💞_________________💞
𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠💕
03 Mei 2022
"Selamat ulang tahun, Papa!" seruku senang, dengan memegang kue tart hasil eksperimenku sendiri di dapur, karya perdana selain biskuit yang pernah kubuat dulu.
Papa yang bahkan satu tangannya masih menyentuh kenop pintu, terenyuh. Raut wajahnya tampak terkejut dengan sosokku yang menantinya di rumah. Kemudian, ia menatapku dan kue di tanganku. Senyum Papa terkembang, aku selalu menyukainya. Apalagi, karena aku. Bukan istrinya.
"Maaf, aku lupa memasang lilin. Tapi aku membuatnya dengan sepenuh hati, lho." jelasku bersemangat.
"Thank you so much, Aphrodite." ucapnya terharu.
Tak hanya satu kue yang kubuat. Aku juga membuatkan selusin kue muffin dengan hiasan krim vanila dan buah blueberry di atasnya. Cukup mudah ternyata, tidak menutup kemungkinan kalau aku tidak mengintip buku resep. Sayangnya aku tahu Papa tak terlalu suka makanan manis. Tetapi ia tetap berterima kasih padaku.
Kusampirkan jas yang melekat di tubuhnya. Wangi parfum khas Prancis yang elegan. Ia lantas duduk di ruang makan di mana aku meletakkan kue dan makanan lainnya. Bagi Papa, aku sudah dianggap seperti anak sendiri. Atau bahkan istri, aku melayani setiap keinginannya tanpa membantah. Alhasil, rekeningku tidak pernah kosong.
"Akhirnya, aku bisa mengenakan gaun bouffant yang pernah Papa belikan." kataku lega, mengambil tempat duduk tepat di hadapannya.
Papa terkekeh mendengarku. "Kau pasti bingung, ya. Gaunmu kan tersimpan banyak." Ia mengingat gaun koleksiku yang jumlahnya lebih dari dua puluh.
Aku tertawa tipis, menerima suapan kue ke dalam mulutku. Krimnya benar-benar lembut, rupanya aku berbakat. Mungkin aku harus membuka toko dessert. Terutama kue chiffon yang menggunakan perasan jeruk sunkist. Ya, aku memang sangat menyukai makanan manis.
"Oh, ya. Papa 'kan suka steak, aku juga membuatnya. Medium rare, aku yakin Papa pasti suka. Dan aku masih sempat memesan red wine untuk kita nikmati di malam hari."
terangku, lagi.Sayang, Papa hanya memakan sepotong saja. Sudah kubilang, kan? Dia kurang suka makanan manis. Jadi, aku memakan kue yang ukurannya tidak begitu besar. Toh, perayaan ini saja tidak megah, kan?
Papa benci kalau aku boros, namun lebih benci lagi kalau aku tidak mampu merawat diriku. Kalaupun aku tidak sanggup menghabiskan kue ini sendiri, aku bisa membagikannya ke tetangga.
"Bagaimana kabar istri Papa? Sudah minta cerai?" tanyaku tak tahu diri. Ya, anggap saja begitu.
Papa mengernyit, sepertinya ia kurang suka pertanyaanku. "Belum, sih." balasnya malas.
Aku mendecak, tapi aku tidak menyesal menanyakan ini. "Pendidikan tinggi tidak menjamin moral seseorang. Itu, kan yang Papa pernah ajarkan padaku?"
Ia terdiam. Mematung.
"Namun, Papa tetap menyuruhku masuk universitas. Mendaftar ke fakultas Ilmu Psikologi, malahan. Mengapa?" Mataku mengerling, memandang potongan kue sebesar mangkuk di depanku.
"Itu pertanyaan yang harus kau cari jawabannya sendiri." Papa berkata dengan datar.
Ekspresiku yang agak murung langsung kembali cerah. "Ngomong-ngomong, aku diterima, lho." ujarku bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐜𝐚𝐭𝐭𝐞𝐫𝐞𝐝 𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭 [Tamat]
Romance𝐃𝐞𝐤𝐚𝐩𝐥𝐚𝐡, 𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐥𝐚𝐫𝐚𝐤𝐮 𝐦𝐮𝐬𝐧𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮. *** "Naluri jahat muncul saat kau bertanya 'apa yang akan kulakukan selanjutnya?' Setelah begitu banyak manusia tak berperasaan menyakitimu berkali-kali." 𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 �...