5;

84 11 97
                                    

Selamat Membaca! 💕



- Bab V

: "Heh! Budak leutik!"

[]

Gundukan menyakitkan itu membuatnya sering berpikir bahwa mati adalah satu-satunya cara. Dan Alana gak pernah memberitahu siapapun soal berapa banyak dia ingin mengakhiri hidupnya.

Satu waktu, Alana pernah terpaksa terbangun dari tidur karena rumah kembali berisik. Suara-suara bising menyakitkan itu masih tersimpan baik di memorinya. Ketika itu, seperti yang sudah-sudah, Alana gak bisa berbuat apa-apa selain menangis tanpa suara.

Menangis tanpa suara selalu terasa menyakitkan buatnya. Itu menyiksa, sangat. Alana bahkan tidak pernah sekalipun (dengan sengaja) mengeraskan suara tangisnya karena takut ketahuan Ibu. Takut ibu tahu kalau anaknya ini sudah banyak merasa lelah.

Gagal lagi.

Alana menatap kosong pada satu coretan kertas yang dia buat sendiri. Beberapa kotak lain yang berisi tanggal juga samaㅡtercoret tinta merah. Tanggal yang sengaja Alana pilih untuk bunuh diri. Beberapa tanggal sudah terlewati. Dan kini hanya tersisa satu.

Hari ini. Sabtu sore, pukul empat lewat tiga menit.

Alana membuka tasnya dan melihat dua bungkus hitam yang sudah disiapkan tadi pagi. Baik sudah lengkap, batinnya. Lalu kedua kaki itu berjalan menuju tangga yang menghubungkan ke rooftop perpustakaan kecil yang berada di persimpangan jalan.

Ini adalah tempat favoritnya. Selain sering menghabiskan sisa waktu setelah pulang sekolah di Manggala cafe, Alana juga sering ke sini. Perpustakaan kecil ini sudah seperti rumah kedua buatnya. Tempat yang selalu membuat Alana Greesa merasa tenang.

Setidaknya mati di jam dan tempat yang disukai terdengar lebih baik.

Sebelum benar-benar menaiki satu anak tangga, Alana mengitari sekitar dan yakin kalau perpustakaan hari ini sepi. Tidak banyak orang yang berkunjung. Tapi ketika melirik satu kali lagi, dua bola matanya berhenti pada satu presensi yang berjalan cepat ke arahnya.

"Heh! Budak leutik!"

Alana melotot ketika salah satu pekerja jadi mengikuti pria itu. Berdiri tepat di depannya lalu bersua tegas, "Kak, tolong, ya. Kalo mau ajak temen atau saudara jangan membuat keributan di sini. Ini perpustakaan bukan pasar." Lalu mendelik ke arah pria bongsor itu.

Screw you, bongsor.

Pria itu meringis sambil menggaruk tengkuk. "Hampura, Teh, saya ke sini gak mau bikin keributan, kok."

"Terus ngapain atuh teriak-teriak? Aa pikir ini teh pasar?"

"Iya, saya minta maaf. Tadi saya ditinggal sama si Eneng ini. Terus nyari-nyari gak ketemu. Taunya malah di sini."

Sial. Alibi apaan begitu?

Pekerja itu menatap Alana sebentar lalu beralih lagi pada si bongsor. "Betulan temen? Atau.. kabogoh, A?" Si wanita jadi terkekeh. "Saya teh udah hapal sama Kak Alana dari lama. Gak pernah bawa temen, eh tau-tau Aa ini muncul. Jadi agak mencurigakan, euy."

Dibilang begitu sang pria lantas menyela. "Eh, gak perlu dicurigain atuh, Teh. Saya juga kenal kok sama Alana. Memang janjian di sini. Iya 'kan, Alana?" Sorot mata yang memancarkan hangat itu membuat Alana tak mampu bersuara. Dan tahu-tahu, kepalanya mengangguk. Mengiyakan pernyataan tersebut dalam sepersekian sekon.

✓Semicolon | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang