6;

59 9 71
                                    

Selamat Membaca! 💕



- Bab VI

: "Loh? Kok saya dibilang gila?"

[]

Duduk berhadapan setelah insiden tadi adalah satu pengalaman yang amat tidak mengenakan bagi Alana. Ini aneh. Sangat aneh karena mengingat beberapa jam lalu dia mengumpat pria bongsor itu.

Meski gak nyaman, Alana membuang pikiran itu jauh-jauh. Ada hal yang lebih mengusik. Ada hal lain yang lebih penting daripada memikirkan kenapa detik ini dia malah menurut lagi dan tidak pergi.

Kira-kira kenapa Gama menahannya tadi?

"Alana suka baca buku, ya?"

"Pertanyaan aneh." Alana mendesis. "Memang kalo orang ke sini mau ngapain lagi selain baca buku?" timpalnya jutek.

Masih merasa sedikit kesal bercampur malu karena pria bongsor itu secara terang-terangan melihatㅡbahkan sempat menenangkan ketika dirinya menangis saat di atap tadi. Dan masih gak mengerti juga kenapa bisa-bisanya pria ini datang ke perpus di hari yang sama.

Baik. Mungkin itu kebetulan. Tapi Alana tidak begitu yakin kalau ada kebetulan yang seperti terulang. Jadi, ini jelas bukan sesuatu yang bisa disebut 'kebetulan'. Ada sesuatu yang mendasari perilaku Gama padanya belakangan ini. Tapi.. memangnya apa yang mendasari?

Alana gak pernah merasa kenal sebelumnya dan seharusnya pria itu juga demikian. Tidak ada korelasi yang jelasㅡselain rasa kemanusiaan yang mungkin tiba-tiba menelusup masuk hatinya dan berakhir memilih menyelamatkan satu nyawa yang hampir melayang.

Dan sebelum Alana melanjutkan untuk mencari asumsi di kepala, Gama tersenyum tipis. Kedua alisnya terangkat. "Yaa.. seperti yang kamu rencanakan, mungkin?" katanya, pelan.

Alana bungkam. Dia menelan saliva gugup dan mengambil satu buku di atas meja untuk pura-pura dibaca. Padahal fokusnya sedang bercabang dua. Dan Alana memang gak berniat membaca apapun. Kepalanya masih sedikit berdenyut, juga hidungnya yang jadi berair.

Tentu saja. Mana mungkin Alana bisa fokus membaca di tengah kondisi tersebut?

"Oh? Betewe, itu kalimat terpanjang yang kamu ucap ke saya." Dia tersenyum lagiㅡlebih tepatnya menyengir. Dua gigi taringnya jadi ikut terlihat. "Meski kamu jawab jutek, tapi saya senang dengernya."

Alana melirik dari balik buku. Dia mengulas senyum tipis di sana. Tapi belum lima detik, Alana menggeleng dalam benak. Tidak. Barangkali pria ini punya maksud lain. Alana sengaja berdelusi semacam itu. Supaya degup jantungnya ini bisa diam tidak berisik terus dari tadi.

"Kamu suka apalagi selain baca?"

Oke, itu pertanyaan wajar. Alana menurunkan bukunya. "Denger musik, maybe."

Kaki panjang Gama mengambil langkah setapak. Kini jarak wajah mereka hanya satu siku. "Kenapa jawabnya gak yakin gitu?"

Satu hal yang sedikit Alana banggakan dalam dirinya. Kalau secara disengaja dan gak mendadak, dia bisa sedikit memanipulasi ekspresi wajah untuk tetap terlihat datar. "Saya memang gak pernah bisa yakin sama apa yang saya lakuin." Alana Greesa menatap lurus. Kekosongan absolut yang berpendar dari manik sayu itu masih ada.

Dan Lingga Adipati Manggala bisa merasakan hal tersebut. Pria itu jadi sedikit mengerti bagaimana kacaunya perasaan Alanaㅡsaat di atap tadi. Dan ketika semakin ditelisik, hal itu malah menariknya ke satu waktu yang barangkali hanya bisa dijelajahi kepalanya sendiri. Satu memori gelap yang ingin sekali Gama kubur sedalam samudera.

Tetapi untuk satu dan lain hal, kali ini Gama tidak mau egois lagi. Kepalanya lantas mengangguk paham sambil memajukan sedikit bibirnya. Kemudian tanpa alasan yang jelas, Gama mengusap pucuk kepala Alana. "Nanti lagi, kalau ada apa-apa bilang aja ke saya, ya? Saya mah siap pisan lah jadi pendengar kamu." sambil tersenyum.

"Udah gila, ya?"

"Loh? Kok saya dibilang gila?"

"Lagian sok kenal banget, sih."

Dua sudut bibir Gama malah terangkat. Pria itu tersenyum penuh. Aneh. Padahal Alana cuma sosok yang baru dikenalnya belakangan ini. Dan, hei, seharusnya bukan reaksi seperti itu untuk merespon ketika dicebik orang. Tetapi seperti ada hal lain yang membuatnya tidak bisa demikian. "Kan memang udah kenal?" Dua pupil mata boba itu menatap Alana polos. "Apa mau kenalan lagi biar makin kenal?"

Seperti yang sudah-sudah, Alana cuma bisa memutar bola mata jengah mendengar kalimat-kalimat Gama. "Kamu tuh gak ada kerjaan lain apa Kak selain gangguin orang?" Alana mendengus.

Benar saja, sang lawan bicara kini menatapnya tidak percaya dalam beberapa sekon. "K-kamu bilang apa? 'Kak'?" suaranya jadi sedikit bergetar dan itu berhasil membuat Alana mengerutkan alis.

"Ya terus mau saya panggil apa? 'Om'?" balas Alana sarkas. Meski sebetulnya merasa janggal dari keterkejutan Gama tadi. Tapi untuk beberapa alasan, Alana merasa tidak perlu berpikir lebih jauh dulu.

Mungkin tidak sekarang.

Gama lantas mengerjap. "Eh, j-jangan, lah. Mending Kakak aja, iya, bagus itu. Sopan." Mengangkat kedua jempolnya lalu menyengir. Alana hanya diam sebagai respon. Kemudian pria itu melirik jam tangannya sebelum berujar sedikit panik sambil nepuk jidat. "Ya ampun. Kamu pasti belum makan, ya? Tunggu sebentar." dan bergegas ke luar padahal Alana baru saja ingin menolak.

Tapi pergerakan Gama selalu lebih cepat. Rasanya Alana akan sia-sia saja kalau tidak membiarkan pria itu melakukan sesuka hati.

Dan, tidak. Alana gak boleh merasakan desiran aneh seperti waktu di cafe kemarin. Ya, yang Gama lakukan cuma sebatas spontanitas dan kepedulian manusia terhadap manusia lain. Pria itu jelas tidak akan sudi dikira menelantarkan anak orang yang hampir bunuh diri dan malah tidak memberi asupan gizi barang sedikitpun setelah itu. Dan lagi, sisa uang jajan yang Ibu kasih sudah habis dipakai ongkos.

Oke, cukup nikmati saja. Masih mending ada yang peduli, Alana.

Tak lama Gama muncul membawa dua kotak berukuran sedang. Alana tidak tahu pria ini pesan apa. Meletakkannya di meja dan menyodorkan satu untuk Alana. Tapi tatapannya jadi sedikit ragu. "Emm.. kamu suka pecel ayam, 'kan? Di depan cuma ada ini soalnya."

Alana mengangguk. "S-suka, kok." lalu tersenyum tipis. "Makasih, Kak." Jemarinya perlahan membuka makanan kesukaannya itu. Kalau Alana ingat lagi, terakhir makan pecel ayam itu sudah lama sekali. Dan entah kenapa suasana hatinya jadi sedikit membaik karena ini.

Mendengar itu Gama tersenyum lega. Setidaknya dia berhasil beli makanan yang cocok. "Yaudah, sok, dimakan. Pelan-pelan aja, ya? Santai. Eh, tapi kamu buru-buru pulang, gak? Udah jam tujuh, sih." Gama melirik jam tangannya sekali lagi. Merasa khawatir kalau sampai orang tua Alana mencari gadis itu karena belum pulang juga.

Tapi hanya ada gelengan di sana. Dan hal itu sedikit cukup membuat Gama mengerti untuk tidak meneruskan topik yang barangkali Alana hindari. "Oke, nanti kalau mau minum bilang, ya? Saya beliin es teh yang di depan perpus." Gama tersenyum. Kemudian mulai menghabiskan kotak makanannya yang tadi sempat tertunda.

Alana menatap Gama dalam diam. Kepalanya terasa penuh. Seperti ada banyak sekali hal yang menumpuk. Tetapi Alana benar-benar tidak mengerti. Terlebih soal kenapa Lingga Adipati Manggala secara sukarela berperilaku hangat begini pada orang asing sepertinya.

Sebenarnya apa motif Gama datang ke kehidupannya?

Notes;

Bab ini masih lanjutan dari bab kemarin yaa.

Oh! Itu mereka duduk dan bisa makan ceritanya ada semacem tempat khusus gitu ya buat pengunjung di dalem perpustakaannya. Aku baru inget ga nambahin detil di bab ini huhu. Maafkan 🙏🏻

Sekian! Salam dari Gama 💌

✓Semicolon | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang