Masih mau | 12

961 33 6
                                    

Aku berjalan dari kost menyusuri jalan raya besar sendirian. Padahal perjalanan ke cafe lumayan jauh. Sejam kalau dilalui berjalan kaki. Setelah sekian lama, akhirnya dengan berbagai pertimbangan dan saran dari Bu Tiara, aku memutuskan untuk menemui istri pak Ishaq sendirian meski dilarang keras oleh pak Ishaq.

Ke cafe berjalan kaki dari kost sebenarnya bukan karena tidak ada uang untuk naik ojek atau naik taksi. Bukan karena aku honorer terus nggak ada duit sama sekali, enggak begitu juga. Meskipun biasanya aku malas sekali untuk jalan kaki, tapi kali ini aku menikmati dan berharap cafe semakin jauh agar aku dapat memperlambat waktu.

Setelah sampai di cafe yang lumayan sepi pengunjung, aku masuk dan sebenarnya tanpa celingukan aku sudah tahu dimana istri pak Ishaq berada. Karena emang sestrategis itu. Kelihatan banget kalau dari arah pintu masuk.

Berbagai pikiran buruk menghantamku. Bagaimana kalau aku diteriaki pelakor, bagaimana jika aku dicakar,atau ditendang, diviralkan macam yang ramai di beritakan di televisi. Bagaimana nasib kerjaku kelak jika benar terjadi?

Apa yang ada dipikiran orang tuaku?
Bagaimana respon Abang jika aku viral?

Ditambah lagi, rasa bersalah yang teramat besar mengikis rasa takutku. Meski pikiranku kacau.

"Hai, mbak," sapaku pelan setelah sampai di hadapan istri pak Ishaq yang kini menggunakan gamis ungu. Gamisnya yang panjang dan jilbab syar'i yang membalut tubuhnya tidak lantas membuatnya terlihat lebih tua. Beliau sangat cantik dengan kulit bersih, terlihat anggun dari caranya berdiri dan membalas senyumanku.

"Silahkan duduk, dek. Maaf ya malam begini baru bisa menemui kamu," sapanya sopan dan lembut.

Tangan kami bersalaman, rasa takutku sedikit berkurang. Semoga senyuman itu adalah pertanda baik.

Aku duduk di kursi dengan bahan kayu. Suasana cafe yang nyaman tidak lantas membuat rasa takutku sedikit berkurang. Nyatanya jantungku berdetak kencang. Keringat dingin dan tanganku sedikit gemetar tidak dapat lagi aku tutupi.

"Mau pesan makan apa?" Tanya istri pak Ishaq lembut.

"Aku es cappucino saja," jawabku pelan.

Setelah kami memesan minuman, beliau menatapku lama. Bukan tatapan tajam, tapi tatapan sayu dengan mata berkaca kaca.

"Maaf, maafkan saya Bu," kataku akhirnya setelah aku dapat mengumpulkan suaraku tlyang rasanya hilang entah kemana.

"Perkenalkan saya yasna istri mas  Ishaq rekan kerja anda," katanya membuka suara sembari mengangguk.

"jadi, kamu guru satu sekolah?" Tanya wanita itu dengan lembut. Bukan sebuah pertanyaan, mungkin hanya basa basi. Karena aku tahu beliau sudah tahu aku dan pak Ishaq satu sekolah.

kalian benar. Akhirnya aku menemui beliau sendirian tanpa ditemani pak Ishaq. Memang sengaja kami bertemu selepas isya di sebuah cafe. Kebetulan hari ini pak Ishaq ada di rumah orangtuanya. Katanya beliau cuti sehari karena ada acara keluarga disana.

Keringat dingin ditanganku tidak dapat di cegah. Dadaku rasanya mau meledak. Saya deg degan, ketakutan, merasa bersalah. Rasanya mau menangis melihat Bu yasna yang menatapku dengan tatapan sendu.

"Hei, kamu satu sekolah dengan suamiku?" Ulangnya lagi.

"I-iya," jawabku tergagap. Nyaliku menciut. Rasanya mau menangis.

Bagaimana semua ini bisa terjadi, dan bagaimana awalnya hingga aku terjerat seperti ini?

Aku ingin berhenti tapi kenapa justru semakin begini. Aku melihat betapa lembutnya beliau, kantung matanya yang tebal menunjukkan bagaimana beliau menangis sepanjang hari. Rasanya pasti sakit sekali. Bagaimana dengan anak - anak mereka yang masih kecil? Aku jahat sekali, aku rasanya tak sanggup menatap matanya yang teduh itu. Tidak merasa pantas berhadapan dengan wanita semulia Bu yasna.

Akhirnya aku menangis tergugu, menangis meraung karena merasa bersalah. Tuhan aku berdosa sekali.

"Maafkan saya," ucapku disela tangis ku.

Beliau menatapku dengan mata berkaca, lalu menghapus air mataku dengan tisu.

"Jangan menangis," katanya pelan dan serak.

Aku semakin meraung dan menangis keras. Beliau sebaik itu. Sebaik itu pada gadis hina seperti aku.

Aku beranjak dari kursi dan segera bersujud dikakinya sembari terus berderai air mata.

"Hu..hu..hu..  maaf, maafkan saya. Saya jahat," beliau mengusap bahu saya sembari ikut menangis.

"Jangan menangis lagi. Duduk yuk, kita ngobrol pelan - pelan," bisiknya lirih.

Aku memberanikan diri menatap wajah bersih yang menatapku dengan tatapan matanya yang sayu.

Beliau menuntunku menuju tempat duduk disebelah kanannya.

"Kamu dengar apa dari mas Ishaq?" Tanya beliau pelan.

"Pak Ishaq bilang, beliau mau bercerai dengan ibu. Pak Ishaq sering curhat bagaimana berantakannya rumah tangga kalian. Dan bagaimana tuntutan ibu soal ekonomi pada beliau. Beliau juga bercerita tentang kehidupan sehari-hari yang kalian jalani. Termasuk soal pisah ranjang. Beliau bilang mencintai ku. Pak Ishaq ... Aku... Mencintainya. Maaf," jelasku sembari menangis.

Air mata istri pak Ishaq akhirnya turun. Menangis tanpa suara. Aku memeluknya erat.

Kami sama sama terluka, cinta ini menyakitkan.

"Dek, kami baik - baik saja," kata beliau dengan suara serak setelah agak tenang.

Aku tercengang mendengarnya. Haruskah aku percaya?
Aku sebodoh ini?

"Kami baik - baik saja. Kamu wanita baik. Wanita berpendidikan. Masa depan kamu cerah. Jangan terjebak dengan omongan semu lelaki," nasehat beliau pelan.

Aku mengangguk sambil terus menangis. Merasa sangat berdosa, merasa bodoh, merasa sakit.

Masih tergambar jelas, bagaimana baiknya beliau. Perhatian beliau. Kasih sayang beliau pada ku yang sendirian di perantauan.

Apa beliau tidak pernah mencintai ku?
Beliau menipuku? Tapi apa mungkin beliau tega dan sejahat itu padaku?

Apa aku bisa tanpa beliau? Tapi bagaimana dengan wanita baik ini?

" Dek, aku tahu kamu baik. Kamu hanya terlena atas kebaikannya. Mas Ishaq bukan pertama kalinya begini. Seandainya pun kami bercerai, aku berharap kamu menjauh darinya. Biarkan saya dan anak - anak kami  yang terluka. Kamu jangan," kata beliau dengan air mata berderai.

Aku semakin merasa kerdil, beliau yang begini saja dikhianati apa lagi wanita seperti aku?

Aku mencintainya, aku selalu terbuai jika bertemu beliau. Bagaimana caranya agar aku berhenti?

Apa benar beliau tak pakai hati?
Apa benar beliau tak pernah mencintai ku?

Aku menangis meraung dipelukannya, seharusnya beliau memukuli ku, mencaci makiku. Bukan begini.

"Maaf," kataku berulang sambil menangis.

"Aku memang mau menyerah. Rumah tangga kami baik - baik saja. Tidak ada tuntutan ekonomi, atau masalah apapun. Aku tahu, masalah mas Ishaq sering berulang kali. Tapi memilih diam demi anak anak kami yang masih kecil," cerita beliau dengan berurai air mata.

"Aku menyerah, tapi tolong kamu jangan terjerat dengan beliau. Mas Ishaq bukan suami setia. Beliau memang ayah yang baik, suami yang tidak penah marah. Tapi beliau jahat dengan caranya," katanya terisak.

"Terimakasih, maafkan saya Bu," kataku sambil memeluknya erat.

Kamu menangis bersama karena lelaki yang sama.

MASIH MAU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang