Peluang

1.6K 141 8
                                    

Malam ini kami--aku, Adel, dan Emma--akan belajar bersama di rumahku.

Masih pukul 18.00, satu jam lagi pasti mereka sampai. Karena kita janjian pukul 19.00. Enaknya sambil nungguin mereka ngapain ya? Kuputuskan untuk menonton televisi bersama Nenek dan Kak Manda saja.

"Temen kamu belum pada dateng, dek?" Tanya Kak Manda.

"Belum, Kak. Janjiannya kan jam 19.00, masih satu jam lagi." Jawabku.

"Oh"

Lama-lama nonton televisi acaranya ngebosenin juga. Pikiranku melayang pada Sabrina yang berpegangan tangan mesra bersama seorang lelaki asing tadi. Siapa dia? Kenapa begitu romatis? Padahal yang kutahu, Erza dan Sabrina saja jarang berpegangan tangan. Iyalah, mereka kan jadiannya baru saja.

Apa lelaki itu saudaranya Sabrina? Tapi apakah harus berpegangan tangan juga?

Jika lelaki asing tadi benar-benar menjadi orang ketiga di hubungan Sabrina dan Erza, aku kasian pada Erza. Tak bisakah Erza peka sedikit saja bahwa ada seorang gadis di dekatnya yang mencitainya dari dulu? Ah sudahlah.

Ting..Tong..

Suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Mungkin Adel dan Emma yang datang.

Aku beranjak dari sofa untuk membukakan pintu. Dan benar saja, mereka berdualah yang datang.

"Ayo masuk." Ucapku.

"Kita belajarnya dimana nih?" Tanya Emma.

"Dikamarku aja gimana? Biar gak ribet ngambil bukunya." Jawabku dan mereka berdua mengangguk.

"Matematika atau fisika?" Tanyaku.

"Fisika aja ya? Matematika puyeng gue." Jawab Emma yang lagi sibuk mengobrak-abrik isi tasnya.

"Ya udah, gue mau buatin minum buat kalian dulu ya." Aku keluar kamar dan menuju dapur.

Malem-malem gini enaknya dibikinin apa ya? Teh hangat aja deh.

Sepuluh menit membuat teh hangat, aku kembali ke kamar dengan nampan yang berisi tiga gelas teh hangat.

Kubuka pintu kamarku dan mengapa tatapan mereka aneh sekali? Seperti tatapan mengintimidasi?

"Kalian kenapa? Kok tatapannya aneh banget?" Tanyaku. Tapi percuma, dikacangin.

"Nih minumnya." Kutaruh nampan berisi tiga gelas teh hangat itu di atas meja belajar.

"Vel, jujur ya. Kamu naksir sama Erza ya?" Aku bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan Adel.

"Kok elo tiba-tiba tanya itu sih? Ya jelas gue gak suka Erza lah. Kan Erza udah punya Sabrina." Jawabku kikuk.

"Yang bener, Vel? Terus, yang lo tulis di buku diary ini apaan?"  Tanya Emma yang entah sejak kapan sudah menggenggam buku diaryku.

Sial, aku lupa menyembunyikan buku diaryku. Duh, ketauan deh kalo aku diem-diem naksir sama Erza.

"Elo kenapa nyembunyiin dari gue, Vel?" Aku menoleh pada Adel yang menepuk bahuku.

"Iya, gue emang naksir Erza udah lama. Lebih lama dari Sabrina malah." Bibirku gemetar.

"Kalo lo bilang dari dulu kan gue bisa bantuin lo deket sama dia, Vel. Kalo sekarang lo udah telat." Emma menghamipiriku dan duduk di sebelahku.

"Tapi gue ngrasa gak pantes aja buat Erza."

"Jangan ngomong gitu. Elo tau gak? Lo sama Sabrina tu cantikan elo. Lo itu cantik luar dalem. Sedangkan dia? Lo tau sendiri kan?"

"Iya bener. Gue setuju sama Adel." Emma mengganggukan kepala.

Waiting My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang