Masih mau |3

2K 41 1
                                    

Hari ini sebenarnya aku libur, tapi ya itu sebagai guru honorer aku masih harus kerja. Tenang saja, aku cuma diminta beli atk.

Aku sedikit beruntung, kalau disuruh sama Pak Ishaq berarti aku dapat makan sama jajan.

Selesai mandi, aku memakai baju santai. Tidak seperti biasanya memakai kemeja atau batik. Hari ini aku memakai celana jeans dan hoodie. Rambut panjangku sengaja aku bentuk ponitail panjang agar tidak mengganggu nanti.

Tin... Tin... Tin...

Suara klakson sudah terdengar, itu bapak beranak dua memang menyebalkan. Sudah macam bapak ojek online aja pakai klakson.

Aku bergegas mengambil tas ranselku, memakai sneakers kesayanganku.

"Sabar!" Seruku.

Pak Ishaq terkekeh pelan, beliau sudah turun dari motor dan berdiri di depan gerbang kostku.

"Bapak," tegurku sembari melotot.

Tuh, dia hanya terkekeh pelan. Aku membuka gerbang dan segera menghampiri beliau.

"Ketuk pintu dulu loh. Ucapkan salam bapak. Jangan klakson gitu, kaya mamang sayur aja," tegurku kesal.

Pak Ishaq terkekeh sembari mengelus rambutku.

"Ayo..."

"Kok gak pakai mobil," protesku.

Bukan matre, sumpah deh. Tahukan motor sport itu bagaimana? Nah, agak risih aku tuh boncengan sama beliau pakai motor sportnya. Ya nungging, ya nempel. Terkesan "intim" walaupun terhalang tas ranselku. Tapi ranselku kecil banget. Tas ini tuh, cuma muat dompet sama hpku saja.

"Hemat bensin nduk," ujarnya singkat.

"Tapi aku mau ajak bu Tiara," jawabku kesal.

"Bu Tiara gak ikut. Udah aku tanya," jawabnya dengan suara lembut seperti biasanya.

Beliau memang sangat 'memanjakan' aku dan bu Tiara. Mungkin karena kami paling muda.

Aku naik ke motor dengan pegangan punggung beliau. Dan yang paling menyebalkan jok motor ya licin banget, nungging kalo bonceng disitu. Duh, posisinya enggak enak banget.

"Sebel kalo pake motor ini bapak," rengekku sebal.

"Pegangan. Motor gede malah nggak capek pas bonceng, nduk. Kan jauh jadi nggak capek. Nanti bawa barang juga," ujar beliau.

Aku memegang pundak beliau sebagai pegangan. Anggap saja mamang ojek, lah kalau pegangan pinggangnya jadi 'skandal'. Kalau nggak pegangan ya nyusruk ke depan. Dan pepaya bangkok kesayangan aku yang masih perawan ini bakalan nempel di punggung beliau. Rugi aku!

Motor melaju dengan kecepatan sedang, aku memang banyak diam kalau bonceng motor. Percuma, kuping aku tuh mendadak  tuli kalo naik motor.  Nggak bakalan dengar deh, percuma. Malahan bikin emosi saja nanti.

Nggak tahu emang lagi sial saja hari ini. Tiba - tiba hujan, hanya gerimis tapi lumayan deras. Jadi motor melaju dengan cepat banget. Aku sampai nyusruk ke depan.

Entah bagai mana, ya mungkin karena dingin, jok motor yang makin licin, laju motor yang kencang membuat aku secara nggak sadar mengalihkan tanganku ke pinggang beliau. Udara dingin banget, nggak tahu bagaimana akhirnya aku semakin mengeratkan pelukanku.

Aku menyandarkan kepalaku si punggung pak Ishaq. Sebenarnya ini bukan rencanaku, tapi karena terbawa suasana. Aku merasa 'nyaman' dengan begini.

"Dingin banget?" Tanya beliau dengan setengah berteriak.

"Iya pak," jawabku berteriak pula.

"Neduh nggak?" Tanyanya lagi.

"Ah, lanjut saja. Hujannya nggak gede. Hujan - hujanan," jawabku sembari mendekatkan wajahku di leher beliau untuk memastikan beliau mendengar ucapanku.

Pak Ishaq tidak menjawab, atau mungkin menjawab tetapi aku tidak mendengarnya. Beliau menambah kecepatan dan membuat aku mengeratkan pelukanku.

Hujan semakin deras, motor berhenti di rumah pondok dekat hutan jati pinggir kota.

"Turun nduk, neduh dulu," ucap Pak Ishaq sembari membantuku turun dari motor.

Beliau merangkul ku dan sengah berlari menuju pondok.

Karena hujan sangat deras memang jalan ini sepi sekali. Hanya ada kami berdua dan truk besar yang melaju di jalanan.

"Dingin ya? Mau doble jaket?" Tanya pak Ishaq lembut.

Aku menggeleng pelan. Memang dingin banget, tapi kasihan kalau beliau harus melepas jaket. Beliau pasti lebih dingin.

"Itu jaketnya tipis," ujar beliau lagi sembari membenahi poniku yang sedikit rusak.

"Enggak, bapak lebih dingin. Kan tadi di depan," jawabku.

"Lagian nih depanku enggak basah, ketutup sama punggung bapak tadi," lanjutku sembari menunjukkan bagian depan badanku.

Beliau mengangguk, kemudian merangkul pinggangku lembut.

"Sini lagi, disitu kena hujan nanti," ujar beliau lembut.

Aku hanya menurut, aku menatap beliau sejenak. Pak Ishaq menatapku lembut.

Jantungku rasanya berdetak hebat, seandainya beliau single mungkin mudah bagiku. Sayangnya beliau sudah beristri dan memiliki dua anak. Apalagi beliau menganggapku 'adik bungsu' nya.

"Kenapa?" Tanyanya sembari mengelus perlahan pingganggku.

Aku menahan napas sejenak, darahku berdesir. Aku tahu ini salah, tapi aku menyadari. Aku bukan gadis smp yang nggak tahu ini apa. Aku mencintainya. Dan aku tidak boleh membiarkan rasa 'nyaman' ini berlarut.

Apalagi kepala sekolah kami selalu mengingatkan, "guyonan boleh, tapi jangan dibawa pulang. Seru - seruan saja biar kerja nggak tegang".

Kalimat itu seakan menjadi mantra yang beliau ucapkan berkali - kali. Dan aku menyadari, dari perhatian beliau, suara lembut beliau, wibawa beliau, dan beliau yang tidak sungkan melakukan gerakan refleks menyentuh rambutku, menggandeng, bahkan memeluk seperti tadi membuat aku sejenak lupa diri. Meski beliau hanya melakukannya saat kami hanya berdua.

"Kok diem aja, dingin banget nduk?"  Tanya beliau khawatir.

"Enggak," jawabku sembari tersenyum getir.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah depan. Menatap hujan yang berlomba - lomba menjatuhkan dirinya ke bumi.

Posisi kami memang di pojok. Tertutup pohon - pohon beserta semak belukar. Jelas motor saja tidak kelihatan jika dari jalan raya, apalagi badan kami. Ini satu - satunya bangunan tua yang bisa kami gunakan untuk berteduh.

Pak Ishaq berdiri di belakangku. Beliau memelukku dari belakang, mengecup pelipisku berkali - kali. Aku menahan nafasku. Aku sangat nyaman dengan beliau. Beliau yang dewasa, beliau yang 'ngemong' aku.

Entah bagaimana rasanya mau menangis mencintainya dalam diam. Pak Ishaq tidak pernah bilang beliau mencintaiku, pun begitu dengan aku. Aku tidak pernah bilang cinta. Tapi entah bagaimana aku menerima segala perhatian, dan perlakuan pak Ishaq tanpa protes.

Ini salah, tapi aku sangat nyaman. Tidak ada kata mesra. Kami tidak pernah bertukar pesan via wa selain tentang pekerjaan. Tidak ada kata mesra, semua wajar.

Hanya saat berduaan dengan beliau, gestur tubuh kami berbeda. Beliau memelukku semakin erat. Aku mengelus tangannya yang kokoh di perutku.

Hujan semakin deras, kilat sesekali menyambar. Tetapi aku sangat nyaman disini. Berharap waktu berhenti, sejenak melupakan status kami. Melupakan status beliau yang telah beristri dan memiliki anak. Hanya kami, cuma ada aku dan beliau.

Entah setan atau iblis apa yang menguasai otakku. Tiba - tiba aku menangis sesegukan, lalu membalikkan badanku. Aku memeluk beliau erat. Menyerukkan wajahku ke dalam dada bidangnya. Mengeratkan pelukanku sembari menangis sesegukan.

"Kenapa?" tanya beliau khawatir. Pak Ishaq memelukku mengusap punggungku berulang. Mengecup puncak kepalaku berulang. Aku semakin menangis meraung. Tuhan, aku sangat mencintainya.

"Ssst... Kalau kakinya sakit bisa aku gendong saja. Atau sakit perut ya, coba sini," ujarnya lembut.

Aku hanya menggeleng sembari berusaha menghentikan tangisku. Aku memeluknya erat. Biarkan aku kali ini, hanya kali ini. Setelah ini, aku akan mengubur rasa cintaku. Hanya saat ini.

MASIH MAU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang