Bab 4. Pertanyaan yang Sulit

4 1 0
                                    

Kaca berukuran minimalis itu, menjadi saksi bisu senyum manis yang terpancar dari bibirku. Aku menatap pantulan bayanganku yang tengah memakai hijab berwarna merah muda pemberian laki-laki yang dikenalkan temanku itu.

Entah mengapa, sejak dia berbuat manis padaku. Hari-hariku berubah menjadi lebih berwarna, setelah dulunya kelabu.

"Bagus sekali, aku menyukai hijab ini," ujarku, kala kupegang dengan lembut pemberian laki-laki yang kini masih bertugas itu. Jika melihat kebelakang, aku teringat kata-kata manis yang ia ucapkan setelah memberikan kado terindah itu.

Dia meneleponku, kemudian meminta maaf karena tidak memberitahuku jika ia meminta alamat sekolah tempatku mengajar dari Mita. Waktu aku tanya, kenapa dia mengirimkan hal seperti ini untukku. Ia hanya menjawab, jika ia hanya ingin saja memberikan hadiah sebagai perkenalan diantara kita berdua. Mendengar hal itu, aku mengiyakan saja.

Ditengah kegembiraan itu, tiba-tiba Ibu datang dan menghampiriku ke kamar dengan wajah yang begitu senang.

"Wah, anak ibu kenapa nih senyum-senyum sendiri?" tanyanya dengan nada menggodaku. Aku yang melihat segera menggeleng untuk beralasan yang lain. Karena sesungguhnya, aku malu dengan pertanyaan tiba-tiba itu.

"Eh, enggak kok Bu. Aku cuma lagi bercermin membenarkan hijab saja," Aku menjawab dengan raut wajah menahan malu. Entah mengapa, ditanya seperti ini membuatku gugup tidak keruan. Sehingga, kini kualihkan dengan mengambil lipstik dan mulai megoleskannya di bibir.

Namun, Ibuku sudah mengetahui kegugupan yang terpancar dariku. Kemudian, beliau tiba-tiba duduk di kasur tempat tidurku dan mengucapkan kalimat yang membuat aku menghentikan aktivitasku mengoles lipstik.

"Ibu tahu, kali ini kamu sedang jatuh cinta," Beliau menjeda, kemudian melanjutkan."Kamu boleh saja jatuh cinta, Nak. Akan tetapi, ingat satu pesan Ibu. Kamu, jangan terlalu jatuh agar hatimu nantinya tidak rapuh. Sebab, di umurmu yang sudah 25 tahun ini, jika lagi-lagi merasakan kecewa, maka sudah susah menyembuhkannya," ucapnya sembari tersenyum tulus di sana. Kemudian bangkit dan berjalan menuju arah diriku yang masih mencerna ucapan beliau untukku.

"Cuma itu, Nak nasihat Ibu. Siapapun pilihanmu, asal kamu bahagia Ibu setuju." Ibu mengelus kepalaku, kemudian pergi meninggalkan kamar yang kini tinggal diriku.

Aku menghela napas, kemudian menyentuh dadaku. Memeriksa degub yang kini sudah memilih satu nama yang masih abu-abu. Akan tetapi, begitu candu karena rayu.

"Sebenarnya, sudah benarkah pilihanku?" Lagi-lagi aku bertanya pada diriku. Sesungguhnya, aku masih belum yakin. Akan tetapi, satu sisi aku tidak ingin melewati kesempatan yang selama ini kudoakan dalam sujudku.

Di tengah lamunanku, tiba-tiba suara dering ponsel berbunyi. Di sana terlihat nama seseorang yang hari ini akan kutemui.

"Hallo, assalamualaikum Ra. Udah siap belum?" ujarnya yang kuberikan tanggapan anggukan kepala.

"Wa'alaikumsalam, iya aku sudah siap Thania. Kamu sudah sampai mana?" tanyaku yang dijawab cepat oleng sang empunya.

"Aku sudah di depan, Ra. Kamu keluar gih!" suruh Thania, salah satu teman baikku yang kini akan mengajakku healing mumpung hari Minggu.

Aku menjawab 'iya' dan segera keluar kamar untuk menemui temanku yang sudah terlihat memarkirkan motornya di depan rumah.

***
Seorang laki-laki, tengah mempersiapkan diri untuk latihan menembak. Di tangannya, kini terlihat sebuah pistol yang sudah diisi amunisi yang digunakan untuk membidik titik tujuan. Netranya begitu fokus, hingga setelahnya beberapa tembakan berhasil ia bidik tepat sasaran.

Dor!
Dor!
Dor!

Dua dari tiga tembakan berhasil tepat sasaran. Ari, seorang laki-laki yang tadi kita bicarakan memang seorang sniper terbaik di tingkatannya. Laki-laki dengan tinggi sekitar 176 cm itu, kini tersenyum bangga atas pencapaiannya yang jarang gagal itu.

"Widih, Ari tak pernah gagal. Selalu tepat sasaran dan keren!" puji salah satu teman sejawatnya yang kini menepuk pundak laki-laki yang kini menaruh pistol yang tadi ia gunakan tadi.

"Alhamdulillah, belakangan ini sering latihan. Jadi terasa mudah," kekehnya yang kini sembari meminum air dari botol untuk melepaskan dahaganya.

Namun, ditengah tegukan yang ia minum. Tiba-tiba, teman sejawatnya ini mempertanyakan perihal sensitif yang membuat sang empu menghentikan aktivitasnya.

"Ri, Lo gak kangen sama, Akira?" Sontak pernyataan itu membuat dahaga yang tadi ia rasakan tiba-tiba sirna. Kemudian, ia taruh kembali botol minum dan memandang Fino, sang teman dengan tatapan tidak terbaca.

Fino yang melihat suasana jadi kaku, kini menyudahi pertanyaan bodoh yang tidak seharusnya ia katakan untuk saat ini.

"Eh, sorry Ri. Abaikan aja apa yang baru saja gue ucapin," ujar Fino yang kini berusaha mengembalikan suasana tadi. Akan tetapi, semua terlambat. Sebab, kini Ari mulai menidurkan badannya di rerumputan dan memandang langit pagi yang terlihat terang. Kemudian, laki-laki itu memejamkan netranya perlahan tanpa sepatah katapun. Kemudian, hal ini membuat Fino meras bersalah dan merutuki dirinya sendiri.

"Ari, gue gak sengaja. Gak usah dipikirin yah!" mohon Fino yang malah dihadiahi tatapan sendu, dari Ari yang kini mulai mendudukkan dirinya di samping Fino.

Hening...

Kemudian, sebuah kalimat mulai keluar dari mulut seorang Ari kepada Fino. Laki-laki dengan perawakan gagah, tinggi 174 cm dan tak kalah tampan dari seorang Ari itu, mulai menyimak kata demi kata yang dikeluarkan manusia di sampingnya ini.

"Gue, sebenarnya kangen banget sama Akira dan ingin bertemu dengannya. Akan tetapi, gue muak dan gak ingin lihat wajah ibunya untuk saat ini," ujar Ari yang kini mencoba terlihat kuat. Meskipun, sebenarnya rapuh di dalam.

Fino yang tak ingin menambah beban temannya ini, kini mencoba mencari cara agar temannya bisa tersenyum lagi. Kemudian, ia menemukan ide bagus yang kini ia gunakan untuk mengalihkan perhatian Ari dari bayang-bayang kesedihan.

"Eh, hari ini jadwal kita free Sampai sore hari, kan? Cari angin, Yuk!" Fino berdiri dengan wajah sumringah, sementara Ari, laki-laki itu sedikit menimang ajakan sang teman. Akan tetapi, setelahnya ia mengangguk dan menyetujui untuk me-refresh otaknya yang sedang kacau sekarang.

***
Aku merentangkan tanganku saat melihat pemandangan yang indah di pegunungan. Ya, hari ini temanku mengajakku refreshing di sebuah cafe sejuk yang kini kita singgahi.

"Ceilah, bahagia banget kayaknya," ucap Thania yang terlihat tersenyum dan meminum jus jeruknya. Sedangkan aku, hanya tersenyum dan ikut mendukkan diri di kursi samping tempat Thania berada.

"Entahlah, Tha. Belakangan ini, ada seseorang yang membuat aku mulai membuka hati dari luka lamaz" jawabku sembari mengambil roti bakar yang berada di meja yang kami tempati sekarang.

"Ciye, udah ada yang disukain ya sekarang? Anak mana, tuh?" Thania mencubit gemas pipiku. Hal ini, membuat aku kembali tersipu malu.

"Ini ngapain coba cubit-cubit?" Aku berusaha menurunkan tangannya dan mencoba menghadap arah lain. Sebab, ada malu yang tidak bisa kutahan.

"Eh, orang mana? Kerja di mana?" Pertanyaan itu, membuat aku mengalihkan tatapanku ke arahnya. Wajahnya terlihat begitu antusias dengan cerita yang akan aku sampaikan.

"Orang deket sini aja kok, Tha. Dikenalin sama teman lama," aku menjeda kalimat. Kemudian, melanjutkan lagi. "Emmm... pekerjaannya menjadi seorang Tentara." Sontak jawaban terakhirku membuat raut wajah Thania sedikit berubah.

Aku yang melihatnya ikut terkejut. Akan tetapi, setelahnya Thania menghela napas dan menatap mataku dengan pandangan yang sulit terbaca.

"Kenapa...Tha?" tanyaku mencoba memberanikan diri. Sedangkan, Thania kini menaruh jus jeruk yang tadi ia pegang. Kemudian, beralih meraih tanganku dan mengucapkan kalimat yang membuat aku diam seribu bahasa.

"Kamu..., beneran yakin dengan dia?"



Pangeran Fatamorgana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang