Prolog

133 18 74
                                    

Selamat Membaca! 💕



- Prolog

: "Namanya bagus, Alana."

[]

Greesa.

Alana lebih suka dipanggil begitu. Tapi kata teman-teman, itu terasa asing. Seperti bukan dia. Bahkan ada yang bilang; Alana aja udah. Nama yang jarang tapi cantik. Kalo Greesa serasa manggil cewek katolik. Baik. Itu alasan paling konyol yang pernah dia dengar.

Apapun itu, Alana tetap ingin dipanggil Greesa. Dan dia benar-benar bersyukur Ibu menamainya begitu meski terkesan asal. Karena ketika ditanya sama Alana kenapa Ibu memilih kata Greesa, Ibu cuma menanggapi seperti; Ibu bingung mau kasih nama belakangmu apa, terus kepikiran aja sama Greesa. Jadilah Alana Greesa.

Greesa itu berarti seseorang yang penuh daya cipta, naluri, dan filosofis. Alana cukup kaget ketika membaca salah satu artikel yang menyematkan nama belakangnya di sana. Dan kalau diingat lagi, dia memang sangat menyukai hal-hal yang berbau filosofi. Alana jadi sempat berpikir kalau mungkin inilah yang disebut nama adalah doa.

Agak takjub sebenarnya. Padahal Alana pikir, itu cuma sebuah nama. Tapi mungkin doa Ibu memang lebih nyata daripada apapun.

Ibu
| Nak, udah pulang sekolah?
| Ibu tunggu di rumah ya

Alana terdiam menatap satu pesan masuk itu. Jarinya sama sekali tidak berniat untuk membalas. Ah, Alana benci pulang. Bukan, dia gak membenci pulang karena gak mau melihat Ibu. Alana sayang Ibu. Sangat. Tapi ada hal lain kenapa rumahnya selalu menjadi alasan untuk Alana pergi sejauh mungkin. Alana benci suasana rumahnya.

Terkadang Alana gak mengerti kenapa orang lain selalu menganggap keluarganya sempurna. Apakah seorang anak yang dibiarkan sakit karena terlalu sering mendengar pertengkaran hebat dalam rumah itu suatu kewajaran? Apakah untuk merasa sakit harus selalu punya luka di tangan? Kenapa tidak dengan luka yang ada di hatinya?

Alana tidak suka membawa perasaan-perasaan berat hanya untuk pulang. Alana gak menyukai ketika dia harus merasa berusaha hanya untuk kembali ke rumah. Karena hal semacam itu seharusnya tidak diperlukan. Dia cuma harus membawa diri dengan rasa senang dan tenang ketika harus melangkah pulang. Tapi sayangnya, rumah Alana Greesa itu tidak pernah membawa ketenangan.

Dulu, Alana Greesa gak pernah membenci pulang. Karena yang Alana tahu setiap pulang, Ibu selalu masak enak dan dia akan makan dengan lahap sampai kenyang. Tapi ketika beranjak remaja, semuanya berubah. Alana malah sering mendengar teriakan, pukulan di dinding, cemoohan, kata-kata kasar dan merendahkan, sampai Alana mengerti kalau situasi rumahnya tidak baik.

Bahkan mungkin, jauh sebelum dia menyadari, situasi rumahnya memang tidak pernah baik sedari dulu.

Tapi Alana benar-benar gak menyangka kalau hal yang dia dengar tiap hari itu malah berhasil membuat mentalnya hancur dan akhirnya membenci pulang. Karena Alana tahu kalau sebagian orang akan selalu menganggap persoalan rumahnya sepele. Seharusnya kamu gak perlu merasa berat karena bukan kamu sasaran utamanya, katanya. Dan Alana cuma akan tertawa sinis. Orang-orang sok tahu itu memang gak akan pernah bisa mengerti perasaannya.

Perasaan sakit yang terlalu rumit untuk dijelaskan. Perasaan sakit yang cuma bisa Alana telan sendiri dan dibiarkan semakin terluka.

Dan Alana lebih suka di sini. Salah satu cafe yang cukup dikenal di kalangan teman sekolahnya membuat Alana sering menghabiskan sisa waktu dari pulang sekolah meski untuk sekadar ngopi. Fun fact, Alana itu gak suka kopi. Itu minuman yang paling dihindarinya karena akan membuatnya merasa tidak butuh tidur. Tapi kini keadaannya seperti terbalik. Kurang tidur sudah jadi makanan sehari-hari Alana sejak dia tahu kalau rumahnya itu gak sesempurna apa kata orang.

✓Semicolon | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang