3. Gengsi yang Tinggi

20.2K 1.1K 15
                                    

Selamat Membaca
Monggo Enjoy

~~~~~

Ndarboy Genk - Koyo Jogja Istimewa

~~~~~

"Tidak ada yang menarik di mataku selain melihat senyumanmu."

~~~~~

Menikah di usia muda sebenarnya bukan pilihannya, ini ada sebuah paksaan dari pihak keluarga yang mau tidak mau harus dia turuti. Membayangkan betapa indahnya masa kecil membuat dirinya menyadari bahwa semua di dunia ini tidak gratis, selalu ada timbal balik yang akan kau terima di masa yang akan datang. Ya mungkin inilah yang harus dia terima dari semua kemewahan masa kecil, ingin mengatakan tidak menerima pinangan namun dia ingat bahwa sang kedua orangtua selalu mengatakan iya atas semua permintaannya.

Jenni mulai berdamai dengan keadaan yang ada, memang sepertinya sudah garisnya. Lagipula dia tidak memiliki pacar ataupun teman laki-laki yang dekat dengannya, jadi tidak akan ada pihak yang tersakiti.

Bukan hal baru jika tidur dengan sang suami, ini merupakan kali ketiga dia tidur dengan suaminya. Nafas hangat yang menerpa leher sebelah kiri dan sebuah lengan besar yang berada di atas perutnya membuatnya terbangun. Pantas saja tidurnya tidak nyenyak, bernafas saja sulit.

"Ini jam berapa yah, udah masuk subuh belum nih?" Jenni bertanya kepada dirinya sendiri, mengambil ponsel miliknya yang ada di atas nakas dengan sebelah tangan. Mata perempuan itu menyipit guna memfokuskan pandangan, meletakkan ponselnya di samping tubuh. "Masih setengah jam lagi, kalau dibuat tidur pasti nanti malah kesiangan."

Jenni memutuskan untuk mengusap punggung tangan suaminya, sembari menatap langit-langit kamar hotel yang polos. Hotel apa yang terlalu putih seperti ini, sangat membosankan. "Ya Allah pagi-pagi gini siapa yang telfon?"

Jenni mengomel namun tetap mengangkat telfon dari seseorang itu. "Oalah yang telfon Ibu, assamualaikum Ibu."

"Waalaikumsalam Adek, udah bangun kan?"

"Iya udah, Ibu butuh sesuatu?"

"Ah enggak sayang, Ibu cuma mau bangunin kamu aja. Semangat yah, ibu nanti ngabarin suamimu mungkin siang jadi ketemu Doni besok, sekalian Ibu mau beli oleh-oleh."

Jenni mengangguk paham, perempuan itu berbicara lirih takut menganggu tidur sang suami. "Bareng Bapak sama Abang ya Bu?"

"Iya sayang, udah yah kamu juga siap-siap sana. Ibu tutup yah, assamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Habis telpon siapa?"

"Eh?"

Jenni menolehkan kepala dengan cepat, perempuan itu kaget mendengar suara berat yang tepat berada di samping telinganya. "Sejak kapan Mas bangun?"

"Habis telpon siapa?" tanya Doni sekali lagi.

"Ibu, aku habis telponan sama Ibu."

Tidak ada respon berarti dari Doni, pria itu menatap mata Jenni tanpa bersuara seolah bertanya apakah perempuan di depannya ini berbohong atau tidak. Beruntung tingkat kepekannya begitu tinggi, membuat Jenni dengan cepat memahami tatapan itu. "Ibu, tadi beneran Ibu Sarah yang nelpon."

"Kenapa bisik-bisik?" tanyanya kembali.

Jenni menjaga jarak dengan Doni agar lebih leluasa menatap prianya. "Aku takut ganggu Mas tidur, makanya aku bisik-bisik."

Anak Rahasia Sang Direktur TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang