Di malam yang sunyi ini, aku masih belum bisa tidur. Netraku menerawang langit-langit kamar yang berada di atas tempat tidurku. Dalam pikiranku, haruskah aku melanjutkan perkenalan itu? Apalagi, belajar mengenal seseorang dengan latar belakang yang tak pernah kuduga sebelum ini.
Hervianto Ari Perkasa. Seorang abdi negara yang baru 5 bulan cerai dari istrinya. Bukan hanya itu, dia juga punya anak balita berusia kurang dari satu tahun. Haruskah aku masuk dalam kehidupannya yang seperti itu? Kehidupan yang masih abu-abu dalam anganku.
"Gak tahu ah, pusing," gerutuku. Kemudian ku pejamkan mataku, berharap segera masuk dalam alam mimpi dan tidak perduli dengan pikiran yang kini membebani.
Namun, belum satu menit aku memejamkan mata. Kini, suara ponsel di samping nakasku berbunyi. Aku membuka mata dan mengambil ponsel di sebelahku. Saat aku cek, ternyata nomor baru. Aku mengernyit dan mulai mendudukkan tubuhku. Kemudian mengangkat nomor yang belum ada namanya itu.
"Assalamualaikum, Bu Guru," sapa seseorang dari balik telepon. Aku heran, berpikir siapa gerangan yang bisa tahu profesiku. Aku mencoba tenang dan menjawab salam dari orang tersebut.
"Wa'alaikumsalam, maaf ini siapa, ya?" tanyaku sopan, lalu dijawab sopan juga oleh sang empunya.
"Aku, Ari. Kakak kelas Mita yang tadi sudah bertemu kamu di rumahnya." Sontak jawaban itu membuat aku mengangguk mengerti. Ternyata dia orang yang membuat aku tak bisa tidur malam ini. Seseorang yang dikenalkan Mita tanpa aba-aba dan mulai masuk kedalam kehidupanku.
"Ah, iya Mas." Aku menjawab seadanya. Karena, jujur aku bingung harus berkata apa.
"Eh, iya Dek. Maaf ya, aku lancang tadi minta nomor kamu ke Mita," ujarnya yang membuat aku menggelengkan kepala. Sesungguhnya, aku sudah tahu. Karena sebelum ia menelponku, Mita sudah mewanti-wanti agar aku membalas pesan yang dikirimkan laki-laki bernama Ari itu. Itulah yang membuat aku daritadi bingung dan tidak bisa tidur. Akan tetapi, saat ia menelponku begini. Entah mengapa, aku tiba-tiba tidak merasa keberatan seperti sebelumnya.
"Tidak apa-apa Mas, santai saja." Pada akhirnya, aku mengatakan hal yang membuat seseorang di seberang sana merasa lega.
"Terima kasih ya, Dek." Laki-laki itu mengatakan dengan tulus. Terdengar dari nada lembut yang ia ucapkan di telepon malam ini.
"Sama-sama, Mas." Aku membalasnya dengan menganggukkan kepala.
"Tumben belum tidur, Dek? Sudah malam loh ini," katanya yang membuat aku menoleh dan mengecek jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.
"Ah, iya sebentar lagi aku tidur-" Ada jeda dalam ucapanku. Lalu, entah keberanian darimana, kini aku menanyakan hal seperti ini.
"Kamu sendiri, kenapa tidak tidur?" Aku reflek menutup mulutku, karena malu dan terlalu kepo dengan urusan orang yang baru aku kenal itu. Akan tetapi, respon yang ia berikan membuat aku perlahan terpaku dengan jawabannya itu.
"Owh, aku masih di 'Kodim', Dik. Ada Rapat bersama anggota yang lain." Mendengar hal itu, aku menjadi tidak enak sendiri. Ternyata dia sesibuk itu.
"Eh, kok ini malah telponan sama aku? Emang gak papa?" tanyaku khawatir. Jujur, aku takut mengganggunya. Akan tetapi, responnya biasa saja. Malah Mas Ari tersenyum di sana.
"Hehe, enggak kok, Dek. Ini masih istirahat, jadi bisa sambil santai," jawabnya yang membuat aku mengangguk dan mengerti. Lalu, ucapan selanjutnya membuat aku terdiam membisu.
"Dek, apa kamu sudah tahu kekuranganku?" Laki-laki itu mempertanyakan hal itu tiba-tiba. Membuat tenggorokanku kini tercekat karena tidak tahu harus mengatakan apa. Sebab, aku juga masih bingung dengan jalan yang aku pilih saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Fatamorgana
Roman d'amourSeandainya aku bukan Sahara, lalu engkau bukan fatamorgana. Mungkin, kisah ini tak benar-benar terasa nyata. Tentang kita yang dipertemukan dengan asa yang sama. Sayangnya, hati kita sama-sama masih basah oleh perihnya luka. Sebuah rasa yang salah...