Masih mau| 8

1.7K 32 0
                                    

Aku duduk dipinggir pantai, membiarkan celanaku basah terkena sapuan ombak. Bahkan bagian celana dalamku ikut basah.

"Capek ya," kata bu Tiara pelan.

Aku hanya tersenyum tipis, tidak tahu deh capek kenapa.

"Pengen berhenti kerja, pulang kampung aja," bisikku pelan.

Entahlah, tiba - tiba aku merasa capek. Pengin pulang kampung, ketemu orang tua, main sama abang.

Aku kadang berfikir, apa yang aku perjuangkan disini?
Apa yang aku cari sampai lama sekali tidak pulang,?

"Aku pengin keluar tahu, pengin ngejauh dari Pak Arman. Aku udah capek banget," lanjut bu Tiara lagi.

Aku mengangguk mendengarkan bu Tiara memulai curhatnya. 

"Emang, masih ribut mulu sama istri pak Arman?" Tanyaku pada bu Tiara yang sibuk menggambar dengan jarinya di pasir pantai.

"Ribut mah, pasti ribut terus lah bu.  Mana bisa kami akur?" Jawabnya sembari tersenyum pahit.

"Pernah dinomor satukan sama pak Arman ga?" Tanyaku pelan.

Walaupun aku tahu persis jawabannya tapi aku ingin mendonbrak lagi hatiku yang suka goyah.  Aku tahu, akan banyak yang sakit jika kami memaksakan hati. Tapi, kok sakit banget sih...

"Ga akan pernah jadi nomer satu kali. Aku selalu harus mengalah. Disembunyikan. Tapi siapa yang mau nerima wanita kaya aku?" Papar bu Tiara sambil mengusap air matanya yang mengalir.

"Pasti ada kok. Yakin deh. Jangan putus asa gitu," yakinku.

"Iya, ada cuma pak Arman. Kamu bayangin deh. Status doang perawan tapi udah ga perawan. Ga bisa punya anak, cuma pegawai honorer yang gajinya buat beli gincu aja nunggu 5 kali gaji baru bisa ke beli tuh gincu," sambungnya sembari menatapku.

Kami tertawa pelan, ya ampun kami semenyedihkan itu ya?

"Malu minta duit ke abang mulu," gerutuku kesal pada diri sendiri.

Aku mundur sedikit mencari pasir yang kering. Aku berbaring tanpa alas di atas pasir. Matu terpejam, enak juga begini.

Pantainya sepi, yang lain sedang makan di resto pinggir pantai. Rencananya mau ke kalala malah batal, belok arah ke pantai karena pada pengen terapi ikan. 

Tapi ada enaknya juga kesini. Lumayan menghilangkan stres.

"Bu, pernah ga sih kepikiran buat cari kerja lain?" Tanyaku dengan mata terpejam.

Aku menghirup udara segar dan membiarkan rambutku terkena pasir.

"Kamu cinta ga sih sama pak Ishaq?"  Pertanyaan  bu Tiara membuat aku terkekeh pelan.

"Cinta itu apa sih?"  Bisikku pelan.

Aku tidak tahu harus bagaimana, bagaimana mengendalikan hati. Apa ini karena kami terlalu sering bertemu?

Apa karena aku butuh sosok dewasa karena aku dipaksa mandiri, sedangkan aku di rumah sangat dimanja?

"Aku nyaman, aku butuh beliau. Tapi, beliau itu gak sayang aku tahu bu," kataku lagi dengan air mata yang mengalir tanpa bisa aku hentikan.

Kami sepertinya sibuk dengan keruwetan pikiran masing - masing. Sehingga hening untuk waktu yang lumayan lama.

"Kalau beliau sayang banget sama kamu gimana?" Pertanyaan konyol yang kembali menyapa telingku.

"Kalau beliau sayang ku, beliau gak akan dekati aku sebelum beliau selesai dengan istrinya," jawabku masih dengan posisi yang belum berubah.

" Kalau beliau cinta sama aku, beliau gak akan biarin aku menjadi yang tersakiti. Ga akan biarin ku di cap buruk oleh orang lain," lanjutku lagi.

MASIH MAU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang