Bab 1. Semesta dan Jalannya

2 1 0
                                    

Napasku begitu memburu, kala kulihat seseorang di belakangku masih berlari mengejar diriku. Degub jantungku seakan mau berhenti, kala tangan kekar itu berhasil menangkap pergelangan tanganku dengan begitu brutal.

"Lepaskan!" ujarku lantang, seraya mencoba melepaskan tangan dari genggaman laki-laki yang kini tertawa remeh di hadapanku.

"Mau kemana sih? Dasar cewek matre!" Jelasnya yang kini langsung menarik erat tubuhku, untuk mendekat ke arah laki-laki itu.

Plak!

Aku menamparnya begitu keras, karena apa yang dilakukannya sudah diluar batas. Dengan air mata yang membanjiri pipiku, aku benar-benar sakit hati dengan perkataan laki-laki ini. Karena, sesungguhnya aku tidak pernah menjadi 'matre' seperti yang diucapkannya.

Lalu, demi menghindari sakit hati yang terlalu dalam, kini aku memilih untuk pergi dari orang-orang yang membuat mentalku semakin sakit karena orang-orang toxic.

Namun, baru saja aku berbalik badan. Kini, tangannya malah menarikku semakin kasar. Setelahnya, ia melakukan hal yang membuat aku begitu terkejut tidak keruan.

"Plak!"

"Aaaaaakhh...!" Aku terkejut dan langsung terbangun dari mimpi buruk itu.

Dadaku begitu sesak dan keringat di dahiku mulai bercucuran. Lalu, dengan perasaan campur aduk, kini kupejamkan netraku untuk menahan segala rasa sakit. Kemudian, kutatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Setelahnya, aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Aku berharap, dengan cara ini bisa menjadi solusi untuk menenangkan badanku yang kini terasa bergetar.

Sungguh, jika kalian bertanya apakah aku lelah dengan semua ini? Maka, jawabannya adalah sangat lelah dan aku tidak bisa mendeskripsikannya. Aku bahkan sampai tidak percaya diri, karena peristiwa traumatis yang selalu aku alami perihal punya hubungan dengan makhluk yang bernama laki-laki.

Dalam hati, sejujurnya aku ingin lepas dari belenggu yang selalu menghantui. Akan tetapi, saat aku kembali membuka dan menyembuhkan hati. Lagi-lagi, hatiku dipatahkan berkali-kali.

Kini, hal yang bisa aku lakukan adalah berserah kepada Yang Maha Kuasa. Sepahit apapun jalannya, aku masih percaya. Bahwa, pasti ada hari baik yang entah kapan akan menjadi kenyataan nantinya.

***
Di malam yang sama, di suatu tempat yang berbeda. Terlihat, sosok laki-laki tengah menatap layar ponsel dengan pandangan kosong.

Laki-laki itu diam seribu bahasa, saat jari yang menggeser layar itu berhenti pada potret kebersamaan dua sejoli yang tengah menatap kamera dengan senyuman yang begitu manis.

Napasnya ia hembuskan panjang dan  dadanya kini mulai terasa sesak. Entah apa yang ia pikirkan. Akan tetapi yang jelas hatinya kali ini benar-benar terasa kembali perih.

Kemudian, ia menaruh ponsel itu di kasur yang tengah ia tempati. Lalu, ia mencengkeram surai hitamnya dan memperlihatkan jidatnya yang berwarna sawo matang.

"Kenapa...harus seperti ini?" gumamnya sembari menggigit bibirnya yang terasa bergetar. Hingga, setelahnya isakan kecil tak lagi mampu ia tahan.

Kini, ia meletakkan sementara kegagahan profesi yang ia jalani. Sebab, kini rasa sakit itu mulai menjalar jauh di hati. Biarkanlah, malam ini ia menangis untuk apa yang sudah terjadi. Karena, tak ada yang paham rasanya sakit, selain diri Allah dan sendiri.

***
Sinar mentari yang begitu terang, membangunkan seorang wanita yang kini tengah mengucek matanya yang silau. Netranya menatap laki-laki di sampingnya yang masih terpejam menikmati dunia mimpi.

Seulas senyum terlihat dari bibir wanita berusia 25 tahun itu. Entah sejak kapan, dirinya sekarang sangat mencintai laki-laki yang dulu ia tolak berkali-kali, kini malah jadi suami.

Namun, senyumnya perlahan memudar saat tiba-tiba laki-laki di hadapannya ini membuka netranya. Kemudian, tanpa aba-aba mencubit pipi sang wanita yang kini dibuat salah tingkah.

"Hayo, lihatin apa dari tadi?" kekeh pria yang sebenarnya sudah bangun dari tadi.

"Ih, jahil banget! Udah bangun gak bilang-bilang," kesal wanita yang kini menampilkan raut wajah pura-pura merajuk.

"Udah gak usah cemberut, nanti makin cantik kamunya." Sontak ucapan sang suami, membuat pipi wanita itu merah merona.

"Ah udah-udah! Ngomong sama kamu makin baper aku." Wanita itu tiba-tiba bangun dari tempat tidur dan mulai pergi menuju dapur.  Sedangkan, sang suami terkejut dan kini ikut bangkit mengikuti sang istri.

"Sayang, kamu marah, ya? Aku minta maaf, ya."  Mendengar hal itu, rasanya wanita itu ingin tertawa. Padahal, sebenarnya ia tidak marah, hanya saja gugup pada suaminya.

"Enggak, lah. Aku gak se-kekanakan itu," ujar wanita bernama lengkap Sasmita Anggraeni yang biasa dipanggil Mita itu, sembari memotong wortel.

"Alhamdulillah, terima kasih sayangku." Laki-laki itu mengucapkan sembari mengecup singkat pipi istrinya. Hal ini, membuat Mita makin malu dengan aksi suami romantisnya, Andhika Devangga yang biasa dipanggil Andhika.

"Ih, udah sono deh. Ngerusuh mulu, kamu tuh!" kesal Mita yang kini kembali melanjutkan aktifitasnya.

Sebenarnya, Mita itu bukannya tidak suka dogombalin. Hanya saja, tingkat gombal dari suaminya ini sudah parah. Sehingga, ia menghalaunya dengan marah-marah. Sungguh, pasangan yang saling melengkapi.

"Marah-marah mulu, istriku." Andhika semakin menggila, saat laki-laki berusia 25 tahun itu malah memeluk manja Mita dari belakang. Sementara, Mita bersiap melayangkan omelannya yang sudah berada di ubun-ubun.

"Mas, kamu tuh-" belum usai Mita berkata, kini tiba-tiba ponsel Mita yang berada di atas meja makan berdering. Hal ini, membuat Andhika melepaskan pelukannya.

"Siapa?" tanya Andika yang dijawab gelengan kepala.

"Bentar, aku cek dulu." Mita mulai berjalan mengambil ponsel dan mulai melihat siapa yang menelfonnya.

"Nomor baru, Mas. Diangkat, gak?" Izin Mita pada suaminya. Sementara, Andhika mengiyakan saja. Ia berpikir, siapa tahu itu penting.

"Iya angkat aja, siapa tahu penting." Andhika mengizinkan, kemudian berjalan menuju tempat gelas untuk mengambil minum. Sementara, Mita mulai mengangkatnya.

"Halo?" Salamnya kala menyapa seseorang di balik telepon yang menghubunginya.

"Halo, apa kabar, Mita?" tanya seseorang diseberang sana yang membuat dahi Mita mengkerut karena bingung.

"Kabar baik. Kamu, siapa? Kok kenal sama, saya?" Heran Mita yang dijawab kekehan dari sang empunya. Sementara, sang suami yang daritadi menyimak mulai menanyakan siapa nomor yang menghubungi istrinya. Mita yang paham, segera memberikan kode pada sang suami untuk sabar dulu. Karena dia juga belum mendapat jawaban dari orang yang kini mulai menjawab.

"Masa gak kenal aku? Aku Mas Ari, kakak kelasmu dulu." Mendapat jawaban itu, kini raut wajah Mita berubah bahagia. Tak lupa memberi tahu suaminya yang daritadi kepo.

Setelahnya, mereka berbicara panjang lebar dengan cara di loud speaker agar tidak menjadi fitnah. Karena bagaimanapun, Mita sudah menikah.

Sementara, sang suami yang sudah tahu siapa yang menelepon istrinya, kini melanjutkan pekerjaan istrinya memotong wortel. Ia sama sekali tidak cemburu, karena ia mengetahui bahwa laki-laki itu kakak kelas yang juga ia kenal dulu. Sebab, ia satu sekolahan dengan Mita waktu SMP-SMA dulu.

Setelah berbicara panjang lebar, kini Andika dan Mita saling tatap dengan perkataan laki-laki dari balik telepon itu. Sebab yang dikatakannya, membuat mereka mengingat satu nama yang paling cocok untuk seorang Hervianto Ari Perkasa.

Lantas, siapakah sosok yang dimaksud mereka berdua? Mengapa mereka begitu yakin, jika yang bicarakan cocok sebelum semesta mempertemukan dua insan manusia?

Pangeran Fatamorgana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang