Semua guru sibuk membuka bekal makanan, kami duduk lesehan menggunakan alas tikar. Jangan tanya, bagaimana aku dan bu Tiara. Sudah jelas banget ya, kami cuma modal nyawa. Alias gak bawa bekal sama sekali.
"Sana mbak tolong belikan cup gelas buat teh hangat," titah sang maha benar re:ibu Yati sang wakasek.
"Inggih bu, siap," jawabku sigap.
Aku mengambil uang yang disodorkan kepadaku. Lalu segera menyeret bu Tiara agar menemaniku.
"Sewa sepeda boleh ga sih?" Tanya bu Tiara sembari menaik turunkan alisnya.
"Wes, ndang mangkat. Berisik," jawab bu Indah melotot.
Saya dan bu Indah hanya tertawa, ah tenang saja. Kami ga pernah ambil hati omongan mereka.
Kami berjalan menyusuri setapak , rasanya menyegarkan. Sepanjang jalan dihiasi pohon bunga matahari. Sepertinya aku harus agendakan hari khusus untuk selfi disini.
"Kamu sadar nggak sih, kamu sama pak Ishaq agak lain?" Tanya bu Tiara tiba -tiba ketika kami jalan arah pulang setelah membeli cup minuman.
Aku tersentak, tiba - tiba saja di beri pertanyaan yang menohok. Aku memetik daun bunga matahari yang sudah menguning dan menyobek - nyobeknya menjadi kecil - kecil. Kegiatan unfaedah yang sebenarnya mengalihkan rasa gugupku. Aku jadi kepikiran, apa kami semencolok itu?
Apa sebenarnya guru- guru tahu tapi hanya pura - pura tidak tahu?
Rasanya aku sangat malu, walaupun jika di katakan selingkuhan jelas enggak. Kami tidak ada hubungan apapun. Tidak ada, atau aku yang berpura - pura tidak ada apa - apa,?
"Lain gimana?" Tanyaku sok bloon. Duh, jangan doakan bloon beneran yah. Aku sejujurnya tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Ck, aku tahu kali. Sama lah kaya aku sama pak Arman," jawab bu Tiara santai.
"Enggak! Ngawur kamu," bantahku segera.
Ya ampun! Bu Tiara sama Pak Arman emang ada 'main'. Main aman banget sih. Mereka sering nginep berdua, simulasi menjadi rumah tangga sungguhan. Tapi ya cuma aku yang tahu. Serius, entah mereka sudah menikah siri atau belum. Katanya sih, bu Tiara mengaku padaku sudah menikah siri mereka. Tapi aku tidak pernah tahu juga. Lagian, katanya menikah tapi menggunakan wali hakim.
Aku jadi bertanya - tanya sendiri dalam hati, memangnya sah? Kan bu Tiara masih punya bapak. Bukan anak Yatim. Masih ada saudara dari pihak ayah yang bisa dijadikan wali nikah, banyak malah. Ah, entahlah biarkan itu menjadi urusan mereka. Tapi jika disamakan dengan mereka jelas aku menolak.
Akal sehatku masih menolak keras, meski hatiku berdarah - darah. Semoga akal sehatku tidak tumbang karena asupan kekurangan kasih sayang ala jomblo macam aku.
Ah, kalau dipikir pusing sih. Nggak tahu deh, untungnya bu Tiara sudah diangkat rahimnya sejak setahun lalu karena miom yang di deritanya. Jadi mereka tidak perlu khawatir tiba - tiba bu Tiara hamil yang menyebabkan kekacauan.
Gak bisa bayangin deh. Bagaimana jadinya, pencopotan jabatan, huru hara sama keluarga istri Pak Arman dan masih banyak kekacauan lainnya.
Aku bergidik ngeri membayangkannya. Jangan sampai perjuangan panjang kami berakhir sia - sia.
"Nggak kaya kamu sama Pak Arman kali," bantahku lagi. Ngeri banget ngebayanginnya aku jadi kaya bu Tiara.
Bu Tiara mengangguk sembari tersenyum mengejek.
"Tahu, nggak sejauh aku. Makanya aku ingatkan. Hati - hati. Jangan sampai main hati. Nanti kamu sakit sendirian. Sedangkan Pak Ishaq ga akan memilih kamu karena dia ada anak- anak." Jelas Bu Tiara pelan. Mata kami menerawang ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MASIH MAU?
Romance"Emang masih mau?" Tanyanya dengan tatapan ragu. "Maulah!" Dan kami tertawa bersama kembali.. Sebuah kisah tentang guru yang saling jatuh cinta disaat yang salah. "emang boleh guru berpacaran? " "eh, dia suami orang loh ya. awas jatuh cinta bene...