4;

63 11 73
                                    

Selamat Membaca! 💕



- Bab IV

: "Lo kenal sama Kak Gama?"

[]

Sekolah. Tempat yang juga seringkali membuat Alana ingin pergi sejauh mungkin. Karena isi di dalamnya cuma ada sesak. Tidak dilihat, tidak diperdulikan, dianggap hantu, dan lain sebagainya.

Tapi Alana Greesa gak pernah berusaha untuk mencari sosok teman supaya dia gak merasa kesepianㅡkarena menurutnya, lebih baik begini. Dan lagi, kesepian merupakan hal biasa buatnya. Tidak terlalu mengejutkan. Biasa saja. Malah enak bisa kemana-mana sendiri.

Terkecuali Okta. Sejujurnya, terkadang Alana bertanya-tanya kenapa anak itu selalu saja berlagak peduli dan ingin tahu soal dirinya. Padahal kehidupan Alana Greesa yang konstan dan gak pernah ada perubahan itu 'kan benar-benar tidak menarik. Suram dan gelap.

Apa yang mesti dibanggakan? Tentu nihil. Bahkan Alana sendiri tidak pernah merasa ada yang menarik. Apalagi dia lebih kepingin mati daripada hidup. Seolah hidup itu isinya hanya sampah busuk yang setiap hari malah semakin menumpuk. Menimbulkan penyakit. Menyerangnya tanpa ampun sampai Alana kewalahan sendiri.

Kalau memang sudah kewalahan seharusnya dia pergi saja, 'kan?

Alana juga maunya begitu. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini, ada sedikit banyak hal asing yang menelusup masuk. Seolah mengatakan kalau; tolong tetaplah hidup. Dan Alana tidak pernah merasa begini sebelumnya. Atau mungkin lebih tepatnya sebelum dia bertemu Gama. Ya, pertemuan aneh yang membuat sirkuit otaknya berpikir.

Pria itu.. sebenarnya siapa? Kenapa rasanya seperti gak asing?

Perlu diketahui, otak medioker Alana itu tidak bisa menyimpan atau mengingat banyak hal. Dan sejujurnya, dia menyukai itu. Tidak mudah ingat sesuatu. Tapi ketika tatapan Gama menembus pupil matanya, semua hal yang ada di kepala seolah mendadak berantakan.

Mencari sisa dari banyaknya memori yang Alana simpan di sana. Dia juga sama sekali gak mengerti kenapa harus begitu. Kenapa isi kepalanya seolah harus mencocokkan identitas Gama. Yang padahal belum tentu krusial dan bisa saja waktu itu dia memang salah lihat.

"Hai, Al! Udah ngerjain tugas matematika kemarin?" Cuma Okta yang masih mau bertanya ini itu padanya. Teman kelas yang lain sudah kepalang muak sama sikap dingin Alana. Tapi lagipula, lebih baik dijauhi orang saja daripada lelah terus memakai topeng tiap hari.

Alana mengangguk tanpa sedikitpun melirik. Seperti biasa, hari-hari di sekolah sangat membosankan. Tidak ada yang istimewa di sini. Alana menarik bangku lalu duduk. Mencoba tenang tanpa berpikir apa-apa itu ternyata lebih sulit daripada tugas matematika.

Okta mengambil duduk di bangku kosong samping Alana sembari menyengir, lalu menyodorkan satu susu kotak. "Sarapan pagi~"

Alana gak mengambil susu kotak itu atau memasukkannya ke dalam tas. Dia cuma melirik sebentar. "Hm, makasih."

"Al? Mau.. tanya boleh?"

Mendengar itu atensi Alana sepenuhnya beralih. "Tanya apa?"

Okta menjeda. Napas Alana tertahan dan entah kenapa keringat panik mulai muncul membasahi pelipis. Lebih tepatnya ketika Okta menambahkan kalimat lain yang berhasil membuat kerongkongan Alana terasa kering. Sial, kenapa rasanya seperti tertangkap basah?

"Lo kenal sama Kak Gama?"

Sebetulnya itu pertanyaan mudah. Mudah sekali. Alana cuma harus menjawab seperti; Kak Gama siapa? Gak kenal. Lalu bungkam total setelah itu. Tapi anehnya, detik ini dia malah seperti kehilangan ekor. Alana tidak tahu jawaban apa yang paling rasional untuk dikatakan.

Gak mengerti juga kenapa Okta bisa-bisanya bertanya begitu. Oh! Apa mungkin dia ada di cafe itu minggu lalu? Demi Tuhan, ini adalah alasan utama Alana Greesa tidak mau dikenal orang. Pasti akan jadi repot sendiri kalau ketahuan melakukan sesuatu di tempat umum.

Okta mengetuk-ngetuk jarinya di meja. "Kalo lo gak jawab.. berarti itu bener?" Kemudian merubah posisi duduknya. "Kok bisa kenal?"

"M-maksudnya?" Alana mencoba menelisik bola mata Okta.

Dan, ya, itu memang pertanyaan bodoh. Terlebih kata yang diucapkan juga ikut terbata. Rasanya Alana ingin lari saja kalau sudah begini. Dia benar-benar tidak tahu lagi harus merespon apa.

"Itu.." Okta menggantung kalimatnya. Membuat jantung Alana jadi bertalu. "Kalo gak kenal kenapa bisa satu meja di Manggala cafe minggu lalu?"

Damn. Habis sudah.

Kedua mata Alana sontak bergerak gelisah. Lidahnya benar-benar kelu sekarang. Payah sekali. Padahal ini cuma pertanyaan sepele dan seharusnya dijawab kebohongan saja tidak masalah, 'kan? Akhirnya daripada mengiyakan, Alana melempar satu pertanyaan menohok.

"Kenapa kepo banget sih sama urusan orang?"

Seperti dugaan, Okta Diagsara berhasil dibuat bungkam. Dia terdiam dengan mata yang nampak sedikit bergetar. Ada kilatan basah yang menyelimuti sebelum hilang bersama dua kedipan. "S-sori, gue gak bermaksud kepo sama urusan orang, kok. Malah gue seneng kalo memang lo bisa kenal dia." sambil sedikit tersenyum canggung.

Kenapa harus senang?

Alana mencoba menelisik lagi. Dan hasilnya dia sama sekali tidak menemukan kebohongan di sana. Kalimat Okta murni memberi reaksi bukan mencari celah untuk membela diri. Lalu dia menatap lurus. Menghela napas pelan sebelum kembali melanjutkan, "Gue seneng dia bisa keliatan baik sekarang. Karena lo mau tau ga, Al?"

Mendapat pertanyaan itu, Alana cuma mengangkat satu alis untuk membuat Okta mengerti agar meneruskan. Ya, Okta Diagsara sudah biasa dengan respon itu.

"Dia itu dulu sering banget ke rumah gue, Al. Lebih tepatnya ketemu dan ngobrol sama Kakak. Terus suka bawain es krim juga buat gue." Okta tertawa kecil. "Baik banget orangnya. Yaa.. tapi namanya orang baik pasti ada aja gak sih cobaannya? Dan ya sesuatu beneran terjadi sama dia. Mungkin lebih tepatnya lagi sama keluarga Manggala."

Sejujurnya, Alana gak suka diberi informasi tentang kesusahan orang. Kenapa? Karena dia gak tahu harus berekspresi seperti apa agar nampak sedikit empati. Tapi Okta cuma bercerita sampai situ. Tidak ada lanjutan lagi setelahnya. Membuat hati Alana sedikit tidak terima. Dia jadi penasaran soal sesuatu di keluarga Manggala.

Meski Alana tidak begitu yakin apakah rasa penasarannya bisa terjawab sebelum dia pergi. Tapi satu hal yang kini dia konklusikan adalah, Gama itu sebuah tanda tanya. Sebuah tanda tanya yang berhasil menarik sedikit atensinya untuk mencari tahu. Karena Alana yakin sekali ada yang janggal di balik tatapan dan senyuman itu.

Notes;

Bab ini kayaknya ngga ngefeel, ya? Hm, I know. Soalnya cuma mau ngasih sisi lain dari Alana yang sebenernya masih bisa kepo sama urusan orang, meskipun dikit. Dan yaa aku memang sengaja gantungin cerita Gama dari Okta biar kalian penasaran hehehe.

Juga mau drop visualisasi Okta Diagsara nih!

Juga mau drop visualisasi Okta Diagsara nih!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Lagi difoto diem-diem sama Abangnya wkwk)

Sekian! Salam dari Gama 💌

✓Semicolon | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang