Prolog

12.4K 724 2
                                    

Seorang Perempuan tengah menunggu Adiknya pulang dengan perasaan gelisah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seorang Perempuan tengah menunggu Adiknya pulang dengan perasaan gelisah. Malam semakin larut sementara hujan petir malah semakin deras.

Ponsel Adiknya sama sekali tak bisa dihubungi, hal itu membuatnya nekat untuk menjemputnya langsung ke sekolah.

Semenjak duduk di bangku SMA, Dira memang sering terlambat pulang ke rumah. Gadis itu juga jadi pendiam. Perubahan sifat drastis Dira berhasil mengusik pikirannya. Mengambil kesimpulan bahwa sesuatu telah terjadi pada Adiknya.

Asumsinya bukan tanpa alasan. Tiap mencuci seragam Dira, ia sering menemukan noda tepung dan bau amis telur di sana. Tak jarang, ia juga mendapati luka lebam pada tubuh Dira.

"Maafin gue.. " Suara Gadis merintih, pada sebuah gang gelap yang ia lalui menuju Sekolah Dira. Lokasinya dekat.

"Nggak ada, malam ini lo bakal mati!"

Tercengang, Perempuan itu menghentikan langkahnya dan mendekat ke arah gang gelap di sana.

Meneguk ludah susah payah. Tubuhnya yang sudah dingin bertambah kian dingin mendengar penuturan barusan. Ia takut, tapi digelayuti rasa penasaran.

"Gue mohon.. lepasin gue. Gue-argh!"

"Baru nyesel lo? Kemarin-kemarin ke mana aja?"

Perempuan itu mengernyit setelah mendengar suara yang begitu familiar ditelinganya. Pandangannya gelap tak bisa melihat dengan pasti.

"Please, lepasin gue...."

"Not."

Jleb!

"Akh!"

"APA-" pekiknya tertahan langsung membekap mulutnya sendiri. Sesaat setelah cahaya kilat melintas, Perempuan itu mendapati pemandangan tak mengenakkan di depan matanya.

Di gang gelap itu, sekilas dirinya melihat ada dua Gadis berseragam SMA tengah berada di sana. Satunya berbaring lemah dengan darah mengalir deras dari tubuhnya. Sedangkan yang lain berada di atasnya sambil menancapkan pisau tepat di jantung.

Menolak untuk percaya. Tetapi bau anyir tercium menyengat memenuhi indra penciumannya.

Cahaya kilat melintas lagi. Kali ini tidak disertai guntur.

Darah, pisau, dan Pembunuh itu, memang bukanlah sekedar halusinasinya semata.

Melangkah mundur. Tangannya tremor tidak bisa memeggang payung dengan benar. Tubuhnya mendadak lemas, sehingga payung di tangannya mudah terlepas.

Tuk!

Dira menoleh memicing.

"Kak Thea?" Tebaknya tepat sasaran.

"A-apa yang lo lakuin?!" Thea panik.

Dira berdiri. Mengelap noda darah ditangannya ke kemeja seragamnnya. Meski agak tak mungkin noda darah itu bisa hilang karena telah mengering.

Terlanjur kesal, Dira mendekati Kakaknya bermaksud ingin memeluk Perempuan itu. Senyum cerah tak lupa terpatri di wajah manisnya.

"Lo bunuh dia?!" Thea menjauh, menghindar. Wajahnya syok.

Melihat Kakaknya yang ketakutan dan tanpa sadar mengecapnya sebagai Pembunuh, senyum Dira langsung luntur tergantikan raut datar.

"Dia pantas mati, kok," katanya kembali tersenyum. Senyum bak psycopat gila yang mendeteksi lawannya tengah ketakutan.

"Santai aja dong.." Dira terkekeh sengaja berjalan pelan.

Dira ingin membunuh Kakaknya? Entahlah!

"Udah gede masa jalan aja gak becus!" Dira tertawa lebar, terbahak menatap Thea yang lagi-lagi kakinya tersandung.

Mendengar tawa Dira lepas untuk pertama kali dan mengatainya begitu, Thea terkejut sehingga tak memperhatikan jalan di depannya.

Menatap ke depan, tahu-tahu sebuah mobil menghantam tubuhnya.

Ciiiiit!

Brakk!

TBC

Ini cerita ttg Transmigrasi ya. Jadi yang gak masuk akal harus dipaksa masuk akal😂
Maklumi cerita gw kalo ada banyak salahnya, baru pertama kali buat cerita soalnya. Butuh kritik sama saran, tapi harus sopan😅

ArethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang