Ayana's Dream: 01

51 18 3
                                    

Angin pagi menerpa wajah Ayana, menggerakkan beberapa helai rambut di depan wajahnya. Matanya yang cokelat menatap bayangannya di kaca jendela, menyimpan kesedihan yang tak kunjung pudar.

Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, namun tetap terasa hampa. Rasa kecewa dan marah pada hidupnya terus menghantui, seperti gelombang yang tak pernah reda.

Di dahinya, ada bekas luka merah, tak terlalu besar, tapi cukup mencolok. Setiap pagi, Ayana menyisir rambutnya dengan teliti, menata poninya sedemikian rupa agar luka itu tak terlihat.

Luka itu bukan hanya bekas fisik, luka itu membawa kenangan buruk yang tak bisa ia lupakan.

Saat ingatan tentang insiden itu kembali muncul, air mata Ayana mengalir. Kebencian dan rasa sakit terpendam di hatinya seperti duri tajam yang tak bisa dicabut.

"Ayana! Cepat turun dan makan!" Teriakan suara Ibu terdengar lantang dari arah ruang makan, memecah keheningan kamar.

Ayana tidak segera merespon. Masih berdiri di depan cermin, dia terus menata poninya dengan wajah yang datar, matanya kosong. Jam di dinding berdentang pelan, menunjukkan pukul 07.23 WITA.

Ayana menghela napas sekali lagi, ia menguatkan diri dan melangkah keluar dari kamar menuju ruang makan.

Di ruang makan, Ibunya tersenyum tipis saat melihat Ayana datang. "Pagi, Ayana," sapa Ibunya lembut, berusaha memulai pagi dengan nada ramah.

Ayana hanya melirik ibunya sekilas. "Pagi," gumamnya, langkahnya bergegas menuju pintu utama.

"Ayana, Ibu sudah membuatkan bekal untukmu. Tolong ambil," pinta Ibu, suaranya bergetar, mengandung nada harapan dan sedikit cemas.

Ayana berhenti sejenak. Ia tak menoleh, tetapi tangannya terulur, mengambil bekal yang disodorkan Ibunya. Tak ada sepatah kata terucap. Ia menyimpan bekal itu ke dalam tasnya dan melangkah keluar, menutup pintu tanpa menoleh lagi.

Ibu hanya bisa menatap kepergian Ayana yang semakin menjauh. Rasa sesak menguasai dadanya, dan air mata yang sudah lama ia tahan akhirnya jatuh juga. Hatinya penuh kebingungan dan penyesalan.

Ia merindukan tawa riang Ayana, putrinya yang dulu selalu ceria. Namun, sekarang ia hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, bagaimana caranya membuat Ayana kembali seperti dulu?

Apa yang bisa ia lakukan untuk menebus kesalahan yang tak terucapkan ini?

Di tengah kebisuan pagi itu, hanya ada perasaan sesal yang berulang kali mengetuk hatinya.

***

Kehidupan remaja di sekolah memang penuh dengan momen-momen tak terlupakan-tertawa, bergosip, dan sesekali merasa deg-degan karena cinta pertama.

Bagi Ayana, semua itu adalah bagian dari cerita hidupnya.

Ayana berdiri di depan kelas, matanya langsung tertuju pada Dinda yang tampak asyik bergurau dengan teman-temannya. Sekilas, suasana terlihat ceria, penuh canda dan tawa.

"Eh, Ayana, sini! Ada gosip hangat di sekolah!" seru Kirana yang duduk di sebelah Dinda, melambai memanggilnya.

Ayana mendekat dan duduk di samping Dinda yang langsung memeluknya erat. Dinda memang begitu; sentuhan adalah caranya menunjukkan kasih sayang, membuat suasana menjadi hangat.

Kirana segera mendekat, menurunkan suaranya. "Kalian tahu nggak? Di tempat isolasi ayahku, ada virus baru yang ditemukan," bisik Kirana pelan.

Dinda memiringkan kepala, tertarik tapi masih ragu. "Virus baru? Memangnya seberapa parah?"

"Katanya menyebar lewat udara dan bisa menginfeksi dalam dua jam," jawab Kirana, matanya bergerak gelisah.

Ayana mengernyit. "Serius, Kirana? Kok seperti cerita di film horor."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝓐𝔂𝓪𝓷𝓪'𝓼 𝓓𝓻𝓮𝓪𝓶Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang