"Dimas udah tidur. Tadi abis main sama Kala terus mereka tidur berdua.""Oh... oke. Untunglah kalo gitu."
"Ada apa, Dan? Kenapa Dimas tiba-tiba mau tinggal di rumah gue?"
"Susah dijelasinnya kalo lewat telpon, Na. Gue titip Dimas, ya."
"Oke."
Daniel menutup sambungan teleponnya. Ia melangkah gontai menuju kolam renang.
Satu saja.
Tak bisakah satu saja berjalan dengan baik?
Satu saja yang berjalan baik, tak perlu semuanya sekaligus!
Daniel paham itu; tak mungkin semua masalahnya akan selesai begitu saja.
Seolah tak ada satupun hal yang berjalan dengan lancar sejak kepergian Manda.
Sudah 14 tahun berlalu dan Daniel masih belum bisa melepaskan istrinya. Daniel yakin, tubuh Manda dan tulang belulangnya telah hancur menyatu dengan bumi, namun perasaannya masih tetap tertinggal disini.
Ditatapnya nanar foto istrinya, foto cinta pertama sekaligus pemangku cinta pamungkas yang bertahta di hatinya.
Siapa sangka takdir hanya mengizinkannya untuk mengenal sosok cintanya dalam 10 tahun yang singkat, sedangkan tak ada tanda-tanda bahwa ia akan dipertemukan kembali dengan Manda?
Kalau saja ia bisa mati saat ini juga demi bertemu Manda, ia akan melakukannya. Tetapi 14 tahun ini ia berusaha membunuh dirinya sendiri pun Tuhan tak pernah mengizinkannya.
Takdir sepertinya lebih senang menyiksanya dalam rasa rindu kepada sesuatu yang telah tiada.
Jangankan berpikir mencari penggantinya; sosok Manda terlampau tak tergantikan untuk Daniel. Apalagi berpikir untuk mencoba mencintai orang lain pun tak sedikitpun terbersit di kepalanya. Kepalanya terlalu berisik dipenuhi suara Manda.
Tubuhnya ada disini, tapi hatinya terjebak didalam dunia dimana Manda masih hidup.
Seperti kolam renang yang menjadi saksi cintanya. Ia tak lagi melihat dengan matanya, tapi dengan kenangannya. Di matanya, Manda duduk di seberang kolam renang, menyipratkan air kolam padanya.
"Daniel! Lihat sini!"
Dan otaknya pun pasrah dikuasai memori.
Tak pernah berubah; senyum anggun manis dan penuh keceriaan itu mengundangnya untuk mendekatinya.
Tanpa melepaskan kemejanya, ia menceburkan diri, merentangkan tangan dengan kaki menendang air kuat-kuat demi mencapai sisi seberang kolam ini, demi meraih sosok cintanya, yang kedua tangannya meraih pipi Daniel dan lembut menatap matanya.
Ah, bahkan daun yang jatuh dari pohon pun berani bersaksi untuk membuktikan keberadaan cinta yang dalam diantara kedua insan manusia itu.
Penuh senyum keduanya melontarkan syair-syair cinta lewat kata-kata yang tak bisa diterjemahkan oleh mereka yang tak merasakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] Winter Sun | whitory jaeminjeong
Fanfiction[Whitory Naguri Jaeminjeong Jaeminju] Empat belas musim dingin telah berlalu sejak kepergian Manda dan Daniel terus melanjutkan hidupnya bersama dengan kedua anak kembarnya, Adimas dan Adinda. Bagi Adinda, sudah saatnya Papa move on dari Mama yang s...