2;

85 14 99
                                    

Selamat Membaca! 💕



- Bab II

: "Saya Gama, salam kenal, ya?"

[]

Alana di sini. Di tempat yang sama sekali bukan rencana awalnya. Manggala cafe. Berdiri di meja pemesanan dan bersilang tatap lagi sama pria kemarin. Perlu diingat, itu kesialan Alana hari ini.

Tentu. Itu memang kesialan karena setelah memesan satu cangkir kopi panas, sekarang pria bongsor itu malah mengikutinya sampai ke tempat biasa Alana duduk. Oke, mungkin pria ini memang sama gak warasnya sama pria berhidung mancung waktu itu.

Terserah, deh. Alana sama sekali gak peduli. Toh, dia ke sini cuma ingin membeli kopi. Karena besok sore, Alana gak akan ke sini lagi.

Karena Alana mau pergi. Iya, pergi dari dunianya yang gelap itu.

Alana tersenyum kecil. Kedua matanya melongok ke luar jendela yang kini berawan mendung. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Alana jadi ingat apotik dan toko alat tulis yang dia kunjungi kemarin. Gak terasa sekali kalau waktu bergulir begitu cepat.

Sampai rasanya, detik ini bahkan, Alana sudah merasa gugup menanti pukul empat sore esok.

Bukan. Pukul empat sore bukan waktu kesukaannya. Hanya saja, Alana sering mengunjungi tempat ini pada pukul itu. Waktu dimana isi kepalanya diam. Tidak ada satupun suara-suara mengerikan yang bersahutan. Apalagi kalau didominasi hujan deras dan gemuruh petir.

Benar-benar membuat isi kepalanya diam total. Dan Alana ingin sekali mati pada jam dan cuaca itu.

"Lagi mikirin apa, sih? Jangan kebanyakan ngelamun, nanti cantiknya ilang, loh." kata si pria bongsor tadi sambil mesem-mesem genit.

Manusia yang harus dimusnahkan itu banyak, ya, ternyata.

Seperti biasa dan akan selalu begitu, Alana cuma diam dan gak menanggapi. Sejujurnya kesal juga mendengar kalimat menjijikan itu. Tapi untuk hari terakhir sebelum kepergiannya, Alana gak mau marah-marah. Ya, dia harus bisa tenang dan senang sedikit hari ini. Dan lagipula, Alana gak cukup bodoh untuk tahu kalau itu cuma bualan. Jadi kasihan, taktik pria bongsor ini ternyata kuno sekali.

Si pria menggaruk tengkuk. "Saya Gama, salam kenal, ya?" katanya. Lalu tangan itu terulur. Butuh waktu untuk Alana bisa mencerna situasi mendadak tersebut. Sebelum teralihkan pada satu presensi yang membawa satu nampan berisi kopi panas pesanannya.

"Kopi panas spesial buat Neng Alana dataang! Mangga.." Setelah berhasil menaruh kopi tersebut di atas meja, pria itu kembali bersua, "Masih panas, jadi jangan langsung diminum, ya?" sambil tersenyum.

Dan si pria bongsor yang tadi memperkenalkan diri itu jadi berdecak ringan. "Sia mah ngaganggu wae. Ditu-ditu!" Satu tangannya dipakai untuk mengibas-ngibas angin. Setelah itu mendelik sok marah.

"Naon ceunah? Aing mah ngan hungkul nganterkeun kopi jang Neng Alana." Pria mancung itu menimpal tak suka. Sok menantang.

Tuhan, Alana sudah melakukan dosa apa, sih, sampai dia harus mendengar perdebatan super gak bermutu ini?

Tapi pada kenyataannya, Alana sudah sering mendengar perdebatan begitu di rumah. Sudah biasa. Malah kalau yang di rumah suaranya lebih keras ditambah suara pukulan di dinding. Lebih kacau. Bahkan seringkali membuat Alana gak mau keluar kamar meski cuma untuk buang air kecil atau makan. Karena kalau sudah begitu, yang Alana mau dan bisa dia lakukan cuma menangis tanpa suara.

Ya, Alana Greesa sudah seringkali melewatkan jatah makannya hanya untuk meredakan anxiety attack yang dia punya. Suara keras dan dentuman dinding membuat jantungnya lebih sering berdebar. Dan itu sakit. Sakit sekali. Sampai Alana tidak pernah bisa tidur. Bahkan terkadang dia harus terpaksa tidur dalam kondisi lapar.

Ah, sudahlah. Alana bosan kalau terus menceritakan soal dia dan rumah. Lagipula, besok 'kan dia sudah pasti dan memang akan pergi.

Tanpa menghiraukan dua presensi tersebut, Alana mengambil cangkir kopinya lalu menyeruput perlahan. Tenang sekali. Bahkan rasanya, Alana tidak bisa menghitung lagi seberapa banyak dia makan dan minum dengan tergesa-gesa kalau sedang di rumah. Sungguh, mau Ibu masak makanan kesukaan Alana dengan bumbu seenak apapun, itu semua akan tetap terasa hambar dan gak enak.

Kondisi dan masalah rumah itu seperti akar dari segala penyakit mental seseorang. Menurut Alana, semua berawal dari rumah.

Perdebatan itu akhirnya selesai. Alana gak tahu kemana perginya si pria mancung tadi. Dan tahu-tahu, pria bongsor itu kembali bersua sembari tersenyum. Kali ini senyumnya lebih normal. "Saya Gama, yang punya cafe ini." Dan tanpa mengulurkan tangannya seperti tadi. Entah karena dia menyadari ketidaknyamanan Alana atau bukan.

Di sana, Alana Greesa mengangguk. Sebetulnya hal ini sedikit aneh. Padahal dari dulu, dia paling risih kenalan sama cowok. Apalagi pria ini sudah pasti berusia lebih jauh di atas Alana. Tapi ketika silang tatap yang terkunci dalam lima detik dan seolah mengirim sengatan kecil ke jantungnya itu, membuat Alana seperti gak bisa menghindar.

Alana gak tahu ini perasaan apa. Dia sama sekali belum pernah mengenalinya. Ini bukan perasaan yang selama ini dia rasakan atau pendam. Karena kalau yang selama ini, Alana cuma bisa merasa sakit dan sakit. Sisanya sudah mati rasa. Tapi untuk beberapa alasan yang gak bisa Alana suarakan, satu sudut hatinya seolah terbuka. Satu sudut itu yang membuatnya bisa merasakan desiran aneh ini.

Plis, Alana. Kamu itu udah mau mati. Jangan kebanyakan tingkah.

Di dalam angkasa pikiran, Alana memantapkan hati. Benar. Dia 'kan sudah mau mati. Mana boleh merasakan hal yang aneh seperti tadi.

Gama, pria itu tersenyum lagi. "Kelas berapa sekarang?"

"Kelas akhir." Oke, kalau pertanyaan biasa semacam itu Alana masih mau menanggapi. Tapi kalau sudah yang aneh-aneh, dia bersumpah akan langsung pergi dari sini tanpa membayar kopinya. Terserah.

Gama cuma beroh-ria. Tapi Alana tahu kalau otak pria itu sedang berpikir untuk menanyakan hal lain. Bukan. Alana sama sekali gak bisa baca pikiran orang. Dia cuma terlalu sering mengamati ekspresi dan sikap seseorang. "Mau tanya apa lagi?" Tunggu, ini pasti bukan Alana. Ini pasti Alana yang lain. Karena Alana Greesa tidak mungkin secepat itu memberi reaksi. Biasanya dia akan terus mengamati sambil menunggu orang itu bicara lagi. Bodoh! Kamu ini kenapa, Al?

Pasti ada yang salah. Alana mengambil lagi cangkir kopinya yang sudah dingin. Gila. Padahal baru beberapa menit lalu dia pesan kopi panas ini. Kenapa sudah dingin begini? Oh, pasti karena cuaca dan ac di ruangan ini. Ya, Alana yakin karena itu. Bukan karena dia berbincang sama Gama dan waktu seolah jadi bergulir lebih cepat.

Alana, sadar! Kamu itu cuma cewek yang bakal mati besok sore!

Telinganya kembali berdengung. Bersamaan dengan suara kekehan Gama yang menguar. "Emm, tanya apa lagi, ya? Kamu mau saya tanya apa memangnya?" sembari menumpu wajahnya di atas meja.

Sialan.

Alana berdiri. Kedua kakinya secepat mungkin menjauh dari meja dan satu presensi aneh itu. Bahkan dia sudah gak ingat nama pria itu siapa. Intinya, Alana harus pergi dari sini. Karena Alana merasa ada yang janggal tiap kali memandang dua bola mata dan senyuman itu. Tapi seperti biasa, semesta memang gemar sekali memberi derita.

Tepat di saat Alana berhasil membayar tagihan dan melangkah lebih lebar sampai hampir menggapai kenop pintu, Gama mengintrupsinya lagi, pria itu memekik cukup kuat. Membuat kepala Alana terasa seperti dihantam batu besar yang menghancurkan seisi syaraf.

"Saya tanya kamu besok sore! Jadi harus dateng ke sini lagi, ya!"

Notes;

Aku memang sundanis betewe hahaha.

Ternyata sulit banget bikin buku genre gini. Dan sebetulnya karakter Gama di bab ini mau aku bikin sekonyol mungkin gitu buat impresi pertama Alana. Tapi gapapa, nanti bakal konyol juga kok ☺️

Sekian! Salam dari Gama 💌

✓Semicolon | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang