Suara detik jam dinding menemaniku, kala rasa canggung tiba-tiba menyelimutiku. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mita memintaku datang ke rumahnya dan mengenalkanku pada orang yang kini tengah duduk di hadapanku sekarang.
Keheningan menyelimutiku dan sosok laki-laki yang sedari tadi ikut diam membisu. Aku yang tak tahu harus apa dan dia yang mungkin bingung harus berkata apa. Karena memang semua terlalu tiba-tiba.
Bahkan, kini dua manusia pemilik rumah pamit membeli sesuatu di minimarket dan meninggalkan kita berdua. Itulah sebabnya, hanya aku dan dia yang kini berdua di ruang tamu berukuran minimalis ini.
Ehem
Hingga, deheman dari laki-laki itu membuat aku tak sengaja menatap bola matanya yang terlihat sayu. Entah mengapa, aku merasa ia habis menangis tapi entah kapan. Akan tetapi, senyumnya begitu mengembang. Seolah mengisyaratkan, jika dirinya baik-baik saja.
"Hai, nama kamu siapa?" tanya laki-laki berumur 29 tahun yang kini mengulurkan tangannya kepadaku. Aku membalasnya dengan menyatukan kedua tanganku. Mengisyaratkan, kita bukanlah muhrim yang harus saling bersentuhan.
Laki-laki yang memahami itu, kini menurunkan tangannya dan balas menyatukan tangannya seperti yang kini aku lakukan.
"Nama saya Sahara, Mas. Biasa dipanggil Ara." Aku menjawab pertanyaan dari laki-laki yang kini terlihat terkejut dan menampilkan senyum manisnya.
"Nama kita hampir sama, ya. Ara dan Ari," kekeh laki-laki yang kini lagi-lagi menampilkan senyum yang begitu indah.
"Ah, begitu, ya." Aku ikut tersenyum, kala dia mengatakan hal itu. Kemudian, laki-laki mengangguk dan melanjutkan ucapannya.
"Nama lengkapku, Hervianto Ari Perkasa, biasa dipanggil Ari. Kalau nama lengkap kamu siapa, Dek?"
"Sahara Amalita Deviana." ujarku yang mendapat anggukan dari sang empunya.
"Ah begitu. Ngomong-ngomong, sekarang sibuk apa?" Ari mencoba mencairkan suasana, sedangkan aku mencoba mengikuti arah pembicaraan laki-laki yang dikenalkan temanku Mita.
"Saya jadi guru TK. Anda sendiri, bagaimana?" Aku mencoba membalas setiap percakapan kita. Sedangkan, laki-laki bernama Ari itu tiba-tiba menatapku intens. Kemudian tersenyum begitu manis.
"Wah, Bu Guru ternyata. Kalau tugasku menjaga keamanan negara, " ucapnya untuk membalas pertanyaanku. Sedangkan aku, mengangguk mengiyakan. Karena, sejujurnya aku sudah tahu semua informasi tentang laki-laki di hadapanku ini dari Mita, lewat sambungan telepon kemarin. Hanya saja, sekarang aku coba mengimbangi pertanyaan yang ia utarakan agar tidak terlihat kaku.
"Udah lama kenal sama, Mita?" Lagi-lagi Ari bertanya. Lalu, aku mengangguk sebagai jawabannya.
"Iya, saya kenal dia dari SMA sampai kuliah," ujarku sembari tersenyum tipis untuk menanggapinya.
"Eh, beneran? Aku dulu kakak kelasnya, loh." Ari berkata dengan begitu bersemangat. Sedangkan, aku menunjukkan senyuman untuk menghormatinya bercerita.
"Oh, iya. Saya sudah tahu ceritanya dari Mita. Senang berkenalan dengan anda." Aku menanggapinya dengan ramah, sedangkan dia memberikan tanda jempol sebagai tanda ia juga senang atas perkenalan kita.
"Aku juga senang berkenalan dengan kamu, adik kelasku." Ari berbicara dengan santai, membuat aku yang awalnya canggung kini tak sengaja tertawa sedikit keras, karena dia menganggap aku adik kelasnya.
"Eh maaf, keceplosan saya," ucapku merutuki tawa yang tiba-tiba muncul karena lelucon laki-laki itu. Sedangkan, Ari menggeleng dan tertawa.
"Hahahaha, gak apa-apa. Aku malah seneng kamu gak canggung. Ohya, ngomongnya gak usah pakai 'Saya' dong, kek sama siapa aja, hehe." Laki-laki itu kembali terkekeh dan tanpa sadar lagi-lagi membuat aku tersenyum.
Jika kalian bertanya, kenapa aku tidak mengenal dia waktu sekolah. Sebab, dulu aku tidak satu sekolah saat SMP dengan Mita. Sedangkan, laki-laki itu satu sekolah dengan Mita, hanya saja berbeda 4 tahun darinya. Ketika Mita SMP, ia sudah SMK kelas tiga di yayasan yang sama. Itulah sebabnya, Mita lebih mengenal Ari daripada aku yang notabennya baru sekolah di sini waktu SMA.
Perbincangan kita semakin akrab, hingga setelahnya terhenti, kala melihat Mita dan suaminya sudah berada di depan pintu dengan barang belanjaannya. Ari yang berada tidak jauh dari pintu rumah tamu langsung berdiri, betniat membantu. Akan tetapi, urung karena suara telepon yang tiba-tiba berbunyi dari ponsel pintarnya.
"Eh, sebentar. Aku izin angkat telepon dulu ya," ujar Ari yang izin mengangkat telepon pada kita semua yang berada di ruang tamu rumah Mita. Sedangkan, Mita dan suaminya mengiyakan saja. Hingga, pandangannya tertuju padaku yang kini berdiri dari sofa dan berniat membantu ia membawakan barang dari minimarket.
"Sini, Ta. Aku bantuin bawa," ujarku yang ditolak sang empunya.
"Eh, gak usah, Ra. Kamu duduk aja, masa tamu disuruh bawa-bawa barang belanja."
"Gak apa-apa, kamu kaya sama siapa aja. Sini aku bantu bawa barang bawaannya ke dalam," kataku yang bersiap meraih barang belanjaan Mita. Akan tetapi, tiba-tiba Andika melarang dan menyuruhku duduk dengan tenang saja.
"Gak usah Sahara, biar aku aja. Tamu gak boleh bantu-bantu," ujarnya mempersilahkanku duduk bersama Mita. Sedangkan, suami dari Mita itu pamit kedalam untuk menaruh barang belanjaan.
"Sini," Mita mengajakku duduk kembali ke sofa. Aku yang berdiri disampingnya mengiyakan saja dan mulai duduk di sofa bersama mita.
Lalu, tiba-tiba Mita senyum-senyum sendiri yang membuat aku semakin bingung.
"Ngapain senyum-senyum?" tanyaku heran. Sedangkan, Mita kini terkekeh dan memberikan rekaman cctv yang sedari tadi ternyata dipantau teman laknatku ini.
"Sorry, aku tadi pantau kamu di sini." Mita melebarkan senyum dan meminta maaf pada diriku yang mulai merasa malu ini.
"Ih, kok kamu lihatin ini. Gak sopan banget." Aku merajuk karena malu. Sungguh, memang Mita ini jahilnya minta ampun.
"Maaf, sumpah aku gak ada niat jelek Ra. Jujur, aku seneng banget kalau kamu mulai nyaman sama Kak Ari. Dia baik kok, Ra. Aku mengenal dia dari lama. Ku doakan ya, semoga kalian berjodoh." Mita tiba-tiba memeluk diriku yang masih dibuat terpaku. Karena, sejujurnya aku juga belum yakin dengan apa yang aku lakukan sekarang.
***
Di taman depan rumah itu, seorang dengan perawakan gagah dan wajah yang tampan itu, tengah menghela napas saat baru selesai menerima telepon. Pangkal hidungnya ia pijat, karena terasa sedikit pusing dengan kabar yang baru saja ia dapat.Namun, ia mencoba mengacuhkan dan kembali menuju ruangan yang sudah menunggunya. Ia masih tidak bisa berpikir jernih. Ia berjalan menuju pintu rumah yang kini menampilkan manusia yang saling tersenyum itu. Akan tetapi, netranya kembali terfokus menatap wanita yang tidak lain adalah aku.
Tatapan itu begitu intens, sejujurnya aku gugup dan mencoba memandang ke arah lain agar tidak terlalu kentara. Aku sungguh bingung, sebenarnya kenapa hatiku jadi seperti ini sekarang? Entah mengapa, saat ku tatap bola matanya yang sendu dan misterius itu, membuat aku, ingin mengenalnya lebih jauh. Nuraniku mengatakan, jika tidak ada salahnya membuka lembaran baru.
Seperti yang dikatakan Mita padaku. "Tidak semua laki-laki itu sama. Setiap individu memiliki karakter yang berbeda, pun perlakuan yang tidak sama. Tidak ada salahnya memulai lagi. Kita tidak tahu, jika kita tidak terjun dan menjalani kisah itu."
Disitu aku mulai berpikir, apakah ini saatnya aku mengubur masa lalu. Kemudian, memulai kisah baru dan saling melengkapi ketidaksempurnaan yang kita miliki itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Fatamorgana
RomanceSeandainya aku bukan Sahara, lalu engkau bukan fatamorgana. Mungkin, kisah ini tak benar-benar terasa nyata. Tentang kita yang dipertemukan dengan asa yang sama. Sayangnya, hati kita sama-sama masih basah oleh perihnya luka. Sebuah rasa yang salah...