10 - Do I need to apologize?

34 3 0
                                    

"Sial. Sial. Sial. Kenapa malah kepencet, sih?!" Callista buru-buru mematikan panggilannya yang sudah sempat berdering beberapa kali. Ia tidak bisa membayangkan mau taruh di mana mukanya jika Alaric tahu kalau ia yang menghubungi duluan karena merasa khawatir.

Gadis itu kemudian melempar ponselnya ke atas meja sembari menggigiti kuku dengan panik. Tetapi sedetik kemudian, tiba-tiba saja ada panggilan dari nomor tak dikenal yang masuk. Ia pun langsung menyambar ponselnya kembali, melihat siapa yang menelepon.

"Halo, Nona Cale!" sapa Andrew begitu Callista mengangkat panggilannya.

"Andrew? Ugh, kau ini mengagetkanku saja! Kukira tadi siapa," sahutnya sembari menghembuskan napas lega.

Pemuda itu malah nyengir lebar. "Maaf. Aku tidak bermaksud untuk mengagetkanmu, Nona Cale. Aku barusan hanya ingin memberitahumu kalau ini adalah nomor baruku. Ponselku yang kemarin hilang dicuri orang."

"Apa? Dicuri orang? Bagaimana bisa?"

"Entahlah. Kemarin aku sempat naik bus yang lumayan ramai penumpang. Dan waktu aku turun, ponselku tahu-tahu sudah hilang."

"Well, kau sudah cari lagi belum? Barangkali jatuh."

"Sudah, tapi masih tidak ketemu. Rasanya aku ingin sekali menghajar orang yang sudah berani mencuri ponselku!"

Callista tergelak. "Ya, hajar saja! Aku akan bantu menghajarnya juga untukmu."

Andrew ikut terkekeh. "Oke. Kalau begitu, terima kasih, Nona Cale. Kau bisa menghubungiku lewat nomor ini jika ada apa-apa."

"Yeah, baiklah," balasnya. Lalu, panggilan mereka pun berakhir.

Gadis itu kembali gelisah ketika melihat nomor Alaric yang terpampang jelas di bagian riwayat panggilannya. Dalam hati, ia bertanya-tanya, kenapa pria itu tidak balik menelepon? Apakah dia baik-baik saja? Atau jangan-jangan ...

"Tidak-tidak!" Callista menggeleng ruai, menghempaskan pemikiran liarnya. Ia tidak bisa overthinking seperti ini terus. Lebih baik ia menemui Alaric untuk memastikan keadaannya secara langsung. "It's okey, Callista ... it's okey. Kali ini saja temui dia dan tanyakan keadaannya daripada kau harus jadi gila karena memikirkannya terus!"

***

2 jam kemudian ...

Ketuk? Tidak? Ketuk? Tidak?

Sudah 30 menit lamanya kini Callista berdiri di depan sebuah pintu yang memiliki ukiran geometris itu. Tangannya sejak tadi hanya melayang ragu di udara. Entah mengapa, ia benar-benar gengsi untuk sekadar mengucapkan kalimat tanya apa kau baik-baik saja? Dan mungkin ditambah kata maaf pada akhirannya.

"Argh! Apa yang sedang kulakukan di sini, sih?" omelnya, berdialog dengan diri sendiri. Ia menggaruk tengkuknya sembari mengerang kesal. "Apa aku pulang saja? Tapi, tidak! Masalahnya aku sudah terlanjur ada di sini. Tanggung juga kalau balik lagi."

Setelah berdebat dengan harga dirinya yang akan dipertaruhkan, Callista pun pada akhirnya memutuskan untuk tetap menemui Alaric. Ia mesti mengubur egonya terlebih dahulu agar tidak terus merasa bersalah. Namun, baru saja hendak mengetuk, pintu itu tahu-tahu malah terbuka duluan, menampilkan seorang pemuda yang kemarin datang membawa dua kantong plastik belanjaan-Malvin Atkinson.

Malvin mengerutkan kening. "Kau?" kagetnya bingung sekaligus heran. "Sedang apa kau ada di sini?"

Mata Callista membulat. Ia meneguk ludahnya yang tersangkut di tenggorokan. "Umm, aku-"

"Tolong pergilah. Kami sedang tidak menerima tamu," ujarnya seraya kembali hendak menutup pintu.

"Tunggu!" tahan gadis itu. "A-aku ... datang kemari hanya untuk ... meminta maaf."

Malvin menaikkan satu alisnya skeptis. "Meminta maaf?"

"Y-ya ... apa dia ada di dalam?"

"Alaric maksudmu?"

Callista mengangguk. "Aku ingin bertemu dengannya. Sebentar saja."

"Maaf, tidak bisa. Aku tidak ingin mengambil risiko lagi."

"Kumohon! Aku janji tidak akan melakukan hal yang macam-macam. Masalah yang kemarin, aku tahu kalau aku sudah keterlaluan."

Malvin menghela napas resah. Pemuda itu menimbang-nimbang keputusan sejenak. Lalu, dengan sedikit terpaksa berkata, "Baiklah. Tapi, kau tidak keberatan 'kan jika aku mengawasi pembicaraan kalian berdua?"

"Yeah, tidak masalah."

Mendengar hal tersebut, Malvin pun akhirnya mengizinkan Callista untuk masuk ke dalam. Ia meminta gadis itu agar duduk terlebih dahulu di sofa ruang tamu selagi ia memanggilkan Alaric. Callista menurut saja dan segera duduk manis di sofa. Kali ini ia berusaha agar tidak membuat keributan atau masalah dulu.

Tak lama kemudian, terdengar suara orang mengobrol dari lantai atas. Perut Callista langsung melilit begitu melihat Malvin turun dari tangga berbarengan dengan Alaric. Pria itu memakai kemeja katun polos berlengan pendek dan ... syukurnya ia tampak baik-baik saja.

Langkah kaki Alaric sontak terhenti saat mata birunya bertemu pandang dengan Callista. Ia memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana dengan tatapan skeptis, lalu berjalan mendekat tanpa berkata apa-apa.

"Ehemm ...." Callista berdeham sembari menggosok hidungnya yang mendadak gatal. Sudut netranya mengerling sekilas ke arah Malvin yang sekarang duduk di depan meja komputer-berjarak beberapa meter darinya. "K-kau baik-baik saja?"

Alaric menarik sudut bibirnya ke atas sembari mendengkus. Senyuman mengejek seketika terbit di wajahnya. "Apa aku tidak salah dengar?"

Callista memutar bola mata, sudah menduga hal ini bakal terjadi. Sekarang ia jadi agak menyesal telah datang menemui pria sombong itu. "Dengar, Tuan Theodore, aku datang baik-baik kemari hanya untuk meminta maaf padamu atas sikapku yang kemarin. Aku tahu kalau aku sudah keterlaluan, tapi kau juga harus tahu bahwa aku tidak pernah bermaksud mencelakaimu atau menyakitimu dalam bentuk apapun. Maka dari itu, jawab saja pertanyaanku lalu setelah itu aku akan pergi dari sini dengan sangat senang hati. Oke?"

Senyuman mengejek di bibir Alaric pun semakin mengembang. "Jadi, kau mengkhawatirkanku?"

"Tidak," sangkalnya cepat. "Buat apa aku mengkhawatirkanmu? Kepedean sekali!"

"Cih, mengaku saja! Kalau kau tidak mengkhawatirkanku kau pasti tidak akan datang kemari dan bertanya apa kau baik-baik saja?"

Callista menyibak rambutnya ke belakang. Rasa jengkelnya kembali mengudara. "Kau ini memang sengaja mencari ribut denganku, ya?"

"Tidak juga. Aku hanya bertanya."

"Wah, benar-benar! Kalau kau bukan dokter mungkin sudah habis kuhajar sampai babak belur!"

"He-em." Malvin sekonyong-konyong berdeham, memberi peringatan pertama. "Nona, kuharap kau menepati janjimu tadi."

Callista merengut. "Ck, sudahlah! Lebih baik aku pulang. Percuma juga berbicara denganmu. Buang-buang waktu!" gerutunya seraya bangkit berdiri. Akan tetapi, Alaric tiba-tiba justru menarik ujung baju gadis itu.

"Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir," ujarnya pelan membuat ekspresi Callista yang sebelumnya mengeras menjadi sedikit melunak.

Callista pun duduk kembali. "Sungguh?"

"Ya, kau bisa lihat sendiri. Aku masih hidup. Malvin juga sudah mengobatiku kemarin."

"Malvin?"

"Benar. Dia adalah asisten pribadiku, Malvin Atkinson." Alaric mengedikkan dagu. "Dia yang mengawasi kesehatanku selama ini."

"Mengawasi kesehatan? Maksudmu, kau sakit?"

"Umm, entahlah, kurasa begitu. Aku tidak tahu ini bisa dibilang penyakit atau bukan. Tapi, yang membuatku menjadi seperti ini adalah virus. Sebuah virus langka yang sangat berbahaya, V-Type01."

Bersambung ...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dr. Vampire: Who's The Predator?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang