💞________________💞
𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠💕
Asap tipis mewarnai udara dari sigaret Marlboro-ku. Rasanya aneh. Baru kali ini gadis yang dikenal sangat jutek pada orang di sekitarnya (terutama lelaki) menyanjung namaku, meski tidak secara eksplisit. So, what's the problem? Apalah arti sederet nama? Itu tak lebih dari rangkaian huruf yang membentuk makna, bukan?
Aku mengisap sigaretku sekali lagi, seraya mengingat kejadian tadi siang. "Ah, Lucian, ya?" Aku terkekeh, nyaris seperti orang gila sungguhan. "Mengapa aku menjadi satu pemikiran dengan gadis jalang itu?"
Namanya adalah Aphrodite. Aku lupa nama marganya. Tapi yang jelas, hampir semua mahasiswa di kampus tidak mengenal gadis itu. Dia sosok yang misterius dan jarang berbaur. Tipikal introvert. Kecuali saat berkumpul bersama teman-teman satu band-nya, gadis itu pun hanya sesekali berbicara. Cenderung lebih tertutup.
Yeah. Kurasa kami punya persamaan.
'Anak haram!'
'Kau sama seperti ibumu!'
'Bajingan tengik!'
Aku mendecak keras. Kubuang gulungan kecil berbau tembakau itu ke sembarang arah. Sampai hari ini, aku tidak dapat menghilangkan ingatan buruk yang menghantuiku. Andai saja ingatan manusia bisa dimodifikasi. Namun, pilihan terbaik adalah: bereinkarnasi dengan ingatan baru. Di sisi lain aku tidak ingin perasaanku juga turut menghancurkan pikiranku.
***
Albert Hall.
Bukan hal asing bagiku untuk berkunjung ke bar atau klub malam di tengah kota, aku menganggapnya sebagai rumah keduaku. Meskipun hampir tak ada bedanya, sih. Tetapi, setidaknya aku tidak bertemu dengan orang yang membenciku, atau aku yang membencinya lebih dulu. Aku bahkan tidak sudi tinggal satu atap dengannya.
Dentuman musik rock meraung ke segala penjuru bar, beserta aroma asam alkohol yang beragam. Di bawah lampu yang berkelip, aku memilih sofa yang terletak di paling ujung; dengan tanpa memedulikan orang-orang kurang waras di sekitarku; menghamburkan uangnya di meja judi. Aku yakin mereka akan pulang membawa kekalahan.
"Wah, sejak kapan kau datang, Lucy?" sapa seseorang dari arah belakangku.
Seorang pemuda jangkung dengan busana serbahitam dan celana belel—robek di bagian lutut. Wajahnya konyol, aku tidak kuat menahan mulutku untuk tidak tertawa. Nahas. Ia kemudian duduk di sampingku tanpa meminta izin. Aku lalu memanggil pelayan untuk membuatkan pesananku.
"Satu gelas Fröcss dan Brendy untuk temanku." kataku. "Dan jangan lupa panggilkan Ilisha, ya," sambungku.
"𝐅𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐬 𝐚𝐫𝐞 𝐜𝐨𝐧𝐧𝐞𝐜𝐭𝐞𝐝 𝐭𝐨 𝐭𝐡𝐨𝐮𝐠𝐡𝐭𝐬..."
Sepertinya, aku pernah mendengar lirik lagu itu. Lagu pertama dari mini-album yang dinyanyikan Teressa Laurence, dari band Angel Voice. Aku tak percaya mereka tampil di bar ini. Dan hanya ada tiga orang, tentu saja, kecuali satu personil. Siapa lagi kalau bukan si vokal cadangan-gadis sok tahu yang bernama Aphrodite? Ah, siapa peduli?
"Sepertinya, kau kenal mereka, ya?" Luke ikut memandang pertunjukkan band yang masih menggemakan refrain lagu.
Aku tertawa. "Hanya teman kampus, kok."
Ilisha datang bersama seorang pelayan yang mengantar pesananku (lengkap dengan kudapan) seperti biasa, gadis itu memakai pakaian seksi yang mengundang gairah pria. Aku tidak berniat menggubris senyumannya, sedangkan Luke-mungkin dia berpikir bagaimana caranya mendapat nomor telepon gadis ini. Aku tak perlu ragu untuk yang satu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐜𝐚𝐭𝐭𝐞𝐫𝐞𝐝 𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭 [Tamat]
عاطفية𝐃𝐞𝐤𝐚𝐩𝐥𝐚𝐡, 𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐥𝐚𝐫𝐚𝐤𝐮 𝐦𝐮𝐬𝐧𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮. *** "Naluri jahat muncul saat kau bertanya 'apa yang akan kulakukan selanjutnya?' Setelah begitu banyak manusia tak berperasaan menyakitimu berkali-kali." 𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 �...