Masih Mau?| 2

2.2K 42 0
                                    

Seharusnya hari ini menjadi hari santai, tapi ternyata tidak juga. Meski aku tidak ada jam mengajar tetap saja sibuk dari pagi.

Dimintai tolong dari yang remeh temeh semacam ambilin penggaris sampai ngeprint berbagai macam berkas. Belum lagi di suruh buat keluar sekolah, ya beli tisu, ya beli makanan, ya beli jajan. Tanpa diganti lagi uang bensinnya!

Iya, yang paling menyebalkan saat disuruh itu ya tidak diganti uang bensinnya. Udah tau honorer itu gajinya bahkan buat beli bensin aja gak cukup. Lah, masih saja nyuruh ke sana kemari tanpa diganti uang bensinnya. Mengsedih aku tuh.

Siang ini memang sengaja aku ngumpet di kantin belakang, di rumah dinas pak Paiz. Seperti biasa meski baru jam 10 pagi, mie instan sama es kopi cappucino memang jadi andalan.

Mie rebus dengan telur dan cabe rawit setan 3. Ditambah sayuran pula. Maka nikmat mana yang engkau dustakan?

"Dih, pagi - pagi udah pedess gitu makannya," tegur Pak Ishaq yang baru saja masuk.

Saya hanya nyengir sembari menawarinya. Ya basa basi aja sih, nawarinnya tuh. Tapi kalau pak Ishaq mah suka minta beneran.

"Mau?" Tanyaku sembari menyodorkan sendok yang barusan aku pakai.

Lah, doyan beneran loh. Saya berdecak sebal.

"Tadinya basa basi loh nawarinnya," gerutuku kesal.

Pak Ishaq tertawa pelan, beliau menepuk kepalaku pelan sembari geleng - geleng kepala. Hobi dia kali tuh geleng - geleng kepala.

"Kamu loh, nawarin kok basa - basi"

"Lah, iya kok. Kurang ini nanti mienya,"

"Pesen lagi kalau kurang,"

"Bener ya, tapi di bayari," jawabku memastikan.

Pak Ishaq mengangguk sembari tersenyum. Duh, meleleh aku kalau lihat senyum beliau tuh. Sayang aja udah berbuntut dia.

Pak Ishaq mengeluarkan rokok andalannya. Ini emang udah kaya bascamp kami gitu. Tempat ngemie, tempat ngumpet kalo capek di suruh - suruh. Jelas tempat ngerokok bapak - bapak.

"Emang nggak ngajar?" tanya pak Ishaq.

" Enggak," aku masih melanjutkan makan. Oh iya, aku tuh guru mapel. Bukan guru kelas, jadi bisa dibilang aku punya paling nggak satu jam dalam sehari jam kosong nggak ngajar.

Aku ngajar bahasa Inggris. Dan karena masih honorer aku hanya diberi 10jam/minggu. Jadi lebih banyak nganggur dari pada mengajar.

"Nambah mie lagi sana," kata pak Ishaq lagi.

"Iya, doble telur ya," pintaku ngelunjak. Sama pak Ishaq mah enak. Bebas mau minta apa saja. Sebaik itu beliau kalau sama para GTT (Guru Tidak Tetap).

"Umi, nambah mie lagi sama esnya," kataku pada ibu kantin. Kami biasa memanggil ibu kantin umi.

"Dih, belum kenyang bu?" Tanya umi kaget.

Aku tertawa saja, lah perut aku perut karet. Makan banyak lemak segini segini aja. Kecuali lemak di dada sama pantat. Nah, itu yang gak bisa dibilang kecil juga. Makanya saya selalu memanjangkan rambut. Buat menutupi sebenarnya.

"Tadi bu Tiara nyari njenengan," kata Pak Ishaq membuka pembicaraan

"Dih, ngapain?"

"Enggak tahu, disuruh bu Yati buat beli makan kayaknya,"

"Nanti kalo beli makan mah jam 11 siang pak."

Saya sekilas melihat wajah Pak Ishaq yang agak suntuk. Dih, banyak duit kok suntuk ya. Apalagi kaya aku gini?

"Suntuk pak?" Tanyaku basa basi sembari terus menikmati mie pedasnya.

"Iya, biasalah sama istri," jawabnya resah.

Aku mengangguk, aku sama bu Tiara biasa jadi teman curhat bapak - bapak sih. Jadi ya biasa saja, di dengarkan lalu dilupakan. Begitu kalau aku. Yang penting ditraktir makan setiap hari.

" Istri minta jatah ya, tapi bapak kecapekan?" Jawabku sembari bercanda.

Pak Ishaq tertawa saja,

"Dih, ngawur tok. Enggak gitu," elak beliau sembari mengelus rambutku pelan.

"Makan yang bener.  Rambut mbok diiket. Kemangkok itu rambutmu," tegur pak Ishaq. Beliau mengambil pita di saku lalu mengikat rambutku.

Dikantin pojok ini emang jauh dari jangkauan cctv sih. Jarang ada siswa nongkrong masuk sini juga. Jadi ya emang pas buat nongkrong guru - guru pas lagi gak ada kerjaan macam sekarang ini.

"Males ngiket rambut," jawabku.

"Iya tahu. Makanya aku selalu bawa pita rambutmu di sakuku," jawab Pak Ishaq.

Aku mengangguk sembari tersenyum geli, beliau emang sepengangguran itu. Lah, segala pita punyaku disakuin kemana - mana.

"Nanti mau ikut nggak?" Tanya beliau.

"Kemana?"

"Kalala."

"Ikuuut," jawabku spontan. Beliau mengangguk saja,

"Nanti bonceng motor mau?"

"Motor gede punya njenengan itu? Dih, kok nggak pake mobil aja," tawarku.

"Lah gaya. Ngirit bensin. Pake motor aja," jawabnya.

"Aku meh ajak bu Tiara og," jawabku.

Padahal aku membayangkan jalan jalan ke Kalala. Kalala itu semacam mall di kota ku. Lengkap banget disitu, mau cari apa saja ada. Makanya aku pikir pengen sama bu Tiara. Dih kapan lagi di traktir kan ya?

"Ga usah. Wong mau beli atk sama tisu,"

"Lah, jauh amat ke kalala. Depan aja tuh, minimarket depan kalau beli tisu sama atk mah," jawabku nyolot

"Mau nggak? Kalau nggak mau ya sudah,"

Nah, kalau begini bikin galau. Kapan lagi dapat gratisan. Tapi pergi berdua pak Ishaq dihari libur?

Duh, keder ini. Kami memang biasa bersama. Kalau kondangan juga aku sering bonceng beliau. Tapi kalau pergi ke luar kota berdua. ....

"Dih, nanti jadi skandal," gerutuku kesal.

"Lah, emang kita mau ngapain? Lagian nggak pakai baju dinas. Emang kamu mau pakai keki atau pgri?"

Aku mengangguk pelan, iya juga sih. Lah kami cuma dimintai beli atk sama tisu ke Kalala. Disana memang serba muraah. Jadi memang aku sering dimintai tolong kesana buat belanja kebutuhan sekolah.  Cuma biasanya berduanya sama bu Tiara.

"Ya udah iya. Ketemu dimana?" Tanyaku.

"Ini bu, dih janjian yaaa," kata umi memotong oembicaraan kami sembari memberi semangkok mie dan segelas es pesanan saya..

"Dih, umi. Mau ikut mi? Beli atk sama tisu," jawabku jujur.

"Dih, males. Capek bu," tolak umi. Lalu umi pergi ke depan lagi melayani siswa yang beli.

" Sst.... Yang ini pedesnya nampol," kataku sembari berdesis pelan. Pedes banget sih mie korea ini. Harganya aja 5 kali mie biasa kan ya?

Mumpung ditraktir, sesekali makan mewah.

"Piye? Arep tak jemput aja ke kos njenengan?" Tawar beliau.

Aku sih ngangguk setuju aja. Dari pada ketemu dijalan, lagian hemat bensinku.

"Tapi nanti kalau bu Tiara ikut berarti aku boncengan sama bu Tiara," kataku lagi.

"Dibilangin Bu Tiara nggak mau ikut kok ngeyel,"

"Dih, kalau sama aku pasti mau"

"Iya. Wes pokoknya besok tak jemput ya ke kost."

"Iya. Lah emang istri bapak ga marah libur masih kerja saja?" Tanyaku sedikit penasaran

"Lah, setiap hari bawa koreksian ke rumah kok baru tanya marah apa nggak," katanya sembari tertawa

Aku cuma nyengir, iya sedikit lupa. pak Ishaq mah penuh dedikasi kalau sama pekerjaan. Patut di contoh.

MASIH MAU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang