Tanpa pikir panjang lagi, Arland menarik tangan Cahaya untuk menjauh dari apa yang mereka lihat di ruang lukis. Arland membawa Cahaya sampai ke taman kampus. Mereka duduk di salah satu sudut yang cukup sepi.
Arland terlihat sangat cemas dengan Cahaya. Pasalnya sekarang gadis itu tengah memiliki aturan napas yang cepat. Pandangan Cahaya juga terarah entah ke mana.
"Hei," tegur Arland selembut mungkin. Dia mengambil salah satu telapak tangan Cahaya untuk digenggamnya.
"Kamu oke?" tanya Arland yang tidak dijawab oleh Cahaya. Gadis itu masih mengatur napasnya yang semakin sesak.
"Lihat saya." Arland memegang kedua sisi bahu Cahaya. Memposisikan Cahaya agar melihat tepat ke arahnya. Berhasil. Pandangan Cahaya sekarang hanya ke Arland.
"Tarik napas pelan-pelan. Terus buangnya pelan-pelan juga. Kamu bisa kan?" Arland memberikan interuksi. Cahaya mengikuti, tetapi dia merasa kesulitan. Matanya pun berkaca-kaca karena menahan rasa sakit ini lagi. Sebuah serangan panik yang teramat mengesalkan.
Lantas Arland memiliki ide brilian. Dia mengambil kedua telapak tangan Cahaya. Lalu diarahkan ke atas bahu gadis itu sendiri. Hal sama yang pernah Cahaya lakukan juga untuknya. Tepatnya ketika pertama kali Arland melihat Cahaya meminum obat. Kala itu Arland trauma dengan penyakit Naya yang pada akhirnya membuat gadis itu pergi selamanya.
"Saya yakin kamu bisa hadapi ini. Oke?"
Cahaya mengangguk cepat seraya air mata yang tidak mau menurut untuk tetap di tempatnya. Bukan karena lelah menghadapi kambuhnya. Melainkan dia merasa malu karena hal ini harus terjadi di depan Arland. Cahaya merasa sangat lemah dan tidak berdaya. Padahal dia sama sekali tidak ingin jika Arland tahu tentang sisinya yang ini.
Meski serangan itu masih tidak mau pergi, Cahaya mulai merasa lebih baik. Hanya saja Arland tetap tidak kuat hati melihat Cahaya begini. Dia memutuskan menarik tubuh Cahaya ke dalam dekapannya. Mengusap punggung belakang Cahaya dengan amat lembut.
"Kamu pasti bisa ngelewatinnya. Saya ada di sini sama kamu," bisik Arland tanpa melepaskan pelukannya.
Cukup lama posisi mereka seperti ini. Tidak peduli dengan banyak pasang mata yang menyaksikan, Arland tetap tidak akan membiarkan Cahaya melalui kesakitannya sendirian.
Beberapa saat setelahnya, Cahaya akhirnya mulai baik-baik saja. Dia yang lebih dulu melerai pelukan.
"Aku udah enggak apa-apa."
"Kamu yakin?" Arland memastikan lagi.
"Aku enggak mau kalo Kenji sampai tau soal ini. Dia enggak akan ijinin aku ke kampus lagi kalo dia tau ini," pinta Cahaya dengan wajah sangat serius.
"Iya. Saya enggak akan kasih tau Kenji. Ini cukup jadi rahasia kita berdua aja ya?"
Cahaya mengangguk seraya tersenyum kecil. Dia lega. Pikirnya Arland tidak akan sependapat. Namun, nyatanya cowok itu memang sangat pengertian.
"Hmmm ... soal apa yang aku liat tadi, kamu ...."
Cahaya ragu untuk mempertanyakan sesuatu di benaknya.
"Saya tau. Kenji udah cerita semuanya." Arland benar-benar peka.
Sayangnya ekspresi Cahaya tidak begitu senang dengan masa lalunya yang akhirnya terungkap ke Arland. Dia merasa bukan gadis pantas untuk Arland. Cahaya hanya bisa memejamkan matanya sesaat, dengan pasrah.
"Kamu enggak perlu malu atau berpikiran hal yang enggak-enggak setelah saya tau semua masa lalu kamu. Justru gara-gara itu, saya ingin menjadi lebih dekat sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia untuk Arland (TAMAT)
Teen FictionArland memang sudah sembuh dari tumornya. Namun, jika karena hal itu ia harus kehilangan Naya, maka Arland memilih untuk tidak sembuh dari penyakitnya. Semenjak kepergian Naya setahun lalu, membuat hidup Arland berubah 180 drajat berbeda. Sekarang...