Kesedihan yang Berakhir Traktiran

1.7K 155 11
                                    

"Apaa?" Sahut Erza dan Bagas bersamaan.

"Elo kudu, harus, wajib bantuin gue deket sama Kevin. Gimana?" tawar Nabila pada Bagas dan Erza.

"Itu mah kecil. Gue kan deket sama Kevin." Jawab Erza.

"Ini mah syaratnya enak di elo, Bil."  Kini aku membuka suara.

"Ya elo tinggal minta syarat sama mereka berdua kan gampang, Vel." jawab Nabila enteng.

Aku minta syarat apa ya enaknya?

Minta hatinya Erza boleh gak?

Gak boleh deng, ntar kena gebuk Sabrina mampus.

"Cepetan elo mau minta syarat apa, Vel? Mau jadian sama gue ya?" Tanya Bagas sambil menaik turunkan alisnya yang tebal seperti sinchan.

"Ihh ogah, najis gue. Udah ah, gue mau balik ke kelas aja." Sahutku sebal.

Aku berbalik badan hendak kembali ke kelas, tetapi ada sebuah tangan yang mencekal lenganku. Aku berbalik badan dan ternyata sebuah tangan yang mencekal lenganku adalah tangan milik Erza. Erza berdiri di depanku persis. Dan aku memberanikan diri menatap manik matanya yang berwarna hitam pekat. Walaupun jantungku sudah memberontak. Duh, berasa kayak drama aja.

"Apaan?" Tanyaku sok ketus.

"Jangan bilangin ke Bu Lita ya. Please." Pintanya dengan wajah memelas.

Aku butuh oksigen sekarang juga. Aku harus keluar dari sini juga sebelum jantungku mencuat keluar dari tempatnya. Ini sungguh berlebihan.

Kerongkonganku kering, dengan susah payah aku menelan ludah.

"I--ya." Jawabku kagok dan segera melepaskan cekalan Erza dari lenganku.

Aku berjalan dengan tergesa-gesa menuju kelas. Tak ku hiraukan Nabila yang berteriak-teriak memanggil namaku. Pikiranku jadi tidak jelas hanya gara-gara Erza yang mencekal lenganku.

"Permisi, Bu."

"Ya. Masuklah. Apakah temanmu sudah sadar?" Tanya Bu Lita.

"Sudah, Bu." Jawabku.

"Syukurlah."

Lalu, Bu Lita kembali menjelaskan materi. Dan pelajaran berjalan lancar sampai bunyi bel istirahat memecahkan keseriusan semua siswa.

***

Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk menjenguk Adel. Lebih baik melihat keadaannya langsung daripada lewat sms atau telpon.

"Emma, elo mau ikut gue jenguk Adel gak?" Ajakku pada Emma.

"Oke, boleh juga. Tapi gue mau balikin buku sastra ke perpustakaan dulu ya?"

"Iya elah. Gue ikut sekalian." Sahutku.

Suasana perpustakaan tidak terlalu ramai. Mataku tertuju pada seonggok manusia di kursi paling pojok yang sedang ber-make up ria. Siapa lagi kalo bukan Sabrina si Playgirl SMA Negeri 01 Nusa Bangsa. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Di perpustakaan bukanya membaca buku, malah asik dandan. Tapi kok tumben dia belum pulang? Biarkan saja, bukan urusanku.

Emma sedang mengembalikan bukunya pada bapak penjaga perpustakaan, Pak Yoga. Sedangkan aku menunggu di luar sambil memandangi Sabrina yang tak henti-hentinya memoleskan bedak pada wajahnya.

"Udah, Ma?" Tanyaku pada Emma yang baru saja keluar dari perpustakaan.

"Udah kok. Yuk langsung aja."

Aku dan Emma langsung menuju rumah Adel. Kangen juga rasanya sehari gak ketemu Adel si tukang ngoceh. Rumah Adel jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Jadi aku dan Emma cukup berjalan kaki.

Waiting My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang