MASIH MAU? | 1

3.7K 43 0
                                    

Suara bising kendaraan mulai bersahutan. Bunyi klakson sudah menjadi alrm tersendiri bagiku. Ini menunjukkan jam sudah sangat siang,  sebagai seorang guru honorer yang seharusnya datang setengah tujuh tepat. Alias harus lebih cepat dari para pns jelas ini sebuah kesalahan besar.

Aku seorang guru honorer di sebuah sekolah negeri di kota Solo tercinta. Aku bukan orang sini, tetapi karena aku dulu kuliah disini jadilah ketika lulus sekaligus mencari lowongan kerja disini.

Namaku Sandra Monica Hadirahman, anak perempuan satu satunya bapak Indra Hadirahman. Ke tiga kakak ku jelas laki - laki semua. Ibuku Sandra Monica, seorang pengusaha catering. Jadilah namaku berasal dari nama kedua orang tuaku. Malas sekali mereka membuat nama untuk anak perempuan satu satunya ini. Sampai nama saja nyontek. Haduuh!

Motorku melaju dengan kecepatan penuh, meski sebenarnya agak ngeri. Dengan pakaian keki begini, hak fantofelku yang ga bisa diajak bercanda tingginya memang 7cm saja, tapi memang terbilang nekat nerobos jalan begini dengan hak tinggi pula.

"Wah, ibu sampun rawuh bu," celetuk Pak Paiz sang tukang kebun sekolah. Disekolahku tidak ada satpam, jadilah si tukang kebun yang merangkap menjadi segala - gala.

Aku menghela nafas pelan. Meski sebenarnya dalam hati ketar ketir juga. Siraman rohani siap nih jadi santapan sepanjang siang nanti.

"Makasih ya pak," hanya itu yg bisa aku  keluarkan dari mulutku . Setelah memarkirkan motor matic jadulku, aku bergegas setengah berlari menuju kantor.

Sebenarnya jika dikatakan terlambat, ya jelas tidak. Bel masuk jam 07.00 WIB. Jelas masih ada 15 menit lagi. Tapi ya itu tadi, karena saya guru honorer meski sudah sepuluh tahun lebih ya tetap saja harus lebih pagi dari para pns. Mungkin sudah jadi hukum alam begitu.

Nah, 'ibu' yang dimaksud Pak Paiz tadi ya ibu kami. Ibu kepala sekolah. Beliau orang yang lumayan "susah" di dekati.

Seperti biasa, jika terlambat saya akan mengendap - endap lewat pintu samping kantor. Jelas lebih aman di lalui.

"Hei, kesiangan. Tumben?" Tegur Pak Ishaq, teman sekantor saya. Beliau adalah guru olah raga. Bisa dibilang kami satu tongkrongan, meski usia kami beda tapi tidak terpaut jauh. Masih lumayan nyambung kalau ngobrol sih.

"Ssst.... Jangan berisik deh pak," bisikku pelan sembari terus mengendap masuk.

Suara cekikikan sudah mulai riuh. Aku hanya nyengir, selamat untuk pagi ini.

"Tumben mbak. Abis ngapain semalam?" Goda bu Indah, guru kelas 3A sembari cekikikan.

"Sst.... Nanti ketahuan. Aku mau minum dulu," sahutku setelah meletakkan tas di atas meja. Kemudian ke pantry untuk membuat teh.

Di sekolahku memang ada pantry dan dapur mini, tempat biasa guru - guru memasak sampai membuat minuman sendiri. Kami ada jadwal piket untuk memasak menu makan siang dan jajan konsumsi guru.

Jangan harap di sekolah akan ada tukang kebun yang bikinin teh tiap pagi. NGIMPI!!!!

Kami membuat minum sendiri, makan siang masak sendiri.   Tapi ya memang sudah di sediakan teh hangat oleh tukang kebun kami tercinta.

Selagi aku membuat teh hangat, tiba - tiba seperti biasa ada yang memberi bungkusan di depan aku

Aku nyengir lebar lah, guru honorer gitu yang gajinya cuma 300rb/ bulan yang masih wajib dipotong pajak pula. Masa menolak nasi???

Ooh... Ya tidak mungkin terjadi ferguso!!!

"Makasih bapak," kataku sembari langsung menyambar bungkusan nasi padangnya.

MASIH MAU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang