💞_________________💞
𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠💕
25 Juli 2019
Aku berdiri di depan pintu, kemudian memasukkan nomor kunci masuk. Berhasil. Karena Teressa menggunakan tanggal 'istimewa' hampir dalam segala hal; termasuk nomor sandi di layar ponselnya. Well, awalnya aku cukup skeptis. Namun gadis itu selalu tahu bagaimana caranya membalas kebaikan seseorang. Aku tak pernah merasakan itu dari keluargaku.
Penerangan di ruang ini lumayan minim, akan tetapi aku tak salah melihat sepasang sepatu kets mahal yang sudah tak asing lagi. Tanpa ditanya sekalipun aku tahu siapa pemiliknya dari suara gema tawa di dalam kamar Teressa. Pintu kamar gadis itu terbuka sedikit. Aku mendengar suara Claude yang terbahak menonton film 'Mr. Bean'.
Meski aku ini sedikit jahat karena meraup uang dari pekerjaanku sebagai bandar judi, menghormati seorang perempuan tetap menjadi kewajibanku, bukan? Kutaruh paper bag berisi gaun pendek dan kalung liontin perak yang mestinya harus kuserahkan langsung tepat di samping pintu.
Tanpa mengatakan apa-apa, aku beranjak meninggalkan mereka.
***
Siapa bilang masa remaja itu masa yang paling menyenangkan? Aku tak pernah percaya pada keyakinan semacam itu. Tapi, aku tidak sendirian, bukan? Ilisha, bahkan Teressa—juga mengalami hal serupa. Tentu, menghadapi orang tua yang penuh ego bukan perkara mudah seperti membidik anak rusa.
Teressa pernah menceritakan padaku mengenai penderitaannya di panti asuhan, ada nama tak asing yang tidak sengaja ia sebutkan. Siapa lagi kalau bukan Luke? Koki yang memasak bubur dengan tambahan irisan daging tikus. Aku meringis sendiri tatkala membayangkan kejadian pada masa itu.
Kudengar gadis itu juga diterima di universitas yang sama denganku. Dan hadiah yang kutaruh bersama kartu ucapan di dekat pintunya—kemungkinan besar Teressa sudah membacanya, tetapi ia tidak mengerti bahasa Mandarin. Aku memang sengaja melakukannya. Toh, kata-kata yang kutulis di sana tidak sama indah dengan quote dari Pablo Neruda.
Di apartemen pertamaku di Manchester, semua lampu kumatikan. Termasuk lampu ruang keluarga yang berisikan sofa tunggal warna lilac dan televisi. Sejak jam sepuluh malam, aku sudah seperti hikikomori. Bermain game semalaman suntuk dengan banyak bungkus keripik di sekelilingku.
Oh, aku lupa ini. Ilisha datang jauh-jauh dari Birmingham untuk menginap.
"Jadi? Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanyanya sambil menjejalkan potongan kentang goreng.
Aku mengendikkan bahu, sudah dua puluh menit kami membicarakan ini. "Putus? Itu yang terpikir di otakku."
Ilisha tergelak, ia mengisap telunjuknya yang penuh bumbu. "Lucian itu memang cepat dalam mengambil kesimpulan, ya." ucapnya ringan. Ia terdiam sebentar. "Eh, tadi Claude mencarimu. Memangnya dia siapa, sih?"
"Claude itu kakak tiriku, lho. Tidak seorang pun tahu akan hal ini." Aku mendengus.
"I don't know, siapa saja keluargamu bukan urusanku. Aku 'kan datang kemari untuk bisnis kecil kita."
Sayangnya, bisnis kecil yang dimaksud Ilisha adalah bisnis ilegal. Dan yang lebih menyenangkan lagi menurutku ialah perihal reputasiku sebagai pihak yang menerima keuntungan lebih banyak. Oke, ini bukan bisnis sewa rumah. Perjudian. Semuda itu aku tahu banyak hal tentang Pachinko dan Roulette.
Ilisha menyandarkan tubuhnya di sampingku. "Apa sih tujuanmu? Aku tak pernah paham, lho."
Aku mendesah lemas. "Aku perlu banyak uang, itu saja." jawabku pendek.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐜𝐚𝐭𝐭𝐞𝐫𝐞𝐝 𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭 [Tamat]
Romance𝐃𝐞𝐤𝐚𝐩𝐥𝐚𝐡, 𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐥𝐚𝐫𝐚𝐤𝐮 𝐦𝐮𝐬𝐧𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮. *** "Naluri jahat muncul saat kau bertanya 'apa yang akan kulakukan selanjutnya?' Setelah begitu banyak manusia tak berperasaan menyakitimu berkali-kali." 𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 �...