1. "Pa! Papa homo, ya!?"

922 51 7
                                    

"Papa! Papa, Papa, Papa!!"

Ia menutup matanya sembari tersenyum dan menghirup nafas dalam-dalam. Dari jauh terdengar suara ribut yang entah kenapa Daniel tahu darimana sumber keributan itu. Dan benar saja, pintu ruangannya didobrak oleh seorang anak perempuan cantik hasil copy paste dirinya dan almarhum istrinya.

Anaknya itu terengah-engah bertatapan dengan papanya yang sedang duduk manis didepan laptopnya. Tubuhnya maju ke depan, tanda ia siap mendengarkan putrinya itu sementara si anak perempuan menaruh tangannya di dada lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

"Take your time, Dinda. Ga usah buru-buru. Kalo udah siap, yuk bilang ada apa," pesan Daniel singkat. Putri cantiknya itu mengangguk-angguk lalu...

"Pa! Papa homo, ya!?"

Perlu waktu bagi Daniel untuk mencerna apa yang baru saja diteriakkan putri cantiknya itu. Walaupun Daniel sudah biasa dengan sikap absurd putrinya yang sepertinya menurun darinya, Dinda meneriakkan pertanyaan itu tepat di depan kubikelnya yang berada di ruang dosen.

Jangan tanya, berapa belas pasang mata langsung tertuju pada anak gadis cantik dengan rambut ikal tertutupi helm dan memakai jaket berwarna ungu. Ia terlihat lebih tinggi dibanding seumurannya karena tinggi sepatu rodanya.

Daniel malu? Tidak. Buat apa malu kalau dia atau anaknya tidak melakukan kesalahan? Toh anaknya hanya bertanya padanya, tak lebih dan tak kurang.

"Dinda kesini pake sepatu roda?" tanya Daniel memecah keheningan. Dinda mengangguk kencang.

"Seinget Papa, ruang dosen Papa ada di lantai 4, lho. Gimana caranya kamu naik kesini? Masa naik tangga satu-satu pake sepatu roda?"

"Dinda dari rumah Mami pake sepatu roda kesini terus pake jalur khusus difabel, terus naik lift sampe lantai 4."

"Ngebut?"

"Ngebut, dong." jempolnya teracung bangga. Sukses, Daniel berhasil mengalihkan pertanyaan anaknya dengan menggunakan rasa bangga anaknya.

"Hebat anak Papa." pujian singkat Daniel membuat anak gadis itu melompat-lompat kegirangan di atas sepatu rodanya. Ketika Daniel sedang gemas memperhatikan gerak-gerik anak perempuannya, suara ketukan pintu terdengar lalu sesosok lelaki yang wajahnya mirip dengan Dinda namun tertutupi hoodie di kepalanya muncul.

"Pa, ada Dinda disini--oh, ada, toh." ujarnya tanpa mengharapkan balasan setelah melihat adik kembarnya baru saja berhenti berjingkrak.

"Nah, Dimas pake apa kesini?" tanya Daniel santai.

"Sepeda," sahutnya santai sambil melepaskan headset yang menempel di telinganya. "Aku ngejar Dinda dari rumah Mami. Untung kekejar," sahutnya singkat.

Sepertinya Daniel tak terlalu menghiraukan fakta bahwa anak-anaknya yang masih berusia 14 tahun itu melintasi jalanan yang cukup berbahaya dipenuhi mobil dengan 'kendaraan' mereka; yang satu dengan sepatu roda, yang satu lagi dengan sepeda. Ia hanya mengulum senyum memperhatikan Dinda dan Dimas yang saling membersihkan debu yang menempel di baju satu sama lain.

"Papa udah selesai hari ini. Kalian mau makan dimana?"

"All you can eat boleh ga, Pa? Dinda lapar banget nih!"

"Dimas?"

"Mana aja boleh, yang penting makan."

"Oke. Gih, turun duluan ke mobil Papa sekalian nyalain dulu mobilnya ya. Nanti Papa nyusul." sahutnya sembari memberikan kunci mobil pada Dimas yang mengangguk lalu mengajak Dinda turun ke basement. "Duluan ya, Pa! Jangan lama-lama, lho," pesannya melambaikan tangan.

[M] Winter Sun | whitory jaeminjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang