- What Happened 14 Years Ago -

972 53 14
                                    

"Aw!"

Manda mengelus perutnya lembut. Bayi-bayi di dalam perutnya begitu aktif menendang dan memukul dari rahimnya. Dia tersenyum dan mengelus lagi perutnya yang kini terasa ada sedikit kontraksi di bagian bawah perutnya.

"Mainnya pelan-pelan, sayang. Mama sakit kalo kalian tendang-tendang sekenceng itu..." bisiknya perlahan sembari mengelus-elus perutnya yang besar.

Manda menatap dirinya dengan perut yang membuncit besar di cermin. Jika menyesuaikan dengan prediksi dokter, dalam waktu 3 hari Manda akan melahirkan.

Dokter sudah memintanya untuk melahirkan secara sesar, Daniel juga, untuk memastikan keselamatan Manda dan bayi-bayinya; tetapi Manda memilih untuk melahirkan normal.

Bukan, bukan berarti Manda memilih resiko tinggi. Manda semata-mata ingin membuktikan pada Daniel bahwa ia baik-baik saja. Daniel tak perlu merasa bersalah atas aborsi yang ia lakukan dulu. Aborsinya dulu merusak tubuhnya dan hingga saat ini pun Daniel terus merasa bersalah; itulah yang tak diinginkan Manda.

Manda hanya ingin Daniel tahu kalau aborsi itu dilakukan atas kesadaran mereka berdua dan telah dipikirkan matang-matang, bukan karena impulsif semata. Jadi apa yang mereka lakukan berdua adalah kesalahan mereka berdua, dan Manda ingin memperbaiki kesalahan itu dengan kebaikan yang sebenarnya, yaitu melahirkan anak-anak yang sehat dengan cara yang normal.

Ia senang dan bahagia, melebihi apa yang dipikirkan orang lain. Namun ia tak bisa menampik ada kegelapan yang menyelubungi dirinya, menggentayanginya di balik bahunya sejak kehamilannya memasuki usia 9 bulan.

Ia tahu, melahirkan memiliki resiko tinggi dalam kematian, apalagi kehamilan kembar; antara dia atau anak-anaknya lah yang akan meregang nyawa.

Ia paham betul itu.

Tapi di titik ini, Manda tak peduli. Kini ia paham mengapa seorang ibu rela meregang nyawa demi anaknya, karena Manda hanya ingin bayi-bayi dalam kandungannya lahir dengan sehat, sekalipun ia harus mati karenanya.

Ditatapnya dirinya di cermin dengan tangannya mengelus refleksi wajah dirinya. Lagi, kegelapan yang pekat membumbung, muncul di belakangnya, mengintainya dengan senyum tersungging. dari pantulan cermin.

Manda refleks memegang perutnya, instingnya mengambil alih untuk melindungi bayi-bayinya.

"Siap?"

Sosok itu berbicara dengan suara yang hanya Manda yang bisa mendengarnya. Wanita cantik itu menelan ludah, ketakutan yang bercampur dengan rasa familiar ini begitu melekat dalam dirinya, mencekik lehernya hingga ia tak bisa mengeluarkan suara apapun.

"Tak adakah pilihan lain?"

Tawaran Manda tak ditanggapi oleh kegelapan itu. Sosok di belakangnya hanya tertawa, lalu menghilang dari pantulan cermin.

Gemetar, ia kembali duduk di sofa dan mengelus perutnya sayang. Kini sepertinya bayi-bayinya sudah tidur, karena tak ada pergerakan apapun dari dalam sana.

Layaknya manusia pada umumnya, ketakutan menguasai dirinya. Airmatanya jatuh, belum lagi kontraksi singkat yang ia rasakan juga menyakiti dirinya.

"Kita berjuang bersama ya, Nak." lirihnya pedih. Rasanya pinggang bawahnya panas sekali, bercampur dengan rasa nyeri yang menjalar di sekujur punggung belakangnya dan kontraksi yang tak juga berhenti.

Dari luar sana, Manda bisa mendengar suara mobil Daniel yang masuk dan diparkirkan di garasi mobil. Ia bangkit hendak menyambut suaminya namun ia terjatuh ke lantai karena kontraksinya kini semakin kencang.

"Manda!?"

Daniel yang baru saja masuk ke dalam rumah kaget setengah mati melihat Manda terduduk di lantai dengan tangan memegangi perutnya dan dress yang dikenakannya basah oleh cairan ketuban bercampur dengan sedikit darah.

[M] Winter Sun | whitory jaeminjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang