3. "Kami lahir aja, Papa ga peduli."

833 41 9
                                    

"Naik, naik! Kakinya naikin lagi, Mas!" Seru Dinda. Dari pinggir ice rink, gadis periang itu bergerak lincah mengarahkan kakak kembarnya yang menari dengan indah.

Mendengarkan instruksi adiknya, Dimas kembali melompat dan berputar dua kali di udara lalu mendarat dengan tangan dan kaki terentang indah demi menyeimbangkan tubuhnya. Senyumnya pun mengembang diikuti sorakan dan tepuk tangan dari adik kembarnya merayakan keberhasilannya melakukan Lutz Jump.

 Senyumnya pun mengembang diikuti sorakan dan tepuk tangan dari adik kembarnya merayakan keberhasilannya melakukan Lutz Jump

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dimas meluncur kencang sekali lalu kembali ke sisi Riza dan Dinda dengan kaki menggeret permukaan es. Dengan santai, Dinda menepuk-nepuk kakinya yang terkena serutan es dari sepatu skate Dimas. "Kalo liat skoring kamu, ada baiknya kamu ikut kompetisi lagi, Mas." Jelas kak Riza, instruktur figure skating si kembar sembari melihat skoring Dimas di selembar kertas di tangannya.

"Aku mau ikut kompetisi lagi kalo Dinda ikut lagi." Gumam Dimas. Riza menoleh, berharap adik kembar anak didik harapannya itu menyetujuinya. Tapi Dinda sudah mengangkat tangannya dan tersenyum.

"Ga bisa. Dinda mau fokus di roller skate!" Serunya bersemangat, mematahkan harapan Riza seketika. Dimas hanya mengangkat bahunya.

"Tapi kan roller skate sama figure skating basicnya sama, Nak." Sebuah suara dari belakang Dinda diikuti sepasang tangan memeluk tubuhnya mengagetkannya. Dinda mendongak. Didapatinya seorang lelaki berambut putih pemilik senyum manis yang sama dengannya tersenyum padanya.

"Papa!" Sahutnya girang sembari memeluk tubuh papanya. Sementara Dimas menghindar ketika tangan Daniel hendak mengelus kepalanya. Ditangkapnya kepala anak lelakinya dan dipeluknya juga.

"Cobain aja dulu, gimana? Papa pikir ga ada ruginya kamu belajar roller skate dan figure skating sekaligus. Toh basic-basicnya sama aja, kan, kak Riza?"

"Kurang lebih sama, sih, Om."

"Tuh, sama, kan? Coba aja dulu."

"Lagipula figure skating berpasangan itu boleh untuk saudara, kok." timpal kak Riza lagi sedikit berharap. Akhirnya Dimas dan Dinda pun mengangguk bersamaan. Riza langsung bersorak girang dan mengizinkan kedua anak kembar itu untuk pulang dan Daniel menganggukkan kepalanya hormat pada Riza.

"Pa, Papa juga bisa main roller skate, kan. Makanya Dinda pengen lebih fokus di roller skate," aku anak perempuannya itu. Daniel mengusak rambut panjang kecoklatan Dinda, rambut yang sama persis seperti almarhum ibunya.

"Iya, tapi Papa lebih suka kalo kamu ambil kegiatan karena kamu suka, bukan karena Papa." ujarnya lembut. Dimas terlihat melepaskan sepatu skate-nya dan membungkus ice bladenya dengan apik agar tidak terkena goresan.

Daniel berdiri dan meregangkan tubuhya. "Makan malem, yuk. Mau makan dimana, Dimas? Dinda?"

"Terakhir kali Papa bilang gitu, Papa OD di mobil. Sekarang mau bunuh diri lagi?" sahut Dimas sengit tanpa melihat Dinda dan Daniel. Disampirkannya dengan kasar tasnya lalu ia bergegas meninggalkan Daniel dan Dinda yang kaget dengan Dimas.

[M] Winter Sun | whitory jaeminjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang