

—————








































"Kamu yang salah Richard!"

Matanya memejamkan matanya dengan erat. Nafasnya terdengar berat sangat terlihat jelas bahwa ia menahan rasa emosinya saat ini.

Beberapa menit yang lalu, ia merasa senang menduga kedatangannya kemari dibutuhkan. Tapi buktinya apa?

"Kamu bisa nggak sih gak usah ngatur kesenangan aku? Aku bahkan gak pernah melarang kamu mau belanja sebanyak apapun pakai uangku, mau main sama temen atau apapun itu."

Famela berdecih miring mendengar ucapannya, "Kamu berubah, Richard. Temen kamu−

"Gak usah bawa temen-temen aku!"

Langkah kakinya berjalan mundur dengan matanya yang berkaca-kaca menatap tak percaya pada Richard yang baru saja membentaknya.

Untuk pertama kalinya, ketika mereka bertengkar baru kali ini Richard meninggikan suaranya.

"Aku menghargai kebahagiaan kamu tapi kamu yang gak pernah menghargai aku," ucap Richard dengan nafasnya yang tersengal-sengal.

"Aku ditinggal papa mama. Apa kamu gak mikir sepahit apa kehidupan aku tanpa orang tua?"

Tenggorokannya merasa sakit menahan rasa pedih didadanya. Dunia sirkuit apalagi berstatus ilegal memang tak bisa dibenarkan, namun ditempat itulah

Richard bisa melupakan rasa sakitnya sejenak. Semesta mempertemukan Vince dan Joe dengannya meskipun Richard tak bisa bersikap konyol seperti mereka.

"Makanya itu, karena orang tua kamu gak ada harusnya kamu jadi anak yang baik. Papa mamaku bahkan malu buat menerima kamu disana. Kamu gak pernah mau− Richard!"

Cukup sudah. Daripada mendengar kata-kata yang membuatnya muak lebih baik Richard pergi dari situ.

Mengabaikan teriakan Famela dibelakangnya, persetan hatinya merasa sakit jika ia disinggung bukanlah anak yang baik.

Tahu apa orang-orang tentangnya?

"Bangsat!" umpat Richard memukul stir mobilnya dengan kuat.

Kotak berukuran cukup besar berisikan coklat kesukaan kekasihnya yang ada disamping kursi mobil membuat Richard meremat rambutnya kasar.

Mengingat pertengkaran mereka selama ini, hanya dirinya lah yang disalahkan disini. Tak pernah diberikan waktu untuk memberi penjelasan dan Richard dimata kekasihnya seakan-akan ia adalah tersangka.

Mobil itu akhirnya berhenti didepan pekarangan rumah yang cukup luas. Begitu melangkahkan kakinya kedalam rumah, seperti ditarik ulur dalam benang film yang sudah usang− Richard kecil berlarian sembari memegang replica mainan pesawat.

Dibelakangnya terlihat ayahnya yang sibuk mengejar dengan sang ibu yang hanya tertawa melihat mereka.

"Haha brengsek. Lo cowok gak boleh nangis bego," air mata diusapnya dengan kasar.

Meskipun rumahnya luas, hanya diisi para maid dan dirinya sendiri disini. Hampa itulah ungkapan Richard begitu memasuki rumah yang kata orang-orang adalah tempatnya mengistirahatkan dari beban hidup. Bullshit.

Three Act Paradigm [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang