Chapter 00 - Amethyst

116 17 15
                                    

💞_________________💞

𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠💕

Manchester, Inggris, 29 Desember 2022

      Hari Natal telah kulalui bersama Papa sebelum dia kembali bertugas ke Kota Nottingham beberapa hari setelahnya. Aku masih ingat rasanya meneguk cokelat panas yang ditaburi marsmellow seputih kapas dan cokelat chip. Hingga film-film lama yang sering kali kami tonton dari pada film keluaran tahun ini. Rasanya mendebarkan, tetapi aku terbiasa. Lebih tepatnya, harus terbiasa—dengan kehidupanku.

      Lagu di ponselku berganti dengan irama dari The Weekend - Out Of Time sekaligus notifikasi lain muncul. Pesan dari Papa: seperti biasa mengingatkanku untuk tidak membolos kuliah dan harus menjalani kelas-kelas yang membuat kantukku merajalela meskipun aku sudah meminum kopi. Tapi tidak apa-apa. Papa bermaksud baik padaku, dan bagaimanapun juga aku harus menghargai perhatiannya itu.

      Tanpanya aku hanyalah kotoran.

      Kalau saja aku menolak tawarannya, mungkin aku akan tetap menjadi anak jalanan. Hidup sebagai pencuri dan tidur di sembarang tempat. Atau paling tidak, menjadi pelacur. Aku tidak yakin kalau aku jauh berbeda dengan mereka serta segala kehinaannya. Tapi entahlah. Sejak Papa menerimaku, aku diberi banyak fasilitas: ponsel canggih; perhiasan; koleksi Gucci dan Louis Vuitton; sampai pendidikan.

      Aku berpikir, untuk apa aku masuk universitas? Masih menjadi hal yang biasa sebelum istri sah Papa belum memergoki hubungan terlarang kami. Sudah tentu wanita itu akan menuntutku habis-habisan di depan wajahku. Tindakanku memang tidak bisa dibenarkan dari sisi manapun. Tetapi aku hanya perlu uang dari pria hidung belang itu. Mengertilah, aku juga memiliki hak untuk hidup.

      Minggu kemarin, Papa mengajakku ke Chetam's Library—surga bagi para pecinta sastra yang berlokasi di Long Milgatte. Sebagian buku-buku di sana dicetak pada tahun 1850, cukup lama. Lalu menyaksikan pameran karya seni di Manchaster Art Gallery—hingga singgah ke restoran Two Cat's Kitchen di Kota Birmingham. Selama itu, dia selalu ada bersamaku.

***

      Ngomong-ngomong soal interaksi, aku merasa paling pandir akan hal itu. Sebutan familiarnya adalah introvert. Sebenarnya aku bisa saja bergaul dengan teman satu kelasku, tapi aku tidak melakukannya. Aku takut mereka mengorek informasi tentang diriku. Bahkan, tak banyak mahasiswa yang mengenalku—dalam satu fakultas. Kupikir, jika mereka tahu aku gadis simpanan, maka hubungan kami akan hancur.

      Toh, aku tidak percaya pada mereka. Kedua gadis yang berjarak dua kursi dariku tak berhenti mengoceh soal pendekatannya dengan seorang pemuda. Bukan, justru sebaliknya—dan ditanggapi oleh teman berkacamata tebal—persis gadis nerd pada umumnya. Suara mereka nyaring. Sialnya tidak ada yang menegur. Perpustakaan ini cukup luas untuk dikunjungi tiga orang, hingga kuputuskan untuk menutup buku.

      "Aphrodite? Kau Aphrodite, 'kan?" panggil sebentuk suara gadis, agak rendah.

      Aku menoleh ke belakang, rupanya si gadis rambut saus cabai (panggilannya uniknya di kampus) ia tersenyum padaku. "Apa ada kelas lagi?" tanyanya.

      Aku menatapnya dengan datar. "Hanya ada satu mata kuliah di hari Kamis."

      Baru saja aku melangkah dari pintu perpustakaan, gadis yang sedikit pendek itu kembali menegurku. "Claude bilang, jadwal kita maju menjadi dua hari ke depan."

      Langkahku tercekat. Kalau ini gurauan, maka aku takkan tertawa. "Sorry, I can't.
Kalian bisa tampil tanpaku." sahutku acuh.

      Gadis itu, namanya adalah Teressa Laurence. Ia mengigit bibirnya. "Aku hanya menyampaikan perintah, kupikir—"

      "Aku bukan anggota inti. Lebih baik kau yang urus sendiri." putusku sepihak.

      Manik cokelat Teressa berkaca-kaca, tapi aku tahu dia bukan gadis cengeng yang hanya menjadi beban. Malahan, lebih superior dariku. Hal itu yang membuatku iri padanya. Aku hanya pemeran pengganti di Angel Voice, tanpa aku pun band yang dibentuk Claude masih akan tetap bersinar seperti penyanyi di teve-teve. Aku tidak begitu berpengaruh bagi mereka.

      Tanpa sadar pula, aku meremas tali tasku. Beratnya buku-buku yang kubawa tidak seberat luka yang kutanggung hingga saat ini. Aku meninggalkan Teressa di depan perpustakaan, ia tidak lagi memanggilku. Aku sama sekali tidak menoleh ke belakang. Mungkin dia sudah mengerti maksudku.

      Entah bagaimana harus kuceritakan, aku bahkan tidak memercayai orang di sekitarku—tak terkecuali Teressa sekali pun. Di saat aku berjalan terburu-buru, seorang lelaki menabrakku dari arah berlawanan. Buku binder yang ia bawa terjatuh.

      "Ah, maaf." kataku, lalu memungut Kartu Tanda Mahasiswa-nya yang terjatuh di dekat kakiku. "Aku baru tahu kalau kita teman satu kelas." Kutilik wajah lelaki itu, rambutnya dicat putih—ia seperti keturunan Tiongkok.

      Lelaki ber-hoodie abu-abu itu menerimanya dari tanganku. "Thanks, mmm... kau Aphrodite dari Angel Voice, 'kan?"

      Aku menipiskan bibir, mengapa harus membahas itu, sih? "Lucian. Dalam bahasa Romawi artinya adalah cahaya, siapa yang memberimu nama itu?"

      Kini, dia tampak menahan tawa. Sesaat kedipannya memukauku. "Orang mati."

      Lalu orang itu beranjak meninggalkanku seorang diri di lorong. Apa seseorang hanya butuh beberapa detik untuk merasa kagum?

***

      Dari kejauhan, aku menemukan mobil Papa yang terparkir di sisi paling jauh. Mobil open kap berwarna merah, mirip dengan rambut Teressa. Papa menurunkan kacamatanya, lantas melambai. Aku tersenyum kecut, ini bukan hal asing. Tetapi Papa jarang menjemputku di hari Kamis, dan membiarkanku tampil bersama Angel Voice di bar atau restoran.

      "Ingin makan di restoran?" tawar Papa yang melihat ekspresi kurang mengenakkanku.

      Masih mempertahankan tampang masamku, aku menggeleng. "Aku hanya ingin bersama Papa."

      Perlahan, mobil yang kami tumpangi membelah jalanan Kota Manchester.

      "Well, kau butuh hiburan?" Intonasi pertanyaan Papa berubah dari beberapa menit lalu.

      Aku membisu. Kupandang hamparan Kota Manchester di sampingku. Kejadian di lorong tadi membuat kepalaku lebih pusing daripada mengerjakan tugas—tidak selalu juga. Itu hanya sementara. Dari raut wajah Papa yang tampak bahagia, sepertinya ia akan membawakan kabar baik untukku. Apa istrinya meminta cerai? Aku tak sabar menunggu hal itu terjadi.

      Papa menghela napas, lantas berkata dengan suara lembutnya. "Jika kau ingin—"

      Sepertinya, memotong pembicaraan orang sudah menjadi kebiasaanku. "Traffort Centre. Aku ingin membeli lipstik, Papa. Boleh, 'kan?"

      Ia membelai rambutku. "Anything for you, honey." ucapnya pelan, dengan senyum manis.

𝐓𝐨 𝐁𝐞 𝐂𝐨𝐮𝐧𝐭𝐢𝐧𝐮𝐞𝐝

💕𝐓𝐡𝐚𝐧𝐤𝐬 𝐅𝐨𝐫 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠💕

💞___________________💞

💞___________________💞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐒𝐜𝐚𝐭𝐭𝐞𝐫𝐞𝐝 𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang